Kebebasan
Apa artinya kebebasan? Mohammed Raza, seorang penulis Muslim mengenai Islam di Inggris, mengklaim bahwa “para wanita muda Muslim sama sekali tidak mempunyai kebebasan, mereka hanya mempunyai sedikit kebebasan dibandingkan kaum pria Muslim yang usianya hanya separoh usia mereka...kebebasan untuk menjadi manusia dan bukannya penyesalan menjadi seorang manusia, hidup dalam pembatasan-pembatasan seakan-akan seluruh masa remajanya adalah usia yang terlarang sehingga ia membutuhkan pertolongan untuk mengatasi masalah itu”.169
Kurangnya kebebasan bagi para gadis Muslim
Banyak gadis Muslim yang mengatakan bahwa mereka harus selalu menaati orang-tua mereka dan berusaha keras untuk tidak mengecewakan orang-tua. Namun demikian kehidupan dalam keluarga seringkali sangat ketat bagi mereka dibandingkan dengan apa yang dialami oleh teman-teman Barat mereka. Bahkan setelah usia 18 tahun, jika mereka ingin pergi ke bioskop atau pergi berbelanja mereka harus meinta ijin dari orang-tua mereka. Jawabannya adalah tidak dan mereka diharapkan untuk menaati orang-tua mereka secara mutlak. Setelah masa pubertas para gadis Muslim dijaga dengan ketat. Menurut Mohammed Raza, penjagaan wanita semacam ini dalam sebuah budaya yang memberikan kebebasan kepada wanita merefleksikan sebuah ketidakpercayaan yang berasal dari negara asal mereka. Ia menggambarkannya hampir sama dengan fobia pada abad pertengahan di Inggris ketika para ksatria perang salib mengenakan “sabuk kesucian” pada kaum wanita mereka untuk menjaga keperawanan mereka.170
Seorang gadis Muslim diharapkan untuk taat dan tunduk kepada keinginan keluarga. Mengekspresikan pendapat pribadi dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan patriarkhal dalam keluarga. Sekali lagi hal ini bertentangan dengan norma-norma di kalangan masyarakat Inggris dimana individualisme dipandang sebagai kualitas utama yang ada dalam diri seseorang.171
169 Raza, Islam in Britain, p.84.
170 Ibid., p.88.
171 Ibid., p.87.
82
Kehidupan bagi gadis-gadis muda Muslim di Inggris seringkali lebih ketat daripada
yang terjadi di negara asal mereka, karena para orang-tua takut jika putri-putri
mereka akan diracuni oleh budaya Barat, terutama dalam hal-hal yang
berhubungan dengan masalah seksual. Selalu ada rasa ketakutan jika putrinya
sampai hamil, dan itu akan mendatangkan malu dan mencoreng kehormatan
keluarga. Ini adalah masalah yang serius, karena ini menunjukkan bukan hanya
ketidakpercayaan mendasar terhadap wanita, namun juga ketidakpercayaan
terhadap masyarakat Inggris yang meninggikan kebebasan individual. Mohammed
Raza kembali mengemukakan bahwa “penindasan” semacam itu hanya akan
membuat mereka menentang iman Muslim.172
Kebebasan sementara selama masa pendidikan
Ketika para gadis bersekolah dan menempuh pendidikan di perguruan tinggi
mereka merasa bebas. Semua gadis yang saya wawancarai mengatakan bahwa
hubungan pria dan wanita selain dari ikatan pernikahan tidak disetujui di dalam
komunitas Muslim, dan itu adalah norma yang berlaku (komunitas Muslim tidak
mengenal masa berpacaran – Red). Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi para
gadis Muslim bertingkah-laku sama dengan teman-teman Barat mereka,
mengambil bagian dalam kelompok-kelompok jender yang bercampur, dan
mengunjungi banyak pub dan kafe. Banyak gadis yang saya ajak bicara
mengatakan bahwa mereka tidak minum alkohol di pub, tapi di pesta-pesta
mereka minum segelas anggur.
Para gadis Muslim menjalin hubungan antar budaya. Mereka juga menjalin
persahabatan dengan pria-pria muda dari kelompok ras yang berbeda. Bagi wanita
yang lebih tua hal ini merupakan sumber kecemasan dan tidak dapat diterima.
Sangat sulit untuk mencari tahu apakah hubungan-hubungan ini adalah hubungan
seksual. Diakui oleh sekitar separoh gadis yang saya wawancarai bahwa mereka
mengenal orang-orang muda Muslim yang mempunyai hubungan seksual, dan
orang-tuanya sama sekali tidak mengetahui hal itu. Beberapa gadis mengatakan
bahwa beberapa orang muda Muslim menjalani hubungan seksual dalam masa
berpacaran, sama saja dengan orang-orang muda dari komunitas kulit putih
Inggris. Mereka mengatakan bahwa ini bukannya tidak lazim dilakukan oleh
mereka yang berpendidikan lebih tinggi tapi lebih umum dilakukan oleh remaja pria
daripada remaja putri. Para gadis itu mengatakan kepada saya bahwa mereka
diajari mengenai kontrasepsi di sekolah.
Para gadis yang saya ajak bicara menyadari bahwa masa kebebasan mereka
yang sementara ini akan segera berakhir dengan pernikahan, dan oleh karena itu
mereka akan memanfaatkannya sebaik-baiknya. Mereka mengatakan bahwa
172 Ibid., p.85.
83
banyak gadis yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi hanya
untuk memperpanjang masa-masa kebebasan mereka. Semua gadis yang saya
wawancarai mengindikasikan bahwa jika mereka ingin melakukan sesuatu maka
selalu akan ada jalan untuk itu, dan mereka akan melakukannya tanpa
sepengetahuan orang-tua mereka. Sudah sangat lazim bagi para mahasiswa yang
tinggal di rumah atau tinggal dengan kerabat (kebanyakan demikian) mengatakan
kepada orang-tua mereka bahwa mereka harus kuliah malam dan harus tetap
tinggal di kampus untuk mengerjakan tugas. Hidup dalam lingkungan yang
sedemikian ketat di rumah berarti mereka harus menipu orang-tua mereka agar
mendapatkan kebebasan yang mereka inginkan. Namun demikian, relasi yang
mereka jalin dengan pria-pria muda biasanya tidak mempunyai tujuan yang jelas,
karena kedua belah pihak menyadari bahwa mereka akan dijodohkan dan
menikah dengan orang lain dalam waktu yang tidak terlalu lama. Datang dari
lingkungan yang sedemikian ketat, dan ketika mereka mulai menjalani kehidupan
di perguruan tinggi, beberapa orang muda Muslim untuk pertama kalinya mencicipi
manisnya kebebasan, sehingga akhirnya menjadi liar. Mereka seringkali
bertingkah lebih ekstrim daripada teman-teman Barat mereka.
Muhammad Anwar, dalam “Young Muslims in Britain”, menyebutkan sebuah
survey yang dilakukan pada tahun 1983 oleh Commision for Racial Equality di
kalangan orang muda Muslim, baik pria maupun wanita. Lima puluh tiga persen
dari antara mereka ingin merencanakan sendiri pernikahan mereka. Ia
mengatakan bahwa respons dari mereka yang mengekspresikan penolakan
terhadap pernikahan yang direncanakan untuk mereka mengindikasikan bahwa
saat orang-orang Muslim semakin bertambah di Inggris, sistem pernikahan melalui
perjodohan tidak akan berhasil dalam bentuk aslinya. Tren ini dikonfirmasi ketika
lebih dari 80% orang muda Muslim dan lebih dari 70% orang-tua setuju bahwa
“orang-tua ingin mempertahankan sistem pernikahan melalui perjodohan lebih dari
anak-anak mereka”. Ia menyimpulkan bahwa penolakan terhadap sistem ini
semakin meningkat, dan sikap orang muda dan contoh-contoh pemberontakan
terhadap pernikahan melalui perjodohan mengindikasikan bahwa di masa yang
akan datang masalah ini akan mengakibatkan adanya konflik antar generasi yang
lebih besar dalam komunitas Muslim.173
Ketakutan terhadap Westernisasi
Ketakutan terbesar yang menghantui komunitas Muslim adalah jika generasi yang
lebih muda akan menjadi kebarat-baratan, dan akan kehilangan bukan hanya
warisan budaya mereka, tetapi juga agama mereka. Ketakutan ini nyata, karena
orang muda Muslim menjadi semakin kebarat-baratan dan sekuler.174 Demikian
173 Anwar, Young Muslims, p.28.
174 Raza, Islam in Britain, p.75.
84
pula para orang-tua Kristen takut jika anak-anak mereka akan menemukan
identitas mereka dalam budaya sekuler dan meninggalkan iman Kristen. Sekali
lagi, ini adalah ketakutan yang nyata, karena sejumlah besar orang muda
meninggalkan gereja setiap tahun.
Proses westernisasi, dan ketakutan orang lain akan hal itu, tidak terbatas hanya
pada generasi muda Muslim. Para wanita Muslim yang lebih tua yang telah keluar
rumah untuk bekerja mendapati hal ini merupakan penyebab konflik di dalam
rumah-tangga mereka. Para suami takut jika istri-istri mereka menjadi kebaratbaratan
dan ingin mengenakan pakaian Barat, juga akan mengembangkan
hubungan dengan kaum pria.
Komunitas Muslim di Inggris adalah sebuah kelompok minoritas, tapi dalam
banyak kasus para anggotanya berasal dari situasi dimana Islam adalah kelompok
mayoritas. Islam telah terbiasa berfungsi sebagai kelompok mayoritas dan tidak
mempunyai fiqh, atau pengajaran, tentang bagaimana harus berfungsi sebagai
kelompok minoritas. Di Inggris, Islam tidak pernah memikirkan sebelumnya
bagaimana mereka harus berfungsi dalam situasi semacam itu, dan mereka
merasa tidak perlu melakukannya. Sebagai akibatnya, satu generasi imigran
dibesarkan tanpa bersekolah di sekolah Muslim (seperti madrasah/pesantren),
yang berarti mereka seringkali hanya mempunyai sedikit pengetahuan mengenai
agama mereka. Generasi ini telah dibentuk oleh sekolah-sekolah atau institusiinstitusi
Inggris, oleh globalisasi, dan televisi. Secara kontekstual mereka berbeda
dari generasi yang lebih tua.
Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan kontekstual
Satu faktor yang mendorong terjadinya perubahan kontekstual adalah tekanan
teman sebaya. Para gadis ingin berpakaian, terlihat dan bertingkah-laku sama
dengan teman-teman Barat mereka, agar mereka dapat menjadi bagian dari
kelompok teman sebaya mereka dan mendapatkan penerimaan. Di Inggris banyak
gadis Muslim mempunyai 2 jenis pakaian yang berbeda, satu dikenakan untuk
acara-acara keluarga dan acara-acara khusus, dan yang satunya lagi
(tersembunyi dari penglihatan orang-tua) untuk dikenakan di luar rumah. Tekanan
kelompok sebaya juga dapat membawa mereka ke dalam hubungan seksual
sebelum pernikahan, narkoba, kencan, dansa, alkohol dan kegiatan-kegiatan lazim
lainnya di tengah masyarakat yang di dalamnya mereka dapat menemukan diri
mereka sendiri.
Faktor signifikan lainnya yang telah membawa perubahan kontekstual adalah
sistem pendidikan. Akses kaum wanita kepada sistem pendidikan Inggris telah
menjadi faktor terbesar dalam mengubah posisi wanita di dalam Islam. Sistem
85
tersebut telah membentuk para siswanya untuk mempunyai beragam pola pikir,
mempromosikan argumen dan analisa ideologi, dan beroperasi dalam sebuah
kerangka kerja budaya yang berdasarkan pada sekularisme. Sistem ini berarti
adanya pembauran dan juga kesetaraan jender. Ini adalah satu faktor yang paling
berkontribusi dalam konflik antar generasi dan antar budaya, karena berbicara
mengenai pilihan dan individualisme yang bertentangan dengan kekuasaan
komunitas.
Dalam cara yang sama, tempat kerja juga telah membawa perubahan kontekstual.
Ketika orang muda Muslim pergi bekerja, pendapatan mereka menentukan kelas
mereka di dalam masyarakat dan mereka akan didefinisikan di dalam kelas
tersebut, kadangkala mengadopsi tingkah-laku dan simbol-simbol dalam kelas itu.
Bahkan bahasa dapat menjadi sarana perubahan kontekstual karena penggunaan/
berbicara dalam bahasa Inggris memberi akses kepada literatur dan media
lainnya. Melalui kedua hal itu budaya dan adat-istiadat masyarakat Inggris dapat
dikenal dan diterima dan kemudian masyarakat itu sendiri, lagu-lagunya, budaya
orang mudanya, etika kerjanya, konsep-konsep relasi, media dan masih banyak
lagi factor yang ada di dalamnya.
Identitas
Hal yang berkaitan dengan perubahan kontekstual adalah pertanyaan mengenai
identitas. Bagaimana orang muda Muslim memandang diri mereka sendiri?
Apakah mereka menganggap diri mereka sebagai orang Pakistan atau orang
Bangladesh walaupun mereka dilahirkan di Inggris, ataukah mereka menganggap
diri mereka sebagai orang Inggris? Apakah mereka melihat diri mereka sebagai
orang Muslim atau dengan identitas etnis yang lebih luas?
Tak satupun orang muda yang saya wawancarai mempunyai sentimen apapun
atau loyalitas kepada negara asal orang-tua mereka. Diatas segala sesuatu
mereka menganggap diri mereka sebagai orang Inggris. Separoh dari gadis-gadis
muda mengidentifikasi diri dengan sudut pandang Asia yang lebih luas. Namun
demikian, setelah peristiwa 11 September 2001, ada pendefinisian ulang
mengenai Islam dan identitas islami. Mungkin adil jika mengatakan bahwa banyak
orang muda Muslim di Inggris kini melihat dan mengidentifikasi diri mereka
sebagai orang Muslim Inggris. Berkaitan dengan identitas Muslim Inggris ini, ada
sebuah peningkatan kepopuleran jilbab (hijab), yang dilihat sebagai ekspresi
identitas seorang wanita Muslim.
86
Konflik budaya
Orang muda Muslim di Inggris hidup dalam 2 budaya. Ada budaya Muslim yang
ketat di dalam keluarga dan budaya Barat yang post-modern di sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi mereka. Oleh karena itu ada konflik budaya yang terjadi
dalam hidup mereka, dan ini dialami lebih akut oleh para gadis Muslim karena
orang-tua cenderung untuk lebih protektif terhadap mereka berkenaan dengan halhal
seperti berkencan, seksualitas dan pernikahan. Sementara para orang-tua
Muslim berpegang teguh pada idealisme tradisional, sedang anak-anak mereka
bertumbuh dengan aspirasi-aspirasi yang berbeda, yang mereka sendiri sadar
betul kalau itu akan ditolak oleh orang-tua mereka. Jurang ini kadangkala tidak
terjembatani dan identitas ganda menjadi hal yang tidak terelakkan. Untuk
menjaga reputasi keluarga maka kerahasiaan adalah hal yang penting.
Seorang gadis Bengali yang berusia 19 tahun menggambarkan bagaimana ia
menjalani kehidupan ganda. Di rumah ia adalah putri yang berbakti, tapi di luar
rumah ia menjadi anak remaja yang merokok, terobsesi tren, dan mengenakan
celana di pinggul. Ia mengatakan bahwa kepada orang-tuanya ia berbakti, taat dan
anak perempuan yang tidak bersalah dan bermata lebar. “Di rumah anda tidak
akan melihat saya mengenakan atasan berleher rendah atau celana ketat atau
merokok. Namun saat saya telah meninggalkan pintu depan rumah, maka
terjadilah sebuah perubahan mendadak. Lepas dari jaket pengaman, muncullah
gadis yang genit, kreatif, dan lincah”. Ayahnya adalah seorang tokoh senior di
komunitas Muslim Bengali di London, dan ia diharapkan untuk bertingkah-laku
dengan pantas. Ia mengatakan kadang ia merasa terjebak dan nuraninya
terbelenggu sehingga ia tidak dapat bersikap terbuka mengenai sisi lain identitas
dirinya, tetapi “saya tahu itu akan menghancurkan hati orang-tua saya dan
menimbulkan skandal”. Maka penampilannya yang seksi tetap dirahasiakannya di
belakang lemari pakaiannya.175
Terjebak diantara 2 budaya mendatangkan efek yang merusak pada kesehatan
para gadis muda Muslim, berdasarkan sebuah makalah yang dipresentasikan di
British Psychological Society pada tahun 1997 oleh Dev Sharma (psikolog,
Newham Council) dan Dr. David Jones (Birkbeck College, London University).
Studi tersebut dilakukan oleh karena meningkatnya jumlah gadis remaja Muslim
yang mengalami permasalahan-permasalahan emosional dan kesulitan-kesulitan
dalam bertingkah-laku. Laporan itu menyatakan bahwa gadis-gadis Muslim sangat
cemas dan tiga kali lebih banyak berusaha untuk menyakiti diri mereka sendiri
daripada teman-teman Barat mereka, apakah itu menjerit meminta pertolongan
atau berusaha untuk bunuh diri. Dilaporkan bahwa ada tekanan yang sangat besar
terhadap mereka untuk menyesuaikan diri dengan pola-pola budaya, terutama jika
berkenaan dengan moral seksual dan persahabatan antara pria dan wanita.
175 Anjana Ahuja, “Caught in the Culture Trap”, The Times, April 8, 1997, p.14.
87
Namun demikian jika orang-tua terlalu protektif, maka anak-anak akan cenderung
semakin memberontak.
Sebuah laporan baru-baru ini oleh Safer Surrey Partnership Team (didanai dan di
dukung oleh Surrey County Council, Kepolisian Surrey dan Metropolitan Police
Service) mengeksplorasi identitas jamak dan berubah dari para wanita muda
Pakistan dan kebutuhan-kebutuhan mereka di Inggris. Mereka mengatakan
bahwa terdapat indikasi yang jelas bahwa masalah bunuh diri dan percobaan
bunuh diri sangatlah akut di kalangan kelompok wanita ini. Kelompok ini telah
didapati mempunyai tingkat masalah bunuh diri yang lebih tinggi daripada temanteman
mereka di kalangan populasi orang kulit putih atau di dalam kelompok etnis
lainnya. Faktor-faktor yang diidentifikasi memberi kontribusi kepada pola ini
meliputi penundukkan diri dan kesopanan terhadap pria dan orang yang lebih tua,
senantiasa mendapatkan paksaan untuk menikah (juga melalui perjodohan), dan
permasalahan keuangan sehubungan dengan pembayaran mahar. Oleh karena itu
muncullah stres yang sangat berhubungan dengan pertikaian antar budaya. Hanya
setelah para gadis itu mengambil tindakan yang drastis, seperti kabur dari rumah
atau melakukan percobaan bunuh diri, barulah permasalahan itu dapat disadari
keberadaannya. Laporan itu juga mengatakan bahwa sangatlah mungkin situasi itu
diperburuk oleh semacam “pembekuan” norma-norma budaya dan meningkatnya
tekanan pada para gadis untuk menjamin norma-norma itu tetap dipelihara telah
terjadi karena generasi orang-tua bergumul untuk menjaga komunitas dan
identitas budaya di hadapan budaya Inggris yang dominan dan rasisme.176
Struktur patriarkhal
Sejak mereka lahir, para gadis itu dianggap sebagai sumber masalah, dan mereka
akan meninggalkan rumah keluarga mereka dan menikah. Kelahiran mereka tidak
diberitakan dan ucapan belasungkawa dapat diberikan. Seorang anak laki-laki
sangat diinginkan dan kelahirannya jauh lebih dipentingkan, karena ia adalah aset
yang akan membawa nama keluarga dan warisan. Anak laki-laki dianggap sebagai
investasi kapital untuk alasan-alasan ekonomis.177 Keyakinan ini berasal dari
struktur patriarkhal masyarakat pedesaan, dan bertentangan dengan budaya dan
hukum Inggris dimana kedua jender (laki-laki dan perempuan) dipandang sama
pentingnya dan mandiri.
176 Salma Sulaimani, The Multiple and Changing Identities of Young Pakistani Women in Working, Safer
Surrey Partnership Team (Working, 2000), p.2.
177 Raza, Islam in Britain, p.85.
88
Agama dan orang muda
Keharusan untuk berpegang pada Islam berada pada tingkatan yang sangat
rendah di kalangan orang muda Muslim, karena mereka telah memeluk
sekularisme masyarakat dimana mereka hidup di Inggris. Namun demikian mereka
masih menganggap diri mereka sebagai orang Muslim. beberapa orang muda
mempunyai pandangan mereka sendiri mengenai Islam namun merasa bahwa
mereka terpinggirkan dan telah diabaikan. Satu alasan untuk hal ini adalah sebuah
generasi telah bertumbuh tanpa mendapatkan pengajaran dalam Islam, mengingat
di banyak tempat tidak ada sekolah-sekolah Muslim. Ketika generasi orang-tua
mereka datang sebagai imigran baru di Inggris, semua struktur sosial masyarakat
harus diletakkan pada tempatnya dan sekolah-sekolah Muslim tidak mendapat
prioritas. Ini telah diperhatikan dalam beberapa tahun terakhir ini, dan
kemungkinan besar semua anak Muslim kini akan mengikuti ceramah di mesjid
sepulang sekolah beberapa hari dalam seminggu selama 2 hingga 3 jam. Anakanak
kecil berusia 4 tahun dapat terlihat menghadiri ceramah seperti ini.
Kurang berminatnya orang muda terhadap Islam juga disebabkan oleh cara orangtua
mereka mengkomunikasikan iman Islam kepada mereka. Para orang-tua
cenderung menurunkan pada anak-anak mereka adat-istiadat, cara-cara dan
penafsiran praktek sistem Islam menurut mereka sendiri. Adat istiadat ini
nampaknya sangat ditolak oleh generasi yang lebih muda.178 Pada tahun 1991,
Raza menulis bahwa ia percaya komunitas Muslim telah mengecewakan generasi
yang lebih muda karena mereka sendiri memiliki pandangan-pandangan Islam
yang “reaksioner dan sulit dimengerti”. Dalam beberapa kasus hal ini merupakan
hasil dari latar-belakang tradisional dan udik di negara asal mereka, sedangkan
anak-anak mereka mempunyai penampilan yang lebih intelektual, urban, dan
internasional. Terutama, ia mengklaim, komunitas tersebut telah gagal
menciptakan sebuah lingkungan islami yang menarik, atau menjadikan mesjidmesjid
sebagai pusat komunitas dimana generasi yang lebih muda dapat bertemu
dengan orang Muslim lain dalam tataran sosial.
Ia yakin bahwa generasi yang lebih tua tidak mampu mendefinisikan nilai-nilai dan
standar islami dengan cara yang ringkas, atau menyarankan cara-cara alternatif
islami lainnya dalam memenuhi kebutuhan orang muda.179 Dalam beberapa tahun
terakhir, sejak 1997-1998, ini telah berubah dan para pemimpin religius Muslim
telah memulai program untuk orang muda di mesjid dan pusat-pusat komunitas.
Semua wanita dan gadis yang saya wawancarai (kecuali 2 gadis dari Arab Saudi)
hanya sedikit memikirkan agama mereka. Seorang gadis yang saya wawancarai
sangat takut jika saya hendak bertanya padanya mengenai Islam, karena ia
178 Nimat Hafez Barazangi, ‘Acculturation of North American Arab Muslims: Minority Relations or
Worldview Variation?’ Journal of Muslim Minority Affairs, July 1990, No. XIII, p.373-9.
179 Raza, Islam in Britain, p.81.
89
mengakui bahwa ia sama sekali tidak tahu tentang agamanya itu. Alasan
utamanya adalah kurangnya pengajaran mengenai Islam untuk para gadis ini.
Baru sekarang Islam mulai mengkontekstualisasikan diri di wilayah-wilayah
tertentu di Inggris guna menghadapi situasi ini. Mereka menyediakan tempat bagi
wanita di semua mesjid yang baru, kadang sebuah ruang yang sangat besar
berdampingan dengan ruang untuk pria. Ini adalah sebuah perkembangan yang
baru. Kini ada kelompok-kelompok pengajaran mengenai Islam dan doa bagi
orang muda di beberapa pusat komunitas, sama seperti kelompok-kelompok
rumah yang dikenal di kalangan Kristen.
Berdampingan dengan tidak ada minat terhadap Islam, ada pula fenomena yang
berlawanan dengan itu yakni pertambahan sejumlah besar gadis muda yang
menjadi bagian dari Islam radikal. Mereka mengenakan kerudung berdasarkan
aturan Islam yang ketat dan bersikap sangat serius terhadap agama mereka.
Sebuah contoh mengenai hal ini adalah Shabina Begum yang menggugat
sekolahnya ke pengadilan pada Mei 2004, mengklaim bahwa hak-hak azasinya
sebagai manusia telah dilanggar karena ia tidak diijinkan untuk mengenakan jilbab
yang menutupi seluruh tubuhnya ke sekolah. Sekolah itu, yang pakaian
seragamnya disetujui oleh para pakar Islam untuk siswa-siswi Muslim,
beranggapan bahwa mengijinkan seorang murid mengenakan pakaian tertutup
yang lebih ekstrim dari para murid yang lainnya akan memberi tekanan pada
gadis-gadis Muslim lainnya bahwa mereka tidak cukup telaten. Shabina Begum
kalah dalam gugatannya itu dan kini ia bersekolah di sebuah sekolah Muslim.
Apa artinya kebebasan? Mohammed Raza, seorang penulis Muslim mengenai Islam di Inggris, mengklaim bahwa “para wanita muda Muslim sama sekali tidak mempunyai kebebasan, mereka hanya mempunyai sedikit kebebasan dibandingkan kaum pria Muslim yang usianya hanya separoh usia mereka...kebebasan untuk menjadi manusia dan bukannya penyesalan menjadi seorang manusia, hidup dalam pembatasan-pembatasan seakan-akan seluruh masa remajanya adalah usia yang terlarang sehingga ia membutuhkan pertolongan untuk mengatasi masalah itu”.169
Kurangnya kebebasan bagi para gadis Muslim
Banyak gadis Muslim yang mengatakan bahwa mereka harus selalu menaati orang-tua mereka dan berusaha keras untuk tidak mengecewakan orang-tua. Namun demikian kehidupan dalam keluarga seringkali sangat ketat bagi mereka dibandingkan dengan apa yang dialami oleh teman-teman Barat mereka. Bahkan setelah usia 18 tahun, jika mereka ingin pergi ke bioskop atau pergi berbelanja mereka harus meinta ijin dari orang-tua mereka. Jawabannya adalah tidak dan mereka diharapkan untuk menaati orang-tua mereka secara mutlak. Setelah masa pubertas para gadis Muslim dijaga dengan ketat. Menurut Mohammed Raza, penjagaan wanita semacam ini dalam sebuah budaya yang memberikan kebebasan kepada wanita merefleksikan sebuah ketidakpercayaan yang berasal dari negara asal mereka. Ia menggambarkannya hampir sama dengan fobia pada abad pertengahan di Inggris ketika para ksatria perang salib mengenakan “sabuk kesucian” pada kaum wanita mereka untuk menjaga keperawanan mereka.170
Seorang gadis Muslim diharapkan untuk taat dan tunduk kepada keinginan keluarga. Mengekspresikan pendapat pribadi dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan patriarkhal dalam keluarga. Sekali lagi hal ini bertentangan dengan norma-norma di kalangan masyarakat Inggris dimana individualisme dipandang sebagai kualitas utama yang ada dalam diri seseorang.171
169 Raza, Islam in Britain, p.84.
170 Ibid., p.88.
171 Ibid., p.87.
82
Kehidupan bagi gadis-gadis muda Muslim di Inggris seringkali lebih ketat daripada
yang terjadi di negara asal mereka, karena para orang-tua takut jika putri-putri
mereka akan diracuni oleh budaya Barat, terutama dalam hal-hal yang
berhubungan dengan masalah seksual. Selalu ada rasa ketakutan jika putrinya
sampai hamil, dan itu akan mendatangkan malu dan mencoreng kehormatan
keluarga. Ini adalah masalah yang serius, karena ini menunjukkan bukan hanya
ketidakpercayaan mendasar terhadap wanita, namun juga ketidakpercayaan
terhadap masyarakat Inggris yang meninggikan kebebasan individual. Mohammed
Raza kembali mengemukakan bahwa “penindasan” semacam itu hanya akan
membuat mereka menentang iman Muslim.172
Kebebasan sementara selama masa pendidikan
Ketika para gadis bersekolah dan menempuh pendidikan di perguruan tinggi
mereka merasa bebas. Semua gadis yang saya wawancarai mengatakan bahwa
hubungan pria dan wanita selain dari ikatan pernikahan tidak disetujui di dalam
komunitas Muslim, dan itu adalah norma yang berlaku (komunitas Muslim tidak
mengenal masa berpacaran – Red). Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi para
gadis Muslim bertingkah-laku sama dengan teman-teman Barat mereka,
mengambil bagian dalam kelompok-kelompok jender yang bercampur, dan
mengunjungi banyak pub dan kafe. Banyak gadis yang saya ajak bicara
mengatakan bahwa mereka tidak minum alkohol di pub, tapi di pesta-pesta
mereka minum segelas anggur.
Para gadis Muslim menjalin hubungan antar budaya. Mereka juga menjalin
persahabatan dengan pria-pria muda dari kelompok ras yang berbeda. Bagi wanita
yang lebih tua hal ini merupakan sumber kecemasan dan tidak dapat diterima.
Sangat sulit untuk mencari tahu apakah hubungan-hubungan ini adalah hubungan
seksual. Diakui oleh sekitar separoh gadis yang saya wawancarai bahwa mereka
mengenal orang-orang muda Muslim yang mempunyai hubungan seksual, dan
orang-tuanya sama sekali tidak mengetahui hal itu. Beberapa gadis mengatakan
bahwa beberapa orang muda Muslim menjalani hubungan seksual dalam masa
berpacaran, sama saja dengan orang-orang muda dari komunitas kulit putih
Inggris. Mereka mengatakan bahwa ini bukannya tidak lazim dilakukan oleh
mereka yang berpendidikan lebih tinggi tapi lebih umum dilakukan oleh remaja pria
daripada remaja putri. Para gadis itu mengatakan kepada saya bahwa mereka
diajari mengenai kontrasepsi di sekolah.
Para gadis yang saya ajak bicara menyadari bahwa masa kebebasan mereka
yang sementara ini akan segera berakhir dengan pernikahan, dan oleh karena itu
mereka akan memanfaatkannya sebaik-baiknya. Mereka mengatakan bahwa
172 Ibid., p.85.
83
banyak gadis yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi hanya
untuk memperpanjang masa-masa kebebasan mereka. Semua gadis yang saya
wawancarai mengindikasikan bahwa jika mereka ingin melakukan sesuatu maka
selalu akan ada jalan untuk itu, dan mereka akan melakukannya tanpa
sepengetahuan orang-tua mereka. Sudah sangat lazim bagi para mahasiswa yang
tinggal di rumah atau tinggal dengan kerabat (kebanyakan demikian) mengatakan
kepada orang-tua mereka bahwa mereka harus kuliah malam dan harus tetap
tinggal di kampus untuk mengerjakan tugas. Hidup dalam lingkungan yang
sedemikian ketat di rumah berarti mereka harus menipu orang-tua mereka agar
mendapatkan kebebasan yang mereka inginkan. Namun demikian, relasi yang
mereka jalin dengan pria-pria muda biasanya tidak mempunyai tujuan yang jelas,
karena kedua belah pihak menyadari bahwa mereka akan dijodohkan dan
menikah dengan orang lain dalam waktu yang tidak terlalu lama. Datang dari
lingkungan yang sedemikian ketat, dan ketika mereka mulai menjalani kehidupan
di perguruan tinggi, beberapa orang muda Muslim untuk pertama kalinya mencicipi
manisnya kebebasan, sehingga akhirnya menjadi liar. Mereka seringkali
bertingkah lebih ekstrim daripada teman-teman Barat mereka.
Muhammad Anwar, dalam “Young Muslims in Britain”, menyebutkan sebuah
survey yang dilakukan pada tahun 1983 oleh Commision for Racial Equality di
kalangan orang muda Muslim, baik pria maupun wanita. Lima puluh tiga persen
dari antara mereka ingin merencanakan sendiri pernikahan mereka. Ia
mengatakan bahwa respons dari mereka yang mengekspresikan penolakan
terhadap pernikahan yang direncanakan untuk mereka mengindikasikan bahwa
saat orang-orang Muslim semakin bertambah di Inggris, sistem pernikahan melalui
perjodohan tidak akan berhasil dalam bentuk aslinya. Tren ini dikonfirmasi ketika
lebih dari 80% orang muda Muslim dan lebih dari 70% orang-tua setuju bahwa
“orang-tua ingin mempertahankan sistem pernikahan melalui perjodohan lebih dari
anak-anak mereka”. Ia menyimpulkan bahwa penolakan terhadap sistem ini
semakin meningkat, dan sikap orang muda dan contoh-contoh pemberontakan
terhadap pernikahan melalui perjodohan mengindikasikan bahwa di masa yang
akan datang masalah ini akan mengakibatkan adanya konflik antar generasi yang
lebih besar dalam komunitas Muslim.173
Ketakutan terhadap Westernisasi
Ketakutan terbesar yang menghantui komunitas Muslim adalah jika generasi yang
lebih muda akan menjadi kebarat-baratan, dan akan kehilangan bukan hanya
warisan budaya mereka, tetapi juga agama mereka. Ketakutan ini nyata, karena
orang muda Muslim menjadi semakin kebarat-baratan dan sekuler.174 Demikian
173 Anwar, Young Muslims, p.28.
174 Raza, Islam in Britain, p.75.
84
pula para orang-tua Kristen takut jika anak-anak mereka akan menemukan
identitas mereka dalam budaya sekuler dan meninggalkan iman Kristen. Sekali
lagi, ini adalah ketakutan yang nyata, karena sejumlah besar orang muda
meninggalkan gereja setiap tahun.
Proses westernisasi, dan ketakutan orang lain akan hal itu, tidak terbatas hanya
pada generasi muda Muslim. Para wanita Muslim yang lebih tua yang telah keluar
rumah untuk bekerja mendapati hal ini merupakan penyebab konflik di dalam
rumah-tangga mereka. Para suami takut jika istri-istri mereka menjadi kebaratbaratan
dan ingin mengenakan pakaian Barat, juga akan mengembangkan
hubungan dengan kaum pria.
Komunitas Muslim di Inggris adalah sebuah kelompok minoritas, tapi dalam
banyak kasus para anggotanya berasal dari situasi dimana Islam adalah kelompok
mayoritas. Islam telah terbiasa berfungsi sebagai kelompok mayoritas dan tidak
mempunyai fiqh, atau pengajaran, tentang bagaimana harus berfungsi sebagai
kelompok minoritas. Di Inggris, Islam tidak pernah memikirkan sebelumnya
bagaimana mereka harus berfungsi dalam situasi semacam itu, dan mereka
merasa tidak perlu melakukannya. Sebagai akibatnya, satu generasi imigran
dibesarkan tanpa bersekolah di sekolah Muslim (seperti madrasah/pesantren),
yang berarti mereka seringkali hanya mempunyai sedikit pengetahuan mengenai
agama mereka. Generasi ini telah dibentuk oleh sekolah-sekolah atau institusiinstitusi
Inggris, oleh globalisasi, dan televisi. Secara kontekstual mereka berbeda
dari generasi yang lebih tua.
Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan kontekstual
Satu faktor yang mendorong terjadinya perubahan kontekstual adalah tekanan
teman sebaya. Para gadis ingin berpakaian, terlihat dan bertingkah-laku sama
dengan teman-teman Barat mereka, agar mereka dapat menjadi bagian dari
kelompok teman sebaya mereka dan mendapatkan penerimaan. Di Inggris banyak
gadis Muslim mempunyai 2 jenis pakaian yang berbeda, satu dikenakan untuk
acara-acara keluarga dan acara-acara khusus, dan yang satunya lagi
(tersembunyi dari penglihatan orang-tua) untuk dikenakan di luar rumah. Tekanan
kelompok sebaya juga dapat membawa mereka ke dalam hubungan seksual
sebelum pernikahan, narkoba, kencan, dansa, alkohol dan kegiatan-kegiatan lazim
lainnya di tengah masyarakat yang di dalamnya mereka dapat menemukan diri
mereka sendiri.
Faktor signifikan lainnya yang telah membawa perubahan kontekstual adalah
sistem pendidikan. Akses kaum wanita kepada sistem pendidikan Inggris telah
menjadi faktor terbesar dalam mengubah posisi wanita di dalam Islam. Sistem
85
tersebut telah membentuk para siswanya untuk mempunyai beragam pola pikir,
mempromosikan argumen dan analisa ideologi, dan beroperasi dalam sebuah
kerangka kerja budaya yang berdasarkan pada sekularisme. Sistem ini berarti
adanya pembauran dan juga kesetaraan jender. Ini adalah satu faktor yang paling
berkontribusi dalam konflik antar generasi dan antar budaya, karena berbicara
mengenai pilihan dan individualisme yang bertentangan dengan kekuasaan
komunitas.
Dalam cara yang sama, tempat kerja juga telah membawa perubahan kontekstual.
Ketika orang muda Muslim pergi bekerja, pendapatan mereka menentukan kelas
mereka di dalam masyarakat dan mereka akan didefinisikan di dalam kelas
tersebut, kadangkala mengadopsi tingkah-laku dan simbol-simbol dalam kelas itu.
Bahkan bahasa dapat menjadi sarana perubahan kontekstual karena penggunaan/
berbicara dalam bahasa Inggris memberi akses kepada literatur dan media
lainnya. Melalui kedua hal itu budaya dan adat-istiadat masyarakat Inggris dapat
dikenal dan diterima dan kemudian masyarakat itu sendiri, lagu-lagunya, budaya
orang mudanya, etika kerjanya, konsep-konsep relasi, media dan masih banyak
lagi factor yang ada di dalamnya.
Identitas
Hal yang berkaitan dengan perubahan kontekstual adalah pertanyaan mengenai
identitas. Bagaimana orang muda Muslim memandang diri mereka sendiri?
Apakah mereka menganggap diri mereka sebagai orang Pakistan atau orang
Bangladesh walaupun mereka dilahirkan di Inggris, ataukah mereka menganggap
diri mereka sebagai orang Inggris? Apakah mereka melihat diri mereka sebagai
orang Muslim atau dengan identitas etnis yang lebih luas?
Tak satupun orang muda yang saya wawancarai mempunyai sentimen apapun
atau loyalitas kepada negara asal orang-tua mereka. Diatas segala sesuatu
mereka menganggap diri mereka sebagai orang Inggris. Separoh dari gadis-gadis
muda mengidentifikasi diri dengan sudut pandang Asia yang lebih luas. Namun
demikian, setelah peristiwa 11 September 2001, ada pendefinisian ulang
mengenai Islam dan identitas islami. Mungkin adil jika mengatakan bahwa banyak
orang muda Muslim di Inggris kini melihat dan mengidentifikasi diri mereka
sebagai orang Muslim Inggris. Berkaitan dengan identitas Muslim Inggris ini, ada
sebuah peningkatan kepopuleran jilbab (hijab), yang dilihat sebagai ekspresi
identitas seorang wanita Muslim.
86
Konflik budaya
Orang muda Muslim di Inggris hidup dalam 2 budaya. Ada budaya Muslim yang
ketat di dalam keluarga dan budaya Barat yang post-modern di sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi mereka. Oleh karena itu ada konflik budaya yang terjadi
dalam hidup mereka, dan ini dialami lebih akut oleh para gadis Muslim karena
orang-tua cenderung untuk lebih protektif terhadap mereka berkenaan dengan halhal
seperti berkencan, seksualitas dan pernikahan. Sementara para orang-tua
Muslim berpegang teguh pada idealisme tradisional, sedang anak-anak mereka
bertumbuh dengan aspirasi-aspirasi yang berbeda, yang mereka sendiri sadar
betul kalau itu akan ditolak oleh orang-tua mereka. Jurang ini kadangkala tidak
terjembatani dan identitas ganda menjadi hal yang tidak terelakkan. Untuk
menjaga reputasi keluarga maka kerahasiaan adalah hal yang penting.
Seorang gadis Bengali yang berusia 19 tahun menggambarkan bagaimana ia
menjalani kehidupan ganda. Di rumah ia adalah putri yang berbakti, tapi di luar
rumah ia menjadi anak remaja yang merokok, terobsesi tren, dan mengenakan
celana di pinggul. Ia mengatakan bahwa kepada orang-tuanya ia berbakti, taat dan
anak perempuan yang tidak bersalah dan bermata lebar. “Di rumah anda tidak
akan melihat saya mengenakan atasan berleher rendah atau celana ketat atau
merokok. Namun saat saya telah meninggalkan pintu depan rumah, maka
terjadilah sebuah perubahan mendadak. Lepas dari jaket pengaman, muncullah
gadis yang genit, kreatif, dan lincah”. Ayahnya adalah seorang tokoh senior di
komunitas Muslim Bengali di London, dan ia diharapkan untuk bertingkah-laku
dengan pantas. Ia mengatakan kadang ia merasa terjebak dan nuraninya
terbelenggu sehingga ia tidak dapat bersikap terbuka mengenai sisi lain identitas
dirinya, tetapi “saya tahu itu akan menghancurkan hati orang-tua saya dan
menimbulkan skandal”. Maka penampilannya yang seksi tetap dirahasiakannya di
belakang lemari pakaiannya.175
Terjebak diantara 2 budaya mendatangkan efek yang merusak pada kesehatan
para gadis muda Muslim, berdasarkan sebuah makalah yang dipresentasikan di
British Psychological Society pada tahun 1997 oleh Dev Sharma (psikolog,
Newham Council) dan Dr. David Jones (Birkbeck College, London University).
Studi tersebut dilakukan oleh karena meningkatnya jumlah gadis remaja Muslim
yang mengalami permasalahan-permasalahan emosional dan kesulitan-kesulitan
dalam bertingkah-laku. Laporan itu menyatakan bahwa gadis-gadis Muslim sangat
cemas dan tiga kali lebih banyak berusaha untuk menyakiti diri mereka sendiri
daripada teman-teman Barat mereka, apakah itu menjerit meminta pertolongan
atau berusaha untuk bunuh diri. Dilaporkan bahwa ada tekanan yang sangat besar
terhadap mereka untuk menyesuaikan diri dengan pola-pola budaya, terutama jika
berkenaan dengan moral seksual dan persahabatan antara pria dan wanita.
175 Anjana Ahuja, “Caught in the Culture Trap”, The Times, April 8, 1997, p.14.
87
Namun demikian jika orang-tua terlalu protektif, maka anak-anak akan cenderung
semakin memberontak.
Sebuah laporan baru-baru ini oleh Safer Surrey Partnership Team (didanai dan di
dukung oleh Surrey County Council, Kepolisian Surrey dan Metropolitan Police
Service) mengeksplorasi identitas jamak dan berubah dari para wanita muda
Pakistan dan kebutuhan-kebutuhan mereka di Inggris. Mereka mengatakan
bahwa terdapat indikasi yang jelas bahwa masalah bunuh diri dan percobaan
bunuh diri sangatlah akut di kalangan kelompok wanita ini. Kelompok ini telah
didapati mempunyai tingkat masalah bunuh diri yang lebih tinggi daripada temanteman
mereka di kalangan populasi orang kulit putih atau di dalam kelompok etnis
lainnya. Faktor-faktor yang diidentifikasi memberi kontribusi kepada pola ini
meliputi penundukkan diri dan kesopanan terhadap pria dan orang yang lebih tua,
senantiasa mendapatkan paksaan untuk menikah (juga melalui perjodohan), dan
permasalahan keuangan sehubungan dengan pembayaran mahar. Oleh karena itu
muncullah stres yang sangat berhubungan dengan pertikaian antar budaya. Hanya
setelah para gadis itu mengambil tindakan yang drastis, seperti kabur dari rumah
atau melakukan percobaan bunuh diri, barulah permasalahan itu dapat disadari
keberadaannya. Laporan itu juga mengatakan bahwa sangatlah mungkin situasi itu
diperburuk oleh semacam “pembekuan” norma-norma budaya dan meningkatnya
tekanan pada para gadis untuk menjamin norma-norma itu tetap dipelihara telah
terjadi karena generasi orang-tua bergumul untuk menjaga komunitas dan
identitas budaya di hadapan budaya Inggris yang dominan dan rasisme.176
Struktur patriarkhal
Sejak mereka lahir, para gadis itu dianggap sebagai sumber masalah, dan mereka
akan meninggalkan rumah keluarga mereka dan menikah. Kelahiran mereka tidak
diberitakan dan ucapan belasungkawa dapat diberikan. Seorang anak laki-laki
sangat diinginkan dan kelahirannya jauh lebih dipentingkan, karena ia adalah aset
yang akan membawa nama keluarga dan warisan. Anak laki-laki dianggap sebagai
investasi kapital untuk alasan-alasan ekonomis.177 Keyakinan ini berasal dari
struktur patriarkhal masyarakat pedesaan, dan bertentangan dengan budaya dan
hukum Inggris dimana kedua jender (laki-laki dan perempuan) dipandang sama
pentingnya dan mandiri.
176 Salma Sulaimani, The Multiple and Changing Identities of Young Pakistani Women in Working, Safer
Surrey Partnership Team (Working, 2000), p.2.
177 Raza, Islam in Britain, p.85.
88
Agama dan orang muda
Keharusan untuk berpegang pada Islam berada pada tingkatan yang sangat
rendah di kalangan orang muda Muslim, karena mereka telah memeluk
sekularisme masyarakat dimana mereka hidup di Inggris. Namun demikian mereka
masih menganggap diri mereka sebagai orang Muslim. beberapa orang muda
mempunyai pandangan mereka sendiri mengenai Islam namun merasa bahwa
mereka terpinggirkan dan telah diabaikan. Satu alasan untuk hal ini adalah sebuah
generasi telah bertumbuh tanpa mendapatkan pengajaran dalam Islam, mengingat
di banyak tempat tidak ada sekolah-sekolah Muslim. Ketika generasi orang-tua
mereka datang sebagai imigran baru di Inggris, semua struktur sosial masyarakat
harus diletakkan pada tempatnya dan sekolah-sekolah Muslim tidak mendapat
prioritas. Ini telah diperhatikan dalam beberapa tahun terakhir ini, dan
kemungkinan besar semua anak Muslim kini akan mengikuti ceramah di mesjid
sepulang sekolah beberapa hari dalam seminggu selama 2 hingga 3 jam. Anakanak
kecil berusia 4 tahun dapat terlihat menghadiri ceramah seperti ini.
Kurang berminatnya orang muda terhadap Islam juga disebabkan oleh cara orangtua
mereka mengkomunikasikan iman Islam kepada mereka. Para orang-tua
cenderung menurunkan pada anak-anak mereka adat-istiadat, cara-cara dan
penafsiran praktek sistem Islam menurut mereka sendiri. Adat istiadat ini
nampaknya sangat ditolak oleh generasi yang lebih muda.178 Pada tahun 1991,
Raza menulis bahwa ia percaya komunitas Muslim telah mengecewakan generasi
yang lebih muda karena mereka sendiri memiliki pandangan-pandangan Islam
yang “reaksioner dan sulit dimengerti”. Dalam beberapa kasus hal ini merupakan
hasil dari latar-belakang tradisional dan udik di negara asal mereka, sedangkan
anak-anak mereka mempunyai penampilan yang lebih intelektual, urban, dan
internasional. Terutama, ia mengklaim, komunitas tersebut telah gagal
menciptakan sebuah lingkungan islami yang menarik, atau menjadikan mesjidmesjid
sebagai pusat komunitas dimana generasi yang lebih muda dapat bertemu
dengan orang Muslim lain dalam tataran sosial.
Ia yakin bahwa generasi yang lebih tua tidak mampu mendefinisikan nilai-nilai dan
standar islami dengan cara yang ringkas, atau menyarankan cara-cara alternatif
islami lainnya dalam memenuhi kebutuhan orang muda.179 Dalam beberapa tahun
terakhir, sejak 1997-1998, ini telah berubah dan para pemimpin religius Muslim
telah memulai program untuk orang muda di mesjid dan pusat-pusat komunitas.
Semua wanita dan gadis yang saya wawancarai (kecuali 2 gadis dari Arab Saudi)
hanya sedikit memikirkan agama mereka. Seorang gadis yang saya wawancarai
sangat takut jika saya hendak bertanya padanya mengenai Islam, karena ia
178 Nimat Hafez Barazangi, ‘Acculturation of North American Arab Muslims: Minority Relations or
Worldview Variation?’ Journal of Muslim Minority Affairs, July 1990, No. XIII, p.373-9.
179 Raza, Islam in Britain, p.81.
89
mengakui bahwa ia sama sekali tidak tahu tentang agamanya itu. Alasan
utamanya adalah kurangnya pengajaran mengenai Islam untuk para gadis ini.
Baru sekarang Islam mulai mengkontekstualisasikan diri di wilayah-wilayah
tertentu di Inggris guna menghadapi situasi ini. Mereka menyediakan tempat bagi
wanita di semua mesjid yang baru, kadang sebuah ruang yang sangat besar
berdampingan dengan ruang untuk pria. Ini adalah sebuah perkembangan yang
baru. Kini ada kelompok-kelompok pengajaran mengenai Islam dan doa bagi
orang muda di beberapa pusat komunitas, sama seperti kelompok-kelompok
rumah yang dikenal di kalangan Kristen.
Berdampingan dengan tidak ada minat terhadap Islam, ada pula fenomena yang
berlawanan dengan itu yakni pertambahan sejumlah besar gadis muda yang
menjadi bagian dari Islam radikal. Mereka mengenakan kerudung berdasarkan
aturan Islam yang ketat dan bersikap sangat serius terhadap agama mereka.
Sebuah contoh mengenai hal ini adalah Shabina Begum yang menggugat
sekolahnya ke pengadilan pada Mei 2004, mengklaim bahwa hak-hak azasinya
sebagai manusia telah dilanggar karena ia tidak diijinkan untuk mengenakan jilbab
yang menutupi seluruh tubuhnya ke sekolah. Sekolah itu, yang pakaian
seragamnya disetujui oleh para pakar Islam untuk siswa-siswi Muslim,
beranggapan bahwa mengijinkan seorang murid mengenakan pakaian tertutup
yang lebih ekstrim dari para murid yang lainnya akan memberi tekanan pada
gadis-gadis Muslim lainnya bahwa mereka tidak cukup telaten. Shabina Begum
kalah dalam gugatannya itu dan kini ia bersekolah di sebuah sekolah Muslim.
kebebasan kristen tentang pornografi..? =
ReplyDeletel. Hubungan Seks Antara Ayah dan Dua Orang Anak Perempuannya:
Malam-malam kedua anak perempuan Nabi Lot menggoda ayah mereka yang mabuk dan men-dapatkan anak darinya. (Injil - Kejadian 19: 30-36).
2. Anak laki-laki Berhubungan Dengan Ibunya:
Ruben anak laki-laki tertua dari Yakub, pada saat ayahnya tidak ada, berhubungan seksual dengan istri ayahnya dan Israel (nama lain Yakub) mendengarnya. Adegan ini dilaporkan kepadanya, tetapi dia tidak memarahi atau memukul anaknya atas kelakuan tersebut. Tuhan juga tidak memberikan sebuah kata celaan pun kepadanya. (Injil-Kejadian 35: 22).
3. Yehuda Melakukan Perzinahan Dengan Menantu Perempuannya:
Dia dengan segera menjadi hamil dan memberikan anak haram yang kembar yang kemudian menjadi nenek moyang Yesus Kristus. Ini berarti Tuhan memberi penghargaan kepada Yehuda dan keturunannya. (Injil -Kejadian 38: 15-30).
4. Amnon, Salah Seorang Putra Nabi Daud Memperkosa Saudara Perempuannya:
"Seorang anak laki-laki yang mulia dari seorang ayah yang mulia" berdasarkan Injil yang "Suci", Amnon dengan sebuah tipu daya yang hebat memperkosa saudara perempuannya Tamar dan Tuhan tidak menghukum atau menegurnya. (Injil - 2 Samuel 13: 5-14)
5. Putra Daud Yang Lain Memperkosa Ibunya (10 kali berurutan).
Absalom membentangkan sebuah kemah di atas Sotoh dan membaringkan 10 istri (gundik) ayahnya dan memperkosa mereka semuanya satu per satu, 'di depan mata seluruh Bani Israel.' (Injil - 2 Samuel 16: 21-23).
6. Yerusalem (Orang Yahudi) Pelacur Yang Tidak Pernah Puas Tidak bangsa Asyur, Babylonia atau Mesir pernah dapat memuaskan pelacur Yahudi tersebut. Pelacur-pelacur lain dibayar oleh klien mereka atas pelayanan yang diberikan tetapi pelacur ini membayar klien mereka agar dilayani. "Dia membentangkan kakinya untuk setiap orang yang lewat!" (Injil - Yehezkiel 16: 23-24).
7. Dua Orang Perempuan Bersaudara Berkompetisi Satu Sama Lain Dalam Prostitusi. "Bagi kegemarannya terhadap kekasih-kekasihnya yang auratnya seperti aurat keledai dan emisinya seperti emisi kuda." (Injil - Yehezkiel 23: 1-35)
ReplyDeleteJika cuplikan kecil ini tidak memuaskan Anda, maka bukalah pasal-pasal dan ayat-yat Injil berikut ini di rumah. Jangan lupa untuk menandainya dengan warna merah agar mudah dijadikan referensi. (a) "Dia memegang dan menciumnya .... "Marilah kita memuaskan birahi hingga pagi hari, dan bersama-sama menikmati asmara. Karena suamiku tidak di rumah, ...." (Injil - Amsal 7: 7-22)
(b) Berkata wanita tersebut: "Rajaku sedang berbaring di dipannya.... " 'Kekasihku mempunyai penciuman dari Myrrh sewaktu dia berbaring pada buah dadaku ". ( Injil - Kidung Agung 1: 12-13).
(c) Di atas ranjangku pada malam hari kucari jantung hatiku. "... ketika saya menemuinya ... Kupegang dan tak kulepaskan dia, sampai kubawa dia kerumah ibuku, ke kamar di mana aku lahir." (Injil - Kidung Agung 3: 1-4)
(d) "Lihatlah, cantik engkau, manisku bibirmu bagaikan seutas pita kirmizi .. .. buah dadamu seperti anak rusa .... Lingkar pahamu seperti permata .... ... Saya berkata, 'Saya akan memanjat pohon palem ... Oh, buah dadamu seperti sekelompok anggur'. "(Injil - Kidung Agung 4: 1-7).
(e) "Dan Simson pergi ke Gaza, dilihatnya di sana seorang perempuan sundal (seorang Wanita Tuna Susila), dan dia menghampirinya (melakukan hubungan seksual dengannya). "(Injil - Hakim-hakim 16: 1).
Bahkan George Bernard Shaw, pemikir dan dramawan besar Inggris, sewaktu membaca Kitab Suci Injil dengan teliti mengatakan bahwa kitab tersebut adalah "Kitab yang paling berbahaya di bumi. Jaga kitab tersebut dalam keadaan ter-kunci: larang anak-anak Anda membacanya."
Berapa banyak lagi kerusakan permanen dari kisah perampokan dan pembunuhan, perzinahan dan sifat kebinatangan dalam Kitab Suci Injil terhadap anak-anak Kristen, bisa diukur dari berita-berita di koran. Jika sumber moral kaum Kristen seperti itu, tak heran jika kemudian kaum Metodis dan Katolik Roma memberkati perkawinan antara kaum Homosexual di dalam 'Rumah Tuhannya' dan 8000 gay berparade di Hyde Park London, Juli 1979 yang disiarkan di koran dan TV
7. Dua Orang Perempuan Bersaudara Berkompetisi Satu Sama Lain Dalam Prostitusi. "Bagi kegemarannya terhadap kekasih-kekasihnya yang auratnya seperti aurat keledai dan emisinya seperti emisi kuda." (Injil - Yehezkiel 23: 1-35)
ReplyDeleteJika cuplikan kecil ini tidak memuaskan Anda, maka bukalah pasal-pasal dan ayat-yat Injil berikut ini di rumah. Jangan lupa untuk menandainya dengan warna merah agar mudah dijadikan referensi. (a) "Dia memegang dan menciumnya .... "Marilah kita memuaskan birahi hingga pagi hari, dan bersama-sama menikmati asmara. Karena suamiku tidak di rumah, ...." (Injil - Amsal 7: 7-22)
(b) Berkata wanita tersebut: "Rajaku sedang berbaring di dipannya.... " 'Kekasihku mempunyai penciuman dari Myrrh sewaktu dia berbaring pada buah dadaku ". ( Injil - Kidung Agung 1: 12-13).
(c) Di atas ranjangku pada malam hari kucari jantung hatiku. "... ketika saya menemuinya ... Kupegang dan tak kulepaskan dia, sampai kubawa dia kerumah ibuku, ke kamar di mana aku lahir." (Injil - Kidung Agung 3: 1-4)
(d) "Lihatlah, cantik engkau, manisku bibirmu bagaikan seutas pita kirmizi .. .. buah dadamu seperti anak rusa .... Lingkar pahamu seperti permata .... ... Saya berkata, 'Saya akan memanjat pohon palem ... Oh, buah dadamu seperti sekelompok anggur'. "(Injil - Kidung Agung 4: 1-7).
(e) "Dan Simson pergi ke Gaza, dilihatnya di sana seorang perempuan sundal (seorang Wanita Tuna Susila), dan dia menghampirinya (melakukan hubungan seksual dengannya). "(Injil - Hakim-hakim 16: 1).
Bahkan George Bernard Shaw, pemikir dan dramawan besar Inggris, sewaktu membaca Kitab Suci Injil dengan teliti mengatakan bahwa kitab tersebut adalah "Kitab yang paling berbahaya di bumi. Jaga kitab tersebut dalam keadaan ter-kunci: larang anak-anak Anda membacanya."
ReplyDeleteBerapa banyak lagi kerusakan permanen dari kisah perampokan dan pembunuhan, perzinahan dan sifat kebinatangan dalam Kitab Suci Injil terhadap anak-anak Kristen, bisa diukur dari berita-berita di koran. Jika sumber moral kaum Kristen seperti itu, tak heran jika kemudian kaum Metodis dan Katolik Roma memberkati perkawinan antara kaum Homosexual di dalam 'Rumah Tuhannya' dan 8000 gay berparade di Hyde Park London, Juli 1979 yang disiarkan di koran dan TV