Bagi orang Muslim, Qur’an adalah perkataan Tuhan yang kekal, wahyu terakhir-Nya yang diberikan kepada nabi orang Muslim, yaitu Muhammad. Qur’an adalah kitab suci orang Muslim dan mereka mempercayainya sebagai sumber otoritas yang final. Qur’an dipandang sebagai sumber dari agama yang benar dan juga sumber pengetahuan. Orang Muslim percaya bahwa Qur’an yang ditulis dalam bahasa Arab adalah replika yang persis sama dengan loh batu yang disimpan di surga yang telah ada bersama Tuhan sejak mulanya. Oleh karena itu mereka mengatakan bahwa Qur’an “tidak diciptakan” dan kekal. Mereka percaya bahwa Qur’an diwahyukan kepada Muhammad dalam kurun waktu 23 tahun oleh malaikat Jibril kata per kata dengan sempurna dari loh yang ada di surga.
Dalam Qur’an sendiri nampaknya ada pernyataan-pernyataan yang berkontradiksi, tapi berdasarkan “doktrin pembatalan” ayat-ayat atau sura-sura yang muncul belakangan menggantikan ayat-ayat dan sura-sura yang telah ada terlebih dahulu, dan disini terlihat adanya inkonsistensi.
Pengajaran Islam tidak hanya berasal dari Qur’an tapi juga dari Hadith. Kumpulan
Hadith atau tradisi-tradisi, mencatat perkataan dan perbuatan Muhammad. Harus
diperhatikan bahwa perkataan Hadith tidak selalu merupakan perkataan
Muhammad tetapi bagaimana orang-orang yang disebut sebagai “para Sahabat
Nabi” memahami hal itu, atau apa yang dikatakan dan dilakkan orang pada jaman
itu. Penting sekali untuk memeriksa identitas “Sahabat Nabi” yang mengatakannya
dan dalam keadaan bagaimana hal itu dikatakan, demikian pula orang-orang yang
meneruskan tradisi itu. Juga ada permasalahan mengenai otentisitas tradisi
tersebut, apakah tradisi itu lemah, palsu atau otentik.
Ketika Qur’an dan tradisi-tradisi bungkam mengenai sesuatu hal, aturan-aturan
ditetapkan melalui konsensus para pemimpin religius (ijma) dan melalui penalaran
analog (qiyas). Kombinasi Qur’an, Hadith, ijma dan qiyas telah digunakan oleh
para sarjana Islam untuk menciptakan sebuah susunan hukum dan regulasi yang
dikenal dengan Syariah atau Hukum Islam.
Apakah yang dimaksud dengan kesetaraan?
Kesetaraan adalah penerimaan/pengakuan bahwa martabat kedua jender (pria
dan wanita) adalah sama/setara, termasuk hak yang sama baik bagi pria maupun
wanita dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum. Keduanya harus
mempunyai hak yang sama untuk membangun sebuah pernikahan atau
24
memutuskan ikatan pernikahan, membeli atau menyingkirkan properti, dan
memilih pekerjaan/profesi mereka masing-masing. Pria dan wanita harus setara
memikul tanggung-jawab dan juga dalam mendapatkan kebebasan. Hal yang
mendasar dalam kekristenan adalah bahwa pria dan wanita setara (duduk sama
rendah, berdiri sama tinggi) di hadapan Tuhan.
Apa yang dikatakan Islam mengenai kesetaraan wanita?
Orang Muslim percaya bahwa Qur’an, tanpa ada keraguan sedikitpun,
mengajarkan kesetaraan antara pria dan wanita. Mereka mengatakan bahwa tidak
pernah ada pertikaian mengenai hal ini: pria dan wanita adalah setara. Sura-sura
atau ayat-ayat Qur’an yang mereka kutip adalah sebagai berikut:40
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri
yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya
Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.41
Islam percaya bahwa ayat ini menunjukkan bahwa yang satu tidak lebih superior
dari yang lain, karena baik pria maupun wanita berasal dari satu, dan oleh karena
itu menikmati status yang setara.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan...42
Islam percaya bahwa ayat ini berarti pria dan wanita itu setara.
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam...43
Orang Muslim berkata bahwa “anak-anak Adam” berarti baik pria maupun wanita
sama dihormati tanpa adanya pembedaan antara kedua jender.
Melalui ketiga ayat ini orang Muslim mengklaim tanpa ragu bahwa Qur’an
mengajarkan pria dan wanita itu setara. Namun demikian kesetaraan secara
teoritis ini tidak terlihat dalam prakteknya. Beberapa sarjana Muslim telah
mengakui hal ini dan mengatakan bahwa ketiga ayat yang menegaskan soal
kesetaraan ini tidak dilakukan, dan bahwa sangatlah penting untuk mempunyai
pemahaman yang menyeluruh mengenai keadaan buruk yang dialami wanita.
Banyak hak yang diberikan oleh Islam kepada wanita dalam prakteknya telah
diabaikan, sehingga hal itu harus dipulihkan bagi mereka.44
40 Semua kutipan dari Qur’an kecuali yang dinyatakan berasal dari Mohammad Marmaduke Picktall (trans.),
The Meaning of the Glorious Qur’an.
41 Ibid., Sura 4:1.
42 Ibid., Sura 49:13.
43 Ibid., Sura 17:70.
44 Murtada Mutahhari, The Rights of Women in Islam (Tehran: World Organization for Islamic Services,
1981), p. 126.
25
Kesetaraan juga dijelaskan melalui argumen lain, yaitu bahwa pria dan wanita
adalah setara tetapi mereka masing-masing mempunyai tugas dan fungsi yang
berbeda sehubungan kondisi biologis mereka. Pria dipandang sebagai kaum yang
secara fisik lebih kuat, sedangkan kondisi biologis wanita menjadikannya pengurus
rumah-tangga yang baik.45 Ini sebenarnya mengatakan bahwa peran seorang
wanita dibatasi oleh karena kondisi biologisnya dan oleh karena itu ia hanya
mampu mengerjakan pekerjaan rumah-tangga. Di Inggris, perjuangan
mendapatkan hak-hak wanita selama bertahun-tahun dan dua kali perang dunia
telah menyingkirkan argumentasi yang diskriminatif ini, namun gemanya masih
dapat terdengar hingga sekarang.
Di dalam Islam, pandangan ini sangat ditentang oleh para wanita seperti Wadud-
Muhsin yang mempertanyakan nilai-nilai yang dikenakan kepada wanita, yaitu
bahwa wanita itu lemah, rendah, pada dasarnya jahat, kurang cerdas dan kurang
rohani, menjadikan mereka tidak cocok/pantas untuk melakukan tugas-tugas
tertentu atau berfungsi dalam berbagai cara di tengah masyarakat. Pada
kenyataannya mereka telah dibatasi sehingga hanya dapat menjalankan fungsifungsi
yang sesuai dengan keadaan biologis mereka.46 Ia merasa bahwa peran
seorang wanita sangatlah dibatasi oleh karena adanya prasangka akan peran
yang seharusnya dijalani seorang wanita. Nilai-nilai ini mengatakan bahwa wanita
adalah kaum yang rendah derajatnya, memalukan sehingga memberikannya
posisi yang rendah dalam masyarakat.
Status religius wanita dalam Islam
Qur’an berkata:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan
yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan
perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.47
Orang Muslim menunjukkan bahwa ayat ini secara langsung menyebut wanita
sebanyak 10 kali, yang membuktikan bahwa wanita dapat mencapai kedudukan
yang sama dengan pria dan dengan demikian menyimpulkan bahwa dalam Qur’an
wanita berdiri pada tingkatan spiritual yang sama. Ayat ini “memberikan sebuah
pernyataan yang jelas mengenai identitas absolut kondisi moral manusia dan
45 Abdul-Ghaffar Hasan, The Rights and Duties of Women in Islam (London: Al-Qur’an Society, 1992), p. 5.
46 Amina Wadud-Muhsin, Qur’an and Women, (Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn Bhd, 1992), p. 7.
47 Qur’an, Sura 33:35
26
kewajiban-kewajiban moral dan spiritual yang sama bagi semua manusia tanpa
memandang jenis kelamin.48
Kehadiran ayat-ayat seperti ini dalam Qur’an “menjelaskan mengapa kaum wanita
Muslim seringkali berkeras, bahkan ngotot, mengatakan kepada orang non-Muslim
bahwa Islam tidak memandang jender. Mereka mendengar dan membaca dalam
kitab suci mereka, secara sah, sebuah pesan yang berbeda dari apa yang
didengar oleh para pembuat dan penganjur Islam yang ortodoks dan
androsentris.49
Namun demikian, sangatlah mudah untuk hanya melihat ayat-ayat tertentu dalam
Qur’an dan tiba pada posisi bahwa Qur’an mengajarkan bahwa pria dan wanita
setara baik dalam posisi dan status religius. Banyak orang Muslim yang percaya
bahwa Qur’an memang mengajarkan kesetaraan, walaupun mereka mengakui
bahwa kesetaraan tidak eksis di dunia nyata. Namun demikian sebelum kita tiba
pada sebuah kesimpulan, kita harus melihat ayat-ayat lain dalam Qur’an dan
Hadith dan mempertimbangkan bukti yang ada dengan sepenuhnya.
Takdir wanita dalam kekekalan
Dalam Hadith dikatakan:
Pada suatu ketika Rasul Allah berkata kepada sekelompok wanita, “Hai
perempuan! Berikanlah sedekah, karena aku telah melihat bahwa kebanyakan
penghuni neraka adalah kalian (para wanita)”. Mereka bertanya, “Mengapakah
demikian wahai Rasul Allah?” Ia menjawab, “Kalian sering mengutuk dan tidak
berterimakasih kepada suami-suami kalian. Aku belum pernah melihat siapapun
yang kurang cerdas dan kurang beragamanya daripada kamu. Seorang laki-laki
yang waras dan berhati-hati dapat disesatkan oleh beberapa diantara kalian”. Para
wanita itu bertanya, “Wahai Rasul Allah! Apakah yang kurang dalam kecerdasan
dan beragama kami?” Ia berkata, “Bukankah kesaksian dua wanita setara dengan
kesaksian seorang pria?” Mereka mengiyakannya. Ia berkata, “Inilah kurang
cerdasnya kamu. Bukankah benar bahwa seorang wanita tidak dapat berdoa dan
juga tidak dapat berpuasa selama ia datang bulan?” para wanita itu
mengiyakannya. Ia berkata, “Inilah kekurangannya dalam beragama”.50
Hadith ini dianggap asli dan otentik dan dilaporkan oleh Al Bukhari dan Muslim,
dua kumpulan Hadith yang dipandang paling sahih. Keduanya tidak diperdebatkan
dan digunakan oleh para sarjana terkemuka. Sekali lagi sebuah Hadith yang
lainnya mengatakan:
48 Leila Ahmed, Women and Gender in Islam, (New Haven, CT: Yale University Press, 1992), p. 65
49 Ibid., p. 66
50 Sahih Al Bukhari in The Alim (Silver Spring, Maryland: ISL Software Corp, 1986-1999), Hadith 1:301.
27
Nabi berkata, “Aku melihat ke surga dan menemukan bahwa kebanyakan
penghuninya adalah orang miskin, dan aku melihat ke dalam api (neraka) dan
menemukan bahwa kebanyakan penghuninya adalah perempuan”.51
Ada 7 referansi lain oleh Al Bukhari dalam Hadith mengenai neraka yang dipenuhi
wanita.52 Ini adalah perkataan-perkataan yang tidak main-main karena sumbernya
dapat dipercaya dan dikuatkan oleh banyaknya jumlah kemunculannya.
Pertanyaannya adalah bagaimana seorang wanita dapat masuk ke dalam surga?
Seorang istri harus sungguh-sungguh taat kepada suaminya yang menunjukkan
kesalehannya dan menjamin takdirnya dalam kekekalan. Jika ia menyusahkan dan
membuat suaminya cemas maka ia tidak akan dapat menjadi istrinya di surga.
Kemudian para perawan bermata jernih (houris) akan menjadi pendamping bagi
suaminya. Suaminya adalah surganya atau nerakanya. Suami sangat ditinggikan
dibandingkan wanita/istrinya bahkan ia ditempatkan pada tingkat ilahi. Tanggapan/
sikap istrinya kepadanya harus menunjukkan sikap beribadah kepadanya.53 Ini
terlihat dalam Hadith berikut ini ketika Muhammad berkata,
“Jika aku harus memerintahkan seseorang untuk bersujud di hadapan sesamanya,
aku akan memerintahkan perempuan untuk bersujud di hadapan suaminya,
karena hak istimewa atas mereka diberikan kepada para suami oleh Allah”.54
Para istri orang-orang yang benar dan taat akan mendampingi suami-suami
mereka di surga. Para wanita di surga harus tunduk, berserah, berkerudung dan
dipisahkan dari kaum pria dalam harem-harem di surga, dalam diam menyaksikan
para suami mereka bercinta dengan para houris yang cantik di surga. Pria adalah
tuannya di bumi, dan ia juga akan tunduk padanya di surga selamanya. Dalam
keseluruhan teks dalam Qur’an tidak satu ayat pun yang menunjukkan bahwa
wanita akan diperlakukan dengan setara di surga. Seksualitas pria diakui,
diberlakukan dan ditegaskan oleh Kitab Suci Muslim, tetapi kebutuhan wanita
secara total diabaikan. Beberapa deskripsi mengenai surga antara lain “orangorang
muda yang tidak akan mati” yang melayani para suami untuk minum anggur,
tidak ada tanda-tanda bahwa wanita diberikan kebebasan seksual yang sama
dengan orang-orang muda ini seperti halnya para suami diijinkan untuk
berhubungan dengan para houris. Para wanita di surga harus setia kepada suamisuami
mereka sebagaimana mereka setia pada waktu masih di dunia.55
Dalam Qur’an dikatakan:
51 Ibid., Hadith 8:456.
52 Ibid., Hadith 1:28, 2:161, 2:541, 4:464, 7:124, 7:125, 7:126, 8:555.
53 P Newton & M Haqq, Women in Islam (Warley: TMFMT, 1993), p. 13.
54 Sunan Abu-Dawood, Hadith 876 diceritakan oleh Qays ibn Sa’d
55 Hekmat, Women and the Koran, p. 90.
28
Mereka dan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas
dipan-dipan.56
Mengapa wanita masuk neraka?
Dalam Hadith dikatakan,
“Aku juga melihat api neraka dan belum pernah kulihat pemandangan yang sangat
mengerikan seperti itu. Aku melihat bahwa kebanyakan penghuninya adalah
perempuan”. Orang-orang bertanya, “Wahai Rasul Allah! Mengapakah demikian?”
nabi menjawab, “karena mereka tidak berterima-kasih”. Ia ditanyai apakah mereka
tidak berterima-kasih kepada Allah. Nabi menjawab, “Mereka tidak berterima-kasih
kepada teman hidupnya (para suami) dan tidak bersyukur atas perbuatanperbuatan
baik”.57
Jika kita memperhatikan semua ayat mengenai takdir kekal, muncullah bukti yang
mengatakan bahwa kecuali seorang wanita taat dan bersyukur kepada suaminya
pada saat menjelang ajal, maka ia akan masuk neraka. Semua kesalehannya
akan dianggap tidak berguna jika ia tidak menaati suaminya. Sangatlah menarik
jika memperhatikan bahwa tidak ada cerita mengenai wanita-wanita yang menjadi
martir yang masuk ke surga, atau tentang wanita yang melajang.
Wanita dianggap kurang cerdas
Hadith yang dikutip di awal pembahasan ini menyatakan bahwa wanita adalah
kaum yang kurang cerdas, dan juga kurang beragama. Seorang penulis feminis
Muslim wanita mengemukakan bahwa jika pria lebih superior daripada wanita
dalam hal kekuatan fisik dan kecerdasan, itu karena pria terlibat dalam aktifitasaktifitas
pekerjaan yang mengharuskan mereka menggunakan otak mereka dan
tubuh mereka dan oleh karena itu mereka dapat mengembangkan otak dan tubuh
mereka itu. Wanita telah disingkirkan dari semua kesempatan dan dipaksa untuk
menempati posisi yang lebih rendah.58
Nampaknya sudah menjadi pandangan yang berurat-berakar selama berabadabad
bahwa wanita tidak secerdas pria.
Wanita kurang bersyukur
Ini terekspresi dalam Hadith dari Bukhari
56 Qur’an, Sura 36:56
57 Sahih Al Bukhari, Hadith 161:2
58 Amin Qasim, The Liberation of Women (New York: The American University in Cairo Press, 1992), p. 11.
29
Para wanita tidak berterima-kasih kepada suami-suami mereka atas kebaikan dan
perbuatan amal yang dilakukan terhadap mereka. Jika kamu selalu berbuat
kebajikan kepada salah-seorang diantara mereka dan kemudian ia melihat
sesuatu dalam dirimu (yang tidak disukainya), ia akan berkata, “Aku tidak pernah
menerima kebaikan apapun darimu”.59
Kekurangan wanita dalam kecerdasan, agama dan ucapan syukur
menghalanginya dari bertukar pikiran mengenai hal-hal sekuler atau sakral atau
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan religius.
Superioritas kaum pria
Qur’an berkata:
Laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)... 60
Atau menurut terjemahan Dawood:
Laki-laki mempunyai otoritas atas wanita karena Allah telah menjadikan yang satu
lebih superior dari yang lainnya.61
Kita melihat Qur’an dengan jelas menyatakan disini bahwa pria lebih superior dari
wanita karena mereka telah diberikan otoritas atas wanita.
Para teolog Muslim nampaknya telah berurusan dengan prasangka sosial pada
waktu itu berkenaan dengan kaum wanita dipandang lebih rendah daripada pria
dan bahkan menunjukkan penghinaan terhadap mereka. Ini terlihat dalam jumlah
yang banyak dalam literatur Hadith, dimana wanita digambarkan sebagai sumber
kejahatan dan nafsu yang akan menjerumuskan pria ke dalam neraka. Prasangkaprasangka
sosial nampaknya telah memainkan peranan yang penting dalam
narasi-narasi pribadi. Tradisi yang diturunkan dari satu narator kepada narator
lainnya dalam kurun waktu yang panjang dipengaruhi oleh distorsi prasangka
sosial dan juga distorsi memori.
Beberapa wanita Muslim percaya bahwa posisi wanita dalam Qur’an telah salah
ditafsirkan oleh prasangka kaum pria. Wadud-Muhsin mengatakan bahwa
kebanyakan pria Muslim pernah mendengar, atau bahkan percaya, bahwa wanita
“inferior” dan “tidak setara” dengan pria. Prasangka dan sikap itu diantara para pria
Muslim tidak hanya mempengaruhi posisi wanita dalam masyarakat Muslim tapi
juga mempengaruhi penafsiran posisi wanita dalam Qur’an.62
59 Sahih Al Bukhari, Hadith 1:28
60 Qur’an, Sura 4:34.
61.N.J. Dawood (trans.) The Koran (Harmondsworth: Penguin, 1983), Sura 4:34.
62 Wadud-Muhsin, Qur’an and Women, p. 7.
30
Sebuah contoh mengenai seorang penulis yang mendemonstrasikan prasangka
seperti itu adalah Nadvi, yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang waras
yang dapat menyangkali fakta bahwa pria, oleh karena kemampuan-kemampuan
bawaan lahirnya, lebih superior dari wanita dalam banyak hal. Ia mengklaim
bahwa pengetahuan pada masa kini juga mendukung pandangan mengenai
superioritas pria, oleh karena telah ditemukan bahwa volume otak pria lebih besar
daripada wanita, yang diyakininya menunjukkan bahwa pria lebih superior
daripada wanita dalam hal kecerdasan dan juga kedewasaan.63
Wanita adalah ‘Aurat (ketelanjangan)
Ensiklopedia Islam mendefinisikan kata aurat sebagai organ kelamin bagian luar
atau dapat juga berarti cela, titik kelemahan atau noda. Dalam teks Islam kata itu
berarti bagian dari tubuh yang harus ditutupi. Dalam sebuah Hadith yang otentik,
Muhammad berkata,
“Wanita adalah “aurat”. Ketika ia keluar (rumah) setan menyambutnya.”
Seluruh tubuh wanita dipandang sebagai aurat (yaitu ketelanjangan suaminya atau
anggota keluarga pria). Ibn Taymiyya bahkan mengemukakan bahwa kuku jari
seorang wanita adalah aurat. Hadith ini telah digunakan untuk meyakinkan jutaan
wanita di seluruh dunia untuk menutupi tubuh mereka. Hadith lainnya menyatakan,
Wanita mempunyai sepuluh “aurat”. Ketika ia menikah suaminya menutupi satu,
dan ketika ia meninggal kubur menutupi yang sepuluh itu.
Tubuh wanita dianggap sebagai hal yang diingini, oleh karena itu ketika seorang
wanita meninggalkan rumah ia menjadi tidak berdaya dan rentan bagi mata pria.
Ini menurunkan kesalehan pria dan menjadikan mereka rawan terhadap godaan.
Sebuah Hadith lainnya mengemukakan bahwa ketika seorang pria melihat wanita
datang mendekat, wanita itu datang dalam wujud setan. Ini adalah tanda-tanda
superioritas dan kontrol kaum pria.
Pendisiplinan wanita
Qur’an berkata:
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah wanita yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
63 Mohammed Zafeeruddin Nadvi, Modesty and Chastity in Islam (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1982),
p. 160.
31
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya.64
Ayat di atas diwahyukan sehubungan dengan seorang wanita yang mengeluh
kepada Muhammad bahwa suaminya telah menampar wajahnya (bekas tamparan
itu masih terlihat). Pada mulanya Muhammad mengatakan padanya untuk
membalas suaminya itu, kemudian ia menambahkan, “Tunggu sampai aku
memikirkannya”. Kemudian ayat itu diwahyukan setelah Muhammad berkata,
“Kita menginginkan suatu hal namun Allah menghendaki yang lain, dan apa yang
dikehendaki Allah adalah yang terbaik”.65
Ayat ini mengijinkan pemukulan terhadap istri. Pria bertanggung-jawab untuk
menasehati istrinya, berhak untuk merendahkan seksualitasnya melalui pisah
ranjang, berhak untuk memukulinya untuk mengoreksi sikap pemberontakan
apapun. Desersi seksual adalah obat untuk pemberontakan wanita dan untuk
menghina harga dirinya. Kata “pemberontakan” disini berhubungan dengan
ketidaktaatan dalam bentuk apapun dari pihak wanita, bukan semata-mata
penolakan untuk berhubungan seks. Jika seorang wanita menolak untuk tidur
dengan suaminya atau tidak menaati perintahnya, pertama-tama ia akan
dinasehati, dan kemudian pria itu diijinkan Allah untuk memukuli istrinya.
Istri seorang Muslim harus selalu siap untuk datang ke tempat tidur dan
memuaskan hasrat seksual suaminya, jika tidak ia akan dipukuli suaminya dan
dikutuk malaikat-malaikat Allah, yang diijinkan untuk melihat secara dekat urusanurusan
seksual sepasang manusia.66 Muhammad (dikutip) pernah mengatakan,
“Jika seorang pria mengajak istrinya untuk tidur dengannya dan ia menolak untuk
datang kepadanya, maka para malaikat akan mengirim kutuk padanya hingga pagi
hari”.67
Hasrat seksual seorang pria dipandang sangat mendesak sehingga lebih baik
membiarkan makanan di oven menjadi gosong daripada membiarkan hasrat
seorang pria tidak dipenuhi.
“Ketika seorang pria memanggil istrinya untuk memuaskan hasratnya maka ia
harus pergi kepadanya sekalipun ia sedang sibuk di depan oven”.68
“Ketika seorang pria memanggil istrinya ke tempat tidurnya, dan ia menolak, Dia
yang ada di surga akan menjadi marah kepadanya hingga ia (suaminya)
disenangkan olehnya”.69
64 Qur’an, Sura 4:34.
65 Nadvi, Modesty and Chastity, p. 160.
66 Hekmat, Women and the Koran, p. 215.
67 Sahih Al-Bukhari, Hadith 121:7.
68 Sahih, Al-Tirmidhi, Hadith 959.
69 Qortobi, mengomentari Qur’an 30:21.
32
Pemukulan terhadap istri biasa dilakukan pada masa Muhammad, dan beberapa
Muslim mengklaim bahwa ini merefleksikan kondisi sosial pada jaman itu.
Beberapa sarjana mengatakan bahwa ayat ini harus ditafsirkan secara berbeda
dalam konteks masa kini. Oleh karena ayat ini diwahyukan dalam suatu konteks
sosiologis tertentu mereka mengklaim ayat itu harus dilihat menurut konteks itu
dan tidak bersifat normatif untuk segala masa. Kesulitannya ialah bahwa para ahli
hukum Muslim melihat ayat ini bersifat normatif dan tidak dapat diubah. Apa yang
kita lihat dalam prakteknya adalah bahwa pemukulan terhadap istri dianggap telah
ditetapkan dalam Qur’an. Seperti yang dikatakan oleh seorang sarjana Muslim
“Ada kejahatan dan kelemahan dalam diri wanita. Diplomasi dan kekerasan adalah
obat untuk kejahatan dan kelembutan adalah obat untuk kelemahan”.70
Kekurangan wanita sebagai saksi
Dalam Qur’an dikatakan:
...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu.
Jika tak ada dua orang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya...71
Berdasarkan hal ini para hakim Muslim dengan tegas mengemukakan bahwa
adalah merupakan suatu intervensi ilahi bahwa seorang saksi pria setara dengan
dua saksi wanita. Mereka juga mengatakan bahwa kesaksian yang diberikan oleh
dua wanita hanya akan menjadi sah bila didampingi oleh seorang pria. Jika tidak
ada dua saksi pria maka harus ada satu pria dan dua wanita, bukan empat wanita.
Empat wanita tidak dapat menggantikan dua pria.
Hal ini diulangi dalam sebuah ayat dalam Hadith: Rasul Allah berkata kepada
sekelompok wanita,
“Bukankah kesaksian dua wanita setara dengan kesaksian seorang pria?” Mereka
mengiyakannya. Ia berkata, “Inilah kurang cerdasnya kamu”.72
Wanita dan warisan
Dalam Qur’an dikatakan:
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua anak
perempuan.73
Disini kita melihat bahwa jatah warisan untuk wanita hanya separoh dari pria.
70 Newton and Haqq, Women in Islam, p. 22, mengutip Ihy’a Uloum ed-Din By Ghazali, Dar al-Kotob al-
Elmeyah, Beirut, Vol. II, Kitab Adab al-Nikah, p. 52.
71 Qur’an, Sura 2:282.
72 Sahih Al-Bukhari, Hadith 301:1.
73 Qur’an, Sura 4:11.
33
Kaum modernis berargumen bahwa ayat ini memberlakukan ketidakadilan
terhadap seorang anak perempuan karena ia hanya diberikan separoh dari yang
diberikan kepada anak laki-laki dan dasar dari hal ini adalah bias terhadap wanita.
Ada sebuah pandangan yang lebih umum yaitu bahwa hal ini merupakan sebuah
pembaharuan, karena di dalam masyarakat sebelum jaman Islam, anak
perempuan sama sekali tidak mendapat warisan dan kini mereka berhak
mendapatkan separoh dari hak waris anak laki-laki.74 Dalam bidang inilah Islam
mengklaim telah memperbaiki posisi wanita.
Kerudung
Dalam Qur’an dikatakan:
Katakanlah kepada wanita beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya...75
Ada berbagai pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan perhiasan. Tabari
mengatakan bahwa itu menunjukkan pakaian yang dikenakan seorang wanita, dan
anjuran untuk mengenakan kain kudung ke dada mereka berkaitan dengan para
wanita suku-suku pedalaman yang tidak menutupi payudara mereka. Tidak ada
anjuran dalam Qur’an bahwa seorang wanita harus menutupi wajah atau
kepalanya, walaupun hal itu merupakan praktek budaya beberapa kelompok
masyarakat pada jaman itu, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kristen kelas
atas di Byzantium. Ditegaskan bahwa ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan
kaum wanita dari menjadi obyek nafsu, dan untuk meninggikan wanita diatas
seksualitas mereka.
Ada yang menghubungkan kerudung dengan Umar, ayah mertua Muhammad dan
sahabat dekatnya. Umar mengatakan kepada Muhammad bahwa adalah pantas
untuk memerintahkan istri-istrinya untuk mengenakan kerudung karena beberapa
pria yang memasuki rumahnya bisa jadi mempunyai pikiran yang jahat. Kisah
lainnya menceritakan Aisha yang mengunjungi Muhammad dengan gaun yang
tipis. Ia mengatakan kepada Aisha bahwa ketika seorang perempuan menginjak
pubertas, tidak pantas baginya jika bagian-bagian tubuhnya dapat terlihat kecuali
“ini dan ini”. Ia menunjuk kepada wajah dan tangannya.76
Purdah telah menjadi ketetapan Muslim selama sekitar seribu tahun dan secara
bertahap ditegakkan dalam 3 abad pertama Islam. Purdah ditegakkan dengan
sepenuhnya pada abad 10 dan 11 dan kini menjadi bagian yang integral dalam
74 Asgar Ali Engineer, Islam, Women and Gender Justice (New Delhi: Gyan Publishing House, 2001), p. 40
75 Qur’an, Sura 24:31.
76 Qasim, The Liberation of Women, p. 39.
34
hidup orang Muslim. Sistem Purdah adalah bentuk yang ekstrim dari dominasi pria
karena menyangkali kebebasan kaum wanita dalam bersikap dan berpartisipasi
dalam kehidupan sosial.
Dalam usahanya untuk memahami logika pengasingan dan mengenakan
kerudung pada wanita dan dasar dari segregasi seksual, tokoh feminis Muslim
Qasim Amin tiba pada konklusi bahwa wanita lebih mampu mengendalikan
dorongan-dorongan seksual mereka daripada pria dan oleh karena itu segregasi
seksual lebih merupakan sebuah sarana untuk melindungi pria daripada
melindungi wanita. Ia bertanya, seseorang takut pada apa dalam masyarakat
seperti itu. Dengan mengobservasi bahwa wanita tidak terlalu menyukai
pengasingan dan menaatinya hanya karena mereka harus menaatinya, ia
menyimpulkan bahwa apa yang ditakuti adalah “femme fatale” yang menyebabkan
ketidakteraturan dan kekacauan.77
Kemudian ia bertanya, “Siapakah yang dilindungi oleh pengasingan/pingitan?” Jika
yang ditakutkan pria adalah wanita akan terpikat pada daya tarik maskulin mereka,
mengapa mereka tidak mengerudungi diri mereka sendiri dan menjadikannya
sebuah aturan? Apakah pria dipandang kurang mampu dari wanita untuk
mengendalikan diri mereka sendiri dan menahan dorongan-dorongan seksual
mereka sendiri? Ia menyimpulkan bahwa mencegah wanita dari menunjukkan diri
mereka tanpa kerudung mengekspresikan ketakutan kaum pria akan kehilangan
kontrol atas pikiran mereka, dan dengan demikian dicobai oleh wanita manapun
yang mereka lihat.78
Karakteristik pernikahan Islam
Bagaikan sebuah kontrak dagang, sebuah pernikahan Islam meliputi pertukaran
barang-barang dan jasa. Setelah memberikan mahar/mas kawin dan pemeliharaan
harian serta nafkah (nafaqih) kepada istri, si suami akan mendapatkan hak
kepemilikan eksklusif (tamlik) atas seksualitas istrinya dan aktifitas-aktifitas
reproduksi serta menguasai pribadinya. Berdasarkan hukum Islam, si wanita harus
memberikan persetujuannya akan besarnya jumlah uang yang diterima, dan si
wanitalah, dan bukan ayahnya, yang menerima keseluruhan mahar tersebut.
Mahar/mas kawin adalah sebuah istilah teknis untuk sejumlah uang atau barang
yang harus diberikan kepada si wanita dalam kontrak pernikahan. Kita lihat hal ini
berakar dalam Qur’an:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan.79
77 Ibid., p. 42.
78 Ibid., p. 42.
35
Namun demikian saat seorang wanita menyetujui sebuah kontrak pernikahan,
maka ia dianggap telah dengan sukarela menyerahkan semua kontrol dan otonomi
atas dirinya sendiri diatas hak-hak legal dan sosialnya. Setelah kontrak itu ditutup
maka secara sah dan konseptual ia dihubungkan dengan barang/uang yang
dipertukarkan dalam mas kawin dan berada di bawah otoritas legal suaminya. Di
dalam struktur kontrak pernikahan, seksualitas seorang wanita dan kegiatan
reproduksi adalah inti transaksi ekonomi dan sosial. Seksualitas seorang wanita
diidentifikasikan dengan dirinya seutuhnya.80
Pria memandang wanita sebagai obyek untuk dimiliki dan dikendalikan dengan
kecemburuan; sebagai obyek hasrat yang harus diasingkan, dikenakan kerudung
dan untuk direndahkan; dan pada waktu yang sama menjadi obyek yang sangat
diperlukan untuk memenuhi perasaan berkuasa dan kejantanan pria. Kontrak ini
mendikte wanita agar taat pada suaminya, dan membatasi otonominya. Ketaatan
kepada suaminya dan kepada tatanan sosial yang lebih besar adalah hal yang
harus diberikannya untuk mendapatkan jaminan finansial dalam keluarga dan
martabat dalam masyarakat.81
Poligami dan Qur’an
Qur’an berkata:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja....82
Telah dikemukakan bahwa poligami diperlukan untuk memberikan keadilan sosial
dengan mengijinkan pria untuk menikahi perempuan yatim dan janda. Namun
demikian, ada pula yang berpendapat bahwa menjaga rasa keadilan diantara para
istri adalah hal yang tidak mungkin, maka beristri lebih dari satu orang tidak
diijinkan. Mereka menunjukkan bahkan Muhammad yang sangat mengasihi Aisha
istrinya lebih dari apapun, bahkan mempraktekkan poligami.
Kembali Qur’an berkata:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai)...83
79 Shahla Heiri, “Obedience versus Autonomy”, in Martin E Marty & R Scott Appleby (eds),
Fundamentalisms and Society (Chichago: University of Chichago Press, 1993), pp. 185-186.
80 Ibid.
81 Ibid.
82 Dawood, The Koran, Sura 4:3.
83 Dawood, The Koran, Sura 4:129.
36
Poligami adalah sebuah ketetapan yang diskriminatif terhadap wanita untuk
menguntungkan pria di dalam masyarakat Muslim. Ini adalah hak istimewa bagi
satu pihak saja, yang diberikan semata-mata hanya untuk pria, yang
mengakibatkan segregasi wanita dari pria, sehingga perlahan-lahan wanita
disingkirkan dari kegiatan-kegiatan sosio-ekonomi, dan itu merupakan masalah
yang dialami dunia Muslim pada masa kini. Hasil dari poligami adalah konspirasi,
pertengkaran dan iri hati diantara para istri, dan kadangkala pemukulan, ancaman
kematian, bahkan meracun dan membunuh anak-anak. Tambahan lagi, kaum
wanita yang berada dalam kondisi ini dihina dan dipandang sebagai budak-budak
perempuan atau bahkan hanya sebagai komoditas.84
Perceraian dan Qur’an
Perceraian dapat terjadi dengan sangat mudah dalam Islam. Kewenangan untuk
menceraikan ada pada pria. Dalam Qur’an dikatakan:
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain...85
Ayat ini memberikan kekuasaan absolut bagi pria untuk meninggalkan istrinya dan
menikahi wanita lain. Tidak ada formalitas apapun. Menurut Syariah seorang pria
hanya harus mengucapkan “aku menceraikanmu” sebanyak 3 kali di hadapan
saksi-saksi lalu istrinya dapat diusir keluar dari rumah. Tidak ada pengadilan,
hakim, pengacara atau konselor. Wanita yang diceraikan tidak boleh menikah lagi
setidaknya selama 3 bulan ke depan karena ia harus menjalani masa penantian
(masa idah) yang terdiri dari 3 kali siklus menstruasi. Setelah periode 3 bulan itu
berakhir maka perceraian itu tidak dapat dibatalkan. Dalam periode 3 bulan itu si
suami dapat membatalkan perceraian itu hanya dengan mengambil kembali
istrinya untuk tinggal bersamanya lagi. Dengan kembalinya ia ke rumah, maka
wanita itu kembali mendapatkan statusnya sebagai istri.
Bagi seorang wanita, sulit untuk menceraikan suaminya dan dalam banyak kasus
hal itu tidak mungkin. Namun demikian ia dapat menuntut untuk bercerai dari
suaminya jika suaminya impoten, tidak memberi nafkah atau tidakwaras.
Kekerasan dalam rumah-tangga tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk
bercerai, karena pemukulan terhadap istri dianjurkan dalam Qur’an. Setelah
pernikahan itu diakhiri, si suami harus memberikan pesangon terhadap mantan
istrinya. Ia hanya perlu melakukannya selama 3 bulan.
84 Hekmat, Women and the Koran, pp. 129-130
85 Qur’an, Sura 4:20.
37
Hak asuh anak
Apabila seorang pria menceraikan istrinya maka anak-anak dipandang sebagai
properti si suami. Menjadi seorang Muslim tidak memberikan hak untuk mengasuh
anak.
Namun demikian, si ibu dapat memiliki hak untuk mengasuh anak laki-lakinya
hingga berumur 7 tahun, selama si anak aman dari pemurtadan dan pengaruh
buruk. Jika ia kedapatan membawa putranya ke gereja atau memberinya makan
babi, maka ayahnya berhak untuk mengambil anak itu. Si ibu dapat mempunyai
hak asuh atas anak perempuannya hingga mencapai masa pubertas yaitu 9 tahun.
Jika ia menolak Islam ia tidak dapat mempunyai hak asuh atas anak-anak. Jika ia
menikah lagi, ia kehilangan hak asuh atas anak-anaknya, kecuali jika suaminya
yang baru mempunyai hubungan dengan anaknya sebagai paman dari pihak ayah.
Konklusi
Islam mengklaim percaya pada kesetaraan jender. Tetapi setelah memperhatikan
ayat-ayat mengenai wanita yang ditulis di dalam Qur’an dan kutipan dari Hadith,
tidak ada konsistensi di dalamnya. Disana dikatakan bahwa pria mempunyai
kedudukan yang superior dalam banyak hal. Wanita dipandang kurang cerdas,
kurang bersyukur dan kurang beragama, boleh dipukuli, dapat menjadi salah-satu
dari banyak istri lainnya, tidak mempunyai jaminan untuk masuk surga. Mereka
juga tidak mempunyai hak yang setara dalam hal perceraian, menjadi saksi di
pengadilan, warisan dan hak asuh anak. Kesemua hukum ini hanya untuk
menyenangkan kaum pria. Pada kenyataannya kita dapat tiba pada konklusi
bahwa sumber-sumber Islam tidak menjamin kesetaraan hak-hak azasi bagi
wanita.
Orang Muslim mengklaim bahwa penting untuk mempertimbangkan pengaruhpengaruh
sosiologis dalam menginterpretasikan kitab suci, karena pembacaan
atau penerapan sebuah teks tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh semacam itu.
Penafsiran-penafsiran harus dilihat dalam perspektif sosiologis jaman dimana
wanita hanya dilihat sebagai barang yang bergerak, melahirkan anak dan
memberikan kesenangan kepada suami. Maka pria yang telah memformulasikan
Syariah atau Hukum Islam, selama lebih dari 2 abad dipengaruhi interpretasi
mereka terhadap Qur’an dan Hadith oleh lingkungan tempat hidup mereka yang
membenci wanita. Masalahnya adalah aspek sosiologis menjadi teologis dan telah
dibela sebagai hal yang bersifat teologis, bahkan ketika kondisi-kondisi sosiologis
telah berubah.
Argumen sosiologis mempunyai kekuatan dan juga kelemahan. Muhammad
tentunya telah dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosiologis pada jamannya dan
38
kata-kata yang dikenakan padanya akan merefleksikan bahwa itu adalah hukum
Islam, seperti yang juga dikatakan oleh para teolog mula-mula dan para pembuat
hukum yang terlibat dalam menciptakan susunan aturan. Namun hal itu tetap
berada dalam ketegangan dengan ayat-ayat dari Qur’an yang memberlakukan
pandangan yang diskriminatif mengenai wanita. Pandangan klasik Islam menganut
Qur’an sebagai wahyu yang secara langsung diberikan Allah kepada Muhammad,
sempurna terpelihara dalam bentuk oral sejak permulaan, dan oleh karena itu tidak
dapat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial.
Para pembaharu Muslim sejak abad ke-18 telah berkeras bahwa Islam mampu
bersesuaian dengan modernitas. Secara khusus mereka telah mengklaim bahwa
Syariah telah memasukkan ke dalam berbagiai mazhab prinsip-prinsip tertentu
mengenai perkembangan yang mengijinkan para pembuat hukum untuk
mengembangkan atau membatasi penerapan hukum dan memformulasikannya
dalam cara yang lebih segar yang sesuai dengan keadaan-keadaan yang mudah
berubah. Di banyak negara, ijtihad atau penilaian independen semacam itu telah
membawa perubahan yang signifikan dalam hukum mengenai keluarga. Ini terjadi
di negara-negara seperti Tunisia dan Marokko.
Namun demikian, banyak orang lain yang beranggapan bahwa Syariah adalah
sangat ilahi dan kekal. Mereka percaya bahwa gerbang ijtihad telah ditutup pada
abad ke-11. Itu berarti bahwa kini hukum telah genap dan tidak dapat diubah agar
sesuai dengan berbagai situasi. Di negara-negara atau situasi-situasi dimana
Syariah dipandang telah genap dan diberlakukan pada masyarakat banyak, posisi
dan hak-hak wanita tetap sama dengan berabad-abad lalu. Di beberapa negara
lain hukum sipil berjalan berdampingan dengan hukum Syariah dan wanita di
negara-negara ini lebih mempunyai hak dalam hal-hal seperti perceraian. Namun
demikian, ada kecenderungan banyak negara untuk kembali kepada Islam yang
belum direformasi, yaitu penerapan Syariah secara ketat. Apabila hal ini terjadi
maka posisi wanita dan hak-hak mereka akan mengalami kemunduran.
Dalam Qur’an sendiri nampaknya ada pernyataan-pernyataan yang berkontradiksi, tapi berdasarkan “doktrin pembatalan” ayat-ayat atau sura-sura yang muncul belakangan menggantikan ayat-ayat dan sura-sura yang telah ada terlebih dahulu, dan disini terlihat adanya inkonsistensi.
Pengajaran Islam tidak hanya berasal dari Qur’an tapi juga dari Hadith. Kumpulan
Hadith atau tradisi-tradisi, mencatat perkataan dan perbuatan Muhammad. Harus
diperhatikan bahwa perkataan Hadith tidak selalu merupakan perkataan
Muhammad tetapi bagaimana orang-orang yang disebut sebagai “para Sahabat
Nabi” memahami hal itu, atau apa yang dikatakan dan dilakkan orang pada jaman
itu. Penting sekali untuk memeriksa identitas “Sahabat Nabi” yang mengatakannya
dan dalam keadaan bagaimana hal itu dikatakan, demikian pula orang-orang yang
meneruskan tradisi itu. Juga ada permasalahan mengenai otentisitas tradisi
tersebut, apakah tradisi itu lemah, palsu atau otentik.
Ketika Qur’an dan tradisi-tradisi bungkam mengenai sesuatu hal, aturan-aturan
ditetapkan melalui konsensus para pemimpin religius (ijma) dan melalui penalaran
analog (qiyas). Kombinasi Qur’an, Hadith, ijma dan qiyas telah digunakan oleh
para sarjana Islam untuk menciptakan sebuah susunan hukum dan regulasi yang
dikenal dengan Syariah atau Hukum Islam.
Apakah yang dimaksud dengan kesetaraan?
Kesetaraan adalah penerimaan/pengakuan bahwa martabat kedua jender (pria
dan wanita) adalah sama/setara, termasuk hak yang sama baik bagi pria maupun
wanita dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum. Keduanya harus
mempunyai hak yang sama untuk membangun sebuah pernikahan atau
24
memutuskan ikatan pernikahan, membeli atau menyingkirkan properti, dan
memilih pekerjaan/profesi mereka masing-masing. Pria dan wanita harus setara
memikul tanggung-jawab dan juga dalam mendapatkan kebebasan. Hal yang
mendasar dalam kekristenan adalah bahwa pria dan wanita setara (duduk sama
rendah, berdiri sama tinggi) di hadapan Tuhan.
Apa yang dikatakan Islam mengenai kesetaraan wanita?
Orang Muslim percaya bahwa Qur’an, tanpa ada keraguan sedikitpun,
mengajarkan kesetaraan antara pria dan wanita. Mereka mengatakan bahwa tidak
pernah ada pertikaian mengenai hal ini: pria dan wanita adalah setara. Sura-sura
atau ayat-ayat Qur’an yang mereka kutip adalah sebagai berikut:40
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri
yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya
Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.41
Islam percaya bahwa ayat ini menunjukkan bahwa yang satu tidak lebih superior
dari yang lain, karena baik pria maupun wanita berasal dari satu, dan oleh karena
itu menikmati status yang setara.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan...42
Islam percaya bahwa ayat ini berarti pria dan wanita itu setara.
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam...43
Orang Muslim berkata bahwa “anak-anak Adam” berarti baik pria maupun wanita
sama dihormati tanpa adanya pembedaan antara kedua jender.
Melalui ketiga ayat ini orang Muslim mengklaim tanpa ragu bahwa Qur’an
mengajarkan pria dan wanita itu setara. Namun demikian kesetaraan secara
teoritis ini tidak terlihat dalam prakteknya. Beberapa sarjana Muslim telah
mengakui hal ini dan mengatakan bahwa ketiga ayat yang menegaskan soal
kesetaraan ini tidak dilakukan, dan bahwa sangatlah penting untuk mempunyai
pemahaman yang menyeluruh mengenai keadaan buruk yang dialami wanita.
Banyak hak yang diberikan oleh Islam kepada wanita dalam prakteknya telah
diabaikan, sehingga hal itu harus dipulihkan bagi mereka.44
40 Semua kutipan dari Qur’an kecuali yang dinyatakan berasal dari Mohammad Marmaduke Picktall (trans.),
The Meaning of the Glorious Qur’an.
41 Ibid., Sura 4:1.
42 Ibid., Sura 49:13.
43 Ibid., Sura 17:70.
44 Murtada Mutahhari, The Rights of Women in Islam (Tehran: World Organization for Islamic Services,
1981), p. 126.
25
Kesetaraan juga dijelaskan melalui argumen lain, yaitu bahwa pria dan wanita
adalah setara tetapi mereka masing-masing mempunyai tugas dan fungsi yang
berbeda sehubungan kondisi biologis mereka. Pria dipandang sebagai kaum yang
secara fisik lebih kuat, sedangkan kondisi biologis wanita menjadikannya pengurus
rumah-tangga yang baik.45 Ini sebenarnya mengatakan bahwa peran seorang
wanita dibatasi oleh karena kondisi biologisnya dan oleh karena itu ia hanya
mampu mengerjakan pekerjaan rumah-tangga. Di Inggris, perjuangan
mendapatkan hak-hak wanita selama bertahun-tahun dan dua kali perang dunia
telah menyingkirkan argumentasi yang diskriminatif ini, namun gemanya masih
dapat terdengar hingga sekarang.
Di dalam Islam, pandangan ini sangat ditentang oleh para wanita seperti Wadud-
Muhsin yang mempertanyakan nilai-nilai yang dikenakan kepada wanita, yaitu
bahwa wanita itu lemah, rendah, pada dasarnya jahat, kurang cerdas dan kurang
rohani, menjadikan mereka tidak cocok/pantas untuk melakukan tugas-tugas
tertentu atau berfungsi dalam berbagai cara di tengah masyarakat. Pada
kenyataannya mereka telah dibatasi sehingga hanya dapat menjalankan fungsifungsi
yang sesuai dengan keadaan biologis mereka.46 Ia merasa bahwa peran
seorang wanita sangatlah dibatasi oleh karena adanya prasangka akan peran
yang seharusnya dijalani seorang wanita. Nilai-nilai ini mengatakan bahwa wanita
adalah kaum yang rendah derajatnya, memalukan sehingga memberikannya
posisi yang rendah dalam masyarakat.
Status religius wanita dalam Islam
Qur’an berkata:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan
yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan
perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.47
Orang Muslim menunjukkan bahwa ayat ini secara langsung menyebut wanita
sebanyak 10 kali, yang membuktikan bahwa wanita dapat mencapai kedudukan
yang sama dengan pria dan dengan demikian menyimpulkan bahwa dalam Qur’an
wanita berdiri pada tingkatan spiritual yang sama. Ayat ini “memberikan sebuah
pernyataan yang jelas mengenai identitas absolut kondisi moral manusia dan
45 Abdul-Ghaffar Hasan, The Rights and Duties of Women in Islam (London: Al-Qur’an Society, 1992), p. 5.
46 Amina Wadud-Muhsin, Qur’an and Women, (Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn Bhd, 1992), p. 7.
47 Qur’an, Sura 33:35
26
kewajiban-kewajiban moral dan spiritual yang sama bagi semua manusia tanpa
memandang jenis kelamin.48
Kehadiran ayat-ayat seperti ini dalam Qur’an “menjelaskan mengapa kaum wanita
Muslim seringkali berkeras, bahkan ngotot, mengatakan kepada orang non-Muslim
bahwa Islam tidak memandang jender. Mereka mendengar dan membaca dalam
kitab suci mereka, secara sah, sebuah pesan yang berbeda dari apa yang
didengar oleh para pembuat dan penganjur Islam yang ortodoks dan
androsentris.49
Namun demikian, sangatlah mudah untuk hanya melihat ayat-ayat tertentu dalam
Qur’an dan tiba pada posisi bahwa Qur’an mengajarkan bahwa pria dan wanita
setara baik dalam posisi dan status religius. Banyak orang Muslim yang percaya
bahwa Qur’an memang mengajarkan kesetaraan, walaupun mereka mengakui
bahwa kesetaraan tidak eksis di dunia nyata. Namun demikian sebelum kita tiba
pada sebuah kesimpulan, kita harus melihat ayat-ayat lain dalam Qur’an dan
Hadith dan mempertimbangkan bukti yang ada dengan sepenuhnya.
Takdir wanita dalam kekekalan
Dalam Hadith dikatakan:
Pada suatu ketika Rasul Allah berkata kepada sekelompok wanita, “Hai
perempuan! Berikanlah sedekah, karena aku telah melihat bahwa kebanyakan
penghuni neraka adalah kalian (para wanita)”. Mereka bertanya, “Mengapakah
demikian wahai Rasul Allah?” Ia menjawab, “Kalian sering mengutuk dan tidak
berterimakasih kepada suami-suami kalian. Aku belum pernah melihat siapapun
yang kurang cerdas dan kurang beragamanya daripada kamu. Seorang laki-laki
yang waras dan berhati-hati dapat disesatkan oleh beberapa diantara kalian”. Para
wanita itu bertanya, “Wahai Rasul Allah! Apakah yang kurang dalam kecerdasan
dan beragama kami?” Ia berkata, “Bukankah kesaksian dua wanita setara dengan
kesaksian seorang pria?” Mereka mengiyakannya. Ia berkata, “Inilah kurang
cerdasnya kamu. Bukankah benar bahwa seorang wanita tidak dapat berdoa dan
juga tidak dapat berpuasa selama ia datang bulan?” para wanita itu
mengiyakannya. Ia berkata, “Inilah kekurangannya dalam beragama”.50
Hadith ini dianggap asli dan otentik dan dilaporkan oleh Al Bukhari dan Muslim,
dua kumpulan Hadith yang dipandang paling sahih. Keduanya tidak diperdebatkan
dan digunakan oleh para sarjana terkemuka. Sekali lagi sebuah Hadith yang
lainnya mengatakan:
48 Leila Ahmed, Women and Gender in Islam, (New Haven, CT: Yale University Press, 1992), p. 65
49 Ibid., p. 66
50 Sahih Al Bukhari in The Alim (Silver Spring, Maryland: ISL Software Corp, 1986-1999), Hadith 1:301.
27
Nabi berkata, “Aku melihat ke surga dan menemukan bahwa kebanyakan
penghuninya adalah orang miskin, dan aku melihat ke dalam api (neraka) dan
menemukan bahwa kebanyakan penghuninya adalah perempuan”.51
Ada 7 referansi lain oleh Al Bukhari dalam Hadith mengenai neraka yang dipenuhi
wanita.52 Ini adalah perkataan-perkataan yang tidak main-main karena sumbernya
dapat dipercaya dan dikuatkan oleh banyaknya jumlah kemunculannya.
Pertanyaannya adalah bagaimana seorang wanita dapat masuk ke dalam surga?
Seorang istri harus sungguh-sungguh taat kepada suaminya yang menunjukkan
kesalehannya dan menjamin takdirnya dalam kekekalan. Jika ia menyusahkan dan
membuat suaminya cemas maka ia tidak akan dapat menjadi istrinya di surga.
Kemudian para perawan bermata jernih (houris) akan menjadi pendamping bagi
suaminya. Suaminya adalah surganya atau nerakanya. Suami sangat ditinggikan
dibandingkan wanita/istrinya bahkan ia ditempatkan pada tingkat ilahi. Tanggapan/
sikap istrinya kepadanya harus menunjukkan sikap beribadah kepadanya.53 Ini
terlihat dalam Hadith berikut ini ketika Muhammad berkata,
“Jika aku harus memerintahkan seseorang untuk bersujud di hadapan sesamanya,
aku akan memerintahkan perempuan untuk bersujud di hadapan suaminya,
karena hak istimewa atas mereka diberikan kepada para suami oleh Allah”.54
Para istri orang-orang yang benar dan taat akan mendampingi suami-suami
mereka di surga. Para wanita di surga harus tunduk, berserah, berkerudung dan
dipisahkan dari kaum pria dalam harem-harem di surga, dalam diam menyaksikan
para suami mereka bercinta dengan para houris yang cantik di surga. Pria adalah
tuannya di bumi, dan ia juga akan tunduk padanya di surga selamanya. Dalam
keseluruhan teks dalam Qur’an tidak satu ayat pun yang menunjukkan bahwa
wanita akan diperlakukan dengan setara di surga. Seksualitas pria diakui,
diberlakukan dan ditegaskan oleh Kitab Suci Muslim, tetapi kebutuhan wanita
secara total diabaikan. Beberapa deskripsi mengenai surga antara lain “orangorang
muda yang tidak akan mati” yang melayani para suami untuk minum anggur,
tidak ada tanda-tanda bahwa wanita diberikan kebebasan seksual yang sama
dengan orang-orang muda ini seperti halnya para suami diijinkan untuk
berhubungan dengan para houris. Para wanita di surga harus setia kepada suamisuami
mereka sebagaimana mereka setia pada waktu masih di dunia.55
Dalam Qur’an dikatakan:
51 Ibid., Hadith 8:456.
52 Ibid., Hadith 1:28, 2:161, 2:541, 4:464, 7:124, 7:125, 7:126, 8:555.
53 P Newton & M Haqq, Women in Islam (Warley: TMFMT, 1993), p. 13.
54 Sunan Abu-Dawood, Hadith 876 diceritakan oleh Qays ibn Sa’d
55 Hekmat, Women and the Koran, p. 90.
28
Mereka dan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas
dipan-dipan.56
Mengapa wanita masuk neraka?
Dalam Hadith dikatakan,
“Aku juga melihat api neraka dan belum pernah kulihat pemandangan yang sangat
mengerikan seperti itu. Aku melihat bahwa kebanyakan penghuninya adalah
perempuan”. Orang-orang bertanya, “Wahai Rasul Allah! Mengapakah demikian?”
nabi menjawab, “karena mereka tidak berterima-kasih”. Ia ditanyai apakah mereka
tidak berterima-kasih kepada Allah. Nabi menjawab, “Mereka tidak berterima-kasih
kepada teman hidupnya (para suami) dan tidak bersyukur atas perbuatanperbuatan
baik”.57
Jika kita memperhatikan semua ayat mengenai takdir kekal, muncullah bukti yang
mengatakan bahwa kecuali seorang wanita taat dan bersyukur kepada suaminya
pada saat menjelang ajal, maka ia akan masuk neraka. Semua kesalehannya
akan dianggap tidak berguna jika ia tidak menaati suaminya. Sangatlah menarik
jika memperhatikan bahwa tidak ada cerita mengenai wanita-wanita yang menjadi
martir yang masuk ke surga, atau tentang wanita yang melajang.
Wanita dianggap kurang cerdas
Hadith yang dikutip di awal pembahasan ini menyatakan bahwa wanita adalah
kaum yang kurang cerdas, dan juga kurang beragama. Seorang penulis feminis
Muslim wanita mengemukakan bahwa jika pria lebih superior daripada wanita
dalam hal kekuatan fisik dan kecerdasan, itu karena pria terlibat dalam aktifitasaktifitas
pekerjaan yang mengharuskan mereka menggunakan otak mereka dan
tubuh mereka dan oleh karena itu mereka dapat mengembangkan otak dan tubuh
mereka itu. Wanita telah disingkirkan dari semua kesempatan dan dipaksa untuk
menempati posisi yang lebih rendah.58
Nampaknya sudah menjadi pandangan yang berurat-berakar selama berabadabad
bahwa wanita tidak secerdas pria.
Wanita kurang bersyukur
Ini terekspresi dalam Hadith dari Bukhari
56 Qur’an, Sura 36:56
57 Sahih Al Bukhari, Hadith 161:2
58 Amin Qasim, The Liberation of Women (New York: The American University in Cairo Press, 1992), p. 11.
29
Para wanita tidak berterima-kasih kepada suami-suami mereka atas kebaikan dan
perbuatan amal yang dilakukan terhadap mereka. Jika kamu selalu berbuat
kebajikan kepada salah-seorang diantara mereka dan kemudian ia melihat
sesuatu dalam dirimu (yang tidak disukainya), ia akan berkata, “Aku tidak pernah
menerima kebaikan apapun darimu”.59
Kekurangan wanita dalam kecerdasan, agama dan ucapan syukur
menghalanginya dari bertukar pikiran mengenai hal-hal sekuler atau sakral atau
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan religius.
Superioritas kaum pria
Qur’an berkata:
Laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)... 60
Atau menurut terjemahan Dawood:
Laki-laki mempunyai otoritas atas wanita karena Allah telah menjadikan yang satu
lebih superior dari yang lainnya.61
Kita melihat Qur’an dengan jelas menyatakan disini bahwa pria lebih superior dari
wanita karena mereka telah diberikan otoritas atas wanita.
Para teolog Muslim nampaknya telah berurusan dengan prasangka sosial pada
waktu itu berkenaan dengan kaum wanita dipandang lebih rendah daripada pria
dan bahkan menunjukkan penghinaan terhadap mereka. Ini terlihat dalam jumlah
yang banyak dalam literatur Hadith, dimana wanita digambarkan sebagai sumber
kejahatan dan nafsu yang akan menjerumuskan pria ke dalam neraka. Prasangkaprasangka
sosial nampaknya telah memainkan peranan yang penting dalam
narasi-narasi pribadi. Tradisi yang diturunkan dari satu narator kepada narator
lainnya dalam kurun waktu yang panjang dipengaruhi oleh distorsi prasangka
sosial dan juga distorsi memori.
Beberapa wanita Muslim percaya bahwa posisi wanita dalam Qur’an telah salah
ditafsirkan oleh prasangka kaum pria. Wadud-Muhsin mengatakan bahwa
kebanyakan pria Muslim pernah mendengar, atau bahkan percaya, bahwa wanita
“inferior” dan “tidak setara” dengan pria. Prasangka dan sikap itu diantara para pria
Muslim tidak hanya mempengaruhi posisi wanita dalam masyarakat Muslim tapi
juga mempengaruhi penafsiran posisi wanita dalam Qur’an.62
59 Sahih Al Bukhari, Hadith 1:28
60 Qur’an, Sura 4:34.
61.N.J. Dawood (trans.) The Koran (Harmondsworth: Penguin, 1983), Sura 4:34.
62 Wadud-Muhsin, Qur’an and Women, p. 7.
30
Sebuah contoh mengenai seorang penulis yang mendemonstrasikan prasangka
seperti itu adalah Nadvi, yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang waras
yang dapat menyangkali fakta bahwa pria, oleh karena kemampuan-kemampuan
bawaan lahirnya, lebih superior dari wanita dalam banyak hal. Ia mengklaim
bahwa pengetahuan pada masa kini juga mendukung pandangan mengenai
superioritas pria, oleh karena telah ditemukan bahwa volume otak pria lebih besar
daripada wanita, yang diyakininya menunjukkan bahwa pria lebih superior
daripada wanita dalam hal kecerdasan dan juga kedewasaan.63
Wanita adalah ‘Aurat (ketelanjangan)
Ensiklopedia Islam mendefinisikan kata aurat sebagai organ kelamin bagian luar
atau dapat juga berarti cela, titik kelemahan atau noda. Dalam teks Islam kata itu
berarti bagian dari tubuh yang harus ditutupi. Dalam sebuah Hadith yang otentik,
Muhammad berkata,
“Wanita adalah “aurat”. Ketika ia keluar (rumah) setan menyambutnya.”
Seluruh tubuh wanita dipandang sebagai aurat (yaitu ketelanjangan suaminya atau
anggota keluarga pria). Ibn Taymiyya bahkan mengemukakan bahwa kuku jari
seorang wanita adalah aurat. Hadith ini telah digunakan untuk meyakinkan jutaan
wanita di seluruh dunia untuk menutupi tubuh mereka. Hadith lainnya menyatakan,
Wanita mempunyai sepuluh “aurat”. Ketika ia menikah suaminya menutupi satu,
dan ketika ia meninggal kubur menutupi yang sepuluh itu.
Tubuh wanita dianggap sebagai hal yang diingini, oleh karena itu ketika seorang
wanita meninggalkan rumah ia menjadi tidak berdaya dan rentan bagi mata pria.
Ini menurunkan kesalehan pria dan menjadikan mereka rawan terhadap godaan.
Sebuah Hadith lainnya mengemukakan bahwa ketika seorang pria melihat wanita
datang mendekat, wanita itu datang dalam wujud setan. Ini adalah tanda-tanda
superioritas dan kontrol kaum pria.
Pendisiplinan wanita
Qur’an berkata:
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah wanita yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
63 Mohammed Zafeeruddin Nadvi, Modesty and Chastity in Islam (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1982),
p. 160.
31
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya.64
Ayat di atas diwahyukan sehubungan dengan seorang wanita yang mengeluh
kepada Muhammad bahwa suaminya telah menampar wajahnya (bekas tamparan
itu masih terlihat). Pada mulanya Muhammad mengatakan padanya untuk
membalas suaminya itu, kemudian ia menambahkan, “Tunggu sampai aku
memikirkannya”. Kemudian ayat itu diwahyukan setelah Muhammad berkata,
“Kita menginginkan suatu hal namun Allah menghendaki yang lain, dan apa yang
dikehendaki Allah adalah yang terbaik”.65
Ayat ini mengijinkan pemukulan terhadap istri. Pria bertanggung-jawab untuk
menasehati istrinya, berhak untuk merendahkan seksualitasnya melalui pisah
ranjang, berhak untuk memukulinya untuk mengoreksi sikap pemberontakan
apapun. Desersi seksual adalah obat untuk pemberontakan wanita dan untuk
menghina harga dirinya. Kata “pemberontakan” disini berhubungan dengan
ketidaktaatan dalam bentuk apapun dari pihak wanita, bukan semata-mata
penolakan untuk berhubungan seks. Jika seorang wanita menolak untuk tidur
dengan suaminya atau tidak menaati perintahnya, pertama-tama ia akan
dinasehati, dan kemudian pria itu diijinkan Allah untuk memukuli istrinya.
Istri seorang Muslim harus selalu siap untuk datang ke tempat tidur dan
memuaskan hasrat seksual suaminya, jika tidak ia akan dipukuli suaminya dan
dikutuk malaikat-malaikat Allah, yang diijinkan untuk melihat secara dekat urusanurusan
seksual sepasang manusia.66 Muhammad (dikutip) pernah mengatakan,
“Jika seorang pria mengajak istrinya untuk tidur dengannya dan ia menolak untuk
datang kepadanya, maka para malaikat akan mengirim kutuk padanya hingga pagi
hari”.67
Hasrat seksual seorang pria dipandang sangat mendesak sehingga lebih baik
membiarkan makanan di oven menjadi gosong daripada membiarkan hasrat
seorang pria tidak dipenuhi.
“Ketika seorang pria memanggil istrinya untuk memuaskan hasratnya maka ia
harus pergi kepadanya sekalipun ia sedang sibuk di depan oven”.68
“Ketika seorang pria memanggil istrinya ke tempat tidurnya, dan ia menolak, Dia
yang ada di surga akan menjadi marah kepadanya hingga ia (suaminya)
disenangkan olehnya”.69
64 Qur’an, Sura 4:34.
65 Nadvi, Modesty and Chastity, p. 160.
66 Hekmat, Women and the Koran, p. 215.
67 Sahih Al-Bukhari, Hadith 121:7.
68 Sahih, Al-Tirmidhi, Hadith 959.
69 Qortobi, mengomentari Qur’an 30:21.
32
Pemukulan terhadap istri biasa dilakukan pada masa Muhammad, dan beberapa
Muslim mengklaim bahwa ini merefleksikan kondisi sosial pada jaman itu.
Beberapa sarjana mengatakan bahwa ayat ini harus ditafsirkan secara berbeda
dalam konteks masa kini. Oleh karena ayat ini diwahyukan dalam suatu konteks
sosiologis tertentu mereka mengklaim ayat itu harus dilihat menurut konteks itu
dan tidak bersifat normatif untuk segala masa. Kesulitannya ialah bahwa para ahli
hukum Muslim melihat ayat ini bersifat normatif dan tidak dapat diubah. Apa yang
kita lihat dalam prakteknya adalah bahwa pemukulan terhadap istri dianggap telah
ditetapkan dalam Qur’an. Seperti yang dikatakan oleh seorang sarjana Muslim
“Ada kejahatan dan kelemahan dalam diri wanita. Diplomasi dan kekerasan adalah
obat untuk kejahatan dan kelembutan adalah obat untuk kelemahan”.70
Kekurangan wanita sebagai saksi
Dalam Qur’an dikatakan:
...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu.
Jika tak ada dua orang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya...71
Berdasarkan hal ini para hakim Muslim dengan tegas mengemukakan bahwa
adalah merupakan suatu intervensi ilahi bahwa seorang saksi pria setara dengan
dua saksi wanita. Mereka juga mengatakan bahwa kesaksian yang diberikan oleh
dua wanita hanya akan menjadi sah bila didampingi oleh seorang pria. Jika tidak
ada dua saksi pria maka harus ada satu pria dan dua wanita, bukan empat wanita.
Empat wanita tidak dapat menggantikan dua pria.
Hal ini diulangi dalam sebuah ayat dalam Hadith: Rasul Allah berkata kepada
sekelompok wanita,
“Bukankah kesaksian dua wanita setara dengan kesaksian seorang pria?” Mereka
mengiyakannya. Ia berkata, “Inilah kurang cerdasnya kamu”.72
Wanita dan warisan
Dalam Qur’an dikatakan:
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua anak
perempuan.73
Disini kita melihat bahwa jatah warisan untuk wanita hanya separoh dari pria.
70 Newton and Haqq, Women in Islam, p. 22, mengutip Ihy’a Uloum ed-Din By Ghazali, Dar al-Kotob al-
Elmeyah, Beirut, Vol. II, Kitab Adab al-Nikah, p. 52.
71 Qur’an, Sura 2:282.
72 Sahih Al-Bukhari, Hadith 301:1.
73 Qur’an, Sura 4:11.
33
Kaum modernis berargumen bahwa ayat ini memberlakukan ketidakadilan
terhadap seorang anak perempuan karena ia hanya diberikan separoh dari yang
diberikan kepada anak laki-laki dan dasar dari hal ini adalah bias terhadap wanita.
Ada sebuah pandangan yang lebih umum yaitu bahwa hal ini merupakan sebuah
pembaharuan, karena di dalam masyarakat sebelum jaman Islam, anak
perempuan sama sekali tidak mendapat warisan dan kini mereka berhak
mendapatkan separoh dari hak waris anak laki-laki.74 Dalam bidang inilah Islam
mengklaim telah memperbaiki posisi wanita.
Kerudung
Dalam Qur’an dikatakan:
Katakanlah kepada wanita beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya...75
Ada berbagai pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan perhiasan. Tabari
mengatakan bahwa itu menunjukkan pakaian yang dikenakan seorang wanita, dan
anjuran untuk mengenakan kain kudung ke dada mereka berkaitan dengan para
wanita suku-suku pedalaman yang tidak menutupi payudara mereka. Tidak ada
anjuran dalam Qur’an bahwa seorang wanita harus menutupi wajah atau
kepalanya, walaupun hal itu merupakan praktek budaya beberapa kelompok
masyarakat pada jaman itu, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kristen kelas
atas di Byzantium. Ditegaskan bahwa ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan
kaum wanita dari menjadi obyek nafsu, dan untuk meninggikan wanita diatas
seksualitas mereka.
Ada yang menghubungkan kerudung dengan Umar, ayah mertua Muhammad dan
sahabat dekatnya. Umar mengatakan kepada Muhammad bahwa adalah pantas
untuk memerintahkan istri-istrinya untuk mengenakan kerudung karena beberapa
pria yang memasuki rumahnya bisa jadi mempunyai pikiran yang jahat. Kisah
lainnya menceritakan Aisha yang mengunjungi Muhammad dengan gaun yang
tipis. Ia mengatakan kepada Aisha bahwa ketika seorang perempuan menginjak
pubertas, tidak pantas baginya jika bagian-bagian tubuhnya dapat terlihat kecuali
“ini dan ini”. Ia menunjuk kepada wajah dan tangannya.76
Purdah telah menjadi ketetapan Muslim selama sekitar seribu tahun dan secara
bertahap ditegakkan dalam 3 abad pertama Islam. Purdah ditegakkan dengan
sepenuhnya pada abad 10 dan 11 dan kini menjadi bagian yang integral dalam
74 Asgar Ali Engineer, Islam, Women and Gender Justice (New Delhi: Gyan Publishing House, 2001), p. 40
75 Qur’an, Sura 24:31.
76 Qasim, The Liberation of Women, p. 39.
34
hidup orang Muslim. Sistem Purdah adalah bentuk yang ekstrim dari dominasi pria
karena menyangkali kebebasan kaum wanita dalam bersikap dan berpartisipasi
dalam kehidupan sosial.
Dalam usahanya untuk memahami logika pengasingan dan mengenakan
kerudung pada wanita dan dasar dari segregasi seksual, tokoh feminis Muslim
Qasim Amin tiba pada konklusi bahwa wanita lebih mampu mengendalikan
dorongan-dorongan seksual mereka daripada pria dan oleh karena itu segregasi
seksual lebih merupakan sebuah sarana untuk melindungi pria daripada
melindungi wanita. Ia bertanya, seseorang takut pada apa dalam masyarakat
seperti itu. Dengan mengobservasi bahwa wanita tidak terlalu menyukai
pengasingan dan menaatinya hanya karena mereka harus menaatinya, ia
menyimpulkan bahwa apa yang ditakuti adalah “femme fatale” yang menyebabkan
ketidakteraturan dan kekacauan.77
Kemudian ia bertanya, “Siapakah yang dilindungi oleh pengasingan/pingitan?” Jika
yang ditakutkan pria adalah wanita akan terpikat pada daya tarik maskulin mereka,
mengapa mereka tidak mengerudungi diri mereka sendiri dan menjadikannya
sebuah aturan? Apakah pria dipandang kurang mampu dari wanita untuk
mengendalikan diri mereka sendiri dan menahan dorongan-dorongan seksual
mereka sendiri? Ia menyimpulkan bahwa mencegah wanita dari menunjukkan diri
mereka tanpa kerudung mengekspresikan ketakutan kaum pria akan kehilangan
kontrol atas pikiran mereka, dan dengan demikian dicobai oleh wanita manapun
yang mereka lihat.78
Karakteristik pernikahan Islam
Bagaikan sebuah kontrak dagang, sebuah pernikahan Islam meliputi pertukaran
barang-barang dan jasa. Setelah memberikan mahar/mas kawin dan pemeliharaan
harian serta nafkah (nafaqih) kepada istri, si suami akan mendapatkan hak
kepemilikan eksklusif (tamlik) atas seksualitas istrinya dan aktifitas-aktifitas
reproduksi serta menguasai pribadinya. Berdasarkan hukum Islam, si wanita harus
memberikan persetujuannya akan besarnya jumlah uang yang diterima, dan si
wanitalah, dan bukan ayahnya, yang menerima keseluruhan mahar tersebut.
Mahar/mas kawin adalah sebuah istilah teknis untuk sejumlah uang atau barang
yang harus diberikan kepada si wanita dalam kontrak pernikahan. Kita lihat hal ini
berakar dalam Qur’an:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan.79
77 Ibid., p. 42.
78 Ibid., p. 42.
35
Namun demikian saat seorang wanita menyetujui sebuah kontrak pernikahan,
maka ia dianggap telah dengan sukarela menyerahkan semua kontrol dan otonomi
atas dirinya sendiri diatas hak-hak legal dan sosialnya. Setelah kontrak itu ditutup
maka secara sah dan konseptual ia dihubungkan dengan barang/uang yang
dipertukarkan dalam mas kawin dan berada di bawah otoritas legal suaminya. Di
dalam struktur kontrak pernikahan, seksualitas seorang wanita dan kegiatan
reproduksi adalah inti transaksi ekonomi dan sosial. Seksualitas seorang wanita
diidentifikasikan dengan dirinya seutuhnya.80
Pria memandang wanita sebagai obyek untuk dimiliki dan dikendalikan dengan
kecemburuan; sebagai obyek hasrat yang harus diasingkan, dikenakan kerudung
dan untuk direndahkan; dan pada waktu yang sama menjadi obyek yang sangat
diperlukan untuk memenuhi perasaan berkuasa dan kejantanan pria. Kontrak ini
mendikte wanita agar taat pada suaminya, dan membatasi otonominya. Ketaatan
kepada suaminya dan kepada tatanan sosial yang lebih besar adalah hal yang
harus diberikannya untuk mendapatkan jaminan finansial dalam keluarga dan
martabat dalam masyarakat.81
Poligami dan Qur’an
Qur’an berkata:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja....82
Telah dikemukakan bahwa poligami diperlukan untuk memberikan keadilan sosial
dengan mengijinkan pria untuk menikahi perempuan yatim dan janda. Namun
demikian, ada pula yang berpendapat bahwa menjaga rasa keadilan diantara para
istri adalah hal yang tidak mungkin, maka beristri lebih dari satu orang tidak
diijinkan. Mereka menunjukkan bahkan Muhammad yang sangat mengasihi Aisha
istrinya lebih dari apapun, bahkan mempraktekkan poligami.
Kembali Qur’an berkata:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai)...83
79 Shahla Heiri, “Obedience versus Autonomy”, in Martin E Marty & R Scott Appleby (eds),
Fundamentalisms and Society (Chichago: University of Chichago Press, 1993), pp. 185-186.
80 Ibid.
81 Ibid.
82 Dawood, The Koran, Sura 4:3.
83 Dawood, The Koran, Sura 4:129.
36
Poligami adalah sebuah ketetapan yang diskriminatif terhadap wanita untuk
menguntungkan pria di dalam masyarakat Muslim. Ini adalah hak istimewa bagi
satu pihak saja, yang diberikan semata-mata hanya untuk pria, yang
mengakibatkan segregasi wanita dari pria, sehingga perlahan-lahan wanita
disingkirkan dari kegiatan-kegiatan sosio-ekonomi, dan itu merupakan masalah
yang dialami dunia Muslim pada masa kini. Hasil dari poligami adalah konspirasi,
pertengkaran dan iri hati diantara para istri, dan kadangkala pemukulan, ancaman
kematian, bahkan meracun dan membunuh anak-anak. Tambahan lagi, kaum
wanita yang berada dalam kondisi ini dihina dan dipandang sebagai budak-budak
perempuan atau bahkan hanya sebagai komoditas.84
Perceraian dan Qur’an
Perceraian dapat terjadi dengan sangat mudah dalam Islam. Kewenangan untuk
menceraikan ada pada pria. Dalam Qur’an dikatakan:
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain...85
Ayat ini memberikan kekuasaan absolut bagi pria untuk meninggalkan istrinya dan
menikahi wanita lain. Tidak ada formalitas apapun. Menurut Syariah seorang pria
hanya harus mengucapkan “aku menceraikanmu” sebanyak 3 kali di hadapan
saksi-saksi lalu istrinya dapat diusir keluar dari rumah. Tidak ada pengadilan,
hakim, pengacara atau konselor. Wanita yang diceraikan tidak boleh menikah lagi
setidaknya selama 3 bulan ke depan karena ia harus menjalani masa penantian
(masa idah) yang terdiri dari 3 kali siklus menstruasi. Setelah periode 3 bulan itu
berakhir maka perceraian itu tidak dapat dibatalkan. Dalam periode 3 bulan itu si
suami dapat membatalkan perceraian itu hanya dengan mengambil kembali
istrinya untuk tinggal bersamanya lagi. Dengan kembalinya ia ke rumah, maka
wanita itu kembali mendapatkan statusnya sebagai istri.
Bagi seorang wanita, sulit untuk menceraikan suaminya dan dalam banyak kasus
hal itu tidak mungkin. Namun demikian ia dapat menuntut untuk bercerai dari
suaminya jika suaminya impoten, tidak memberi nafkah atau tidakwaras.
Kekerasan dalam rumah-tangga tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk
bercerai, karena pemukulan terhadap istri dianjurkan dalam Qur’an. Setelah
pernikahan itu diakhiri, si suami harus memberikan pesangon terhadap mantan
istrinya. Ia hanya perlu melakukannya selama 3 bulan.
84 Hekmat, Women and the Koran, pp. 129-130
85 Qur’an, Sura 4:20.
37
Hak asuh anak
Apabila seorang pria menceraikan istrinya maka anak-anak dipandang sebagai
properti si suami. Menjadi seorang Muslim tidak memberikan hak untuk mengasuh
anak.
Namun demikian, si ibu dapat memiliki hak untuk mengasuh anak laki-lakinya
hingga berumur 7 tahun, selama si anak aman dari pemurtadan dan pengaruh
buruk. Jika ia kedapatan membawa putranya ke gereja atau memberinya makan
babi, maka ayahnya berhak untuk mengambil anak itu. Si ibu dapat mempunyai
hak asuh atas anak perempuannya hingga mencapai masa pubertas yaitu 9 tahun.
Jika ia menolak Islam ia tidak dapat mempunyai hak asuh atas anak-anak. Jika ia
menikah lagi, ia kehilangan hak asuh atas anak-anaknya, kecuali jika suaminya
yang baru mempunyai hubungan dengan anaknya sebagai paman dari pihak ayah.
Konklusi
Islam mengklaim percaya pada kesetaraan jender. Tetapi setelah memperhatikan
ayat-ayat mengenai wanita yang ditulis di dalam Qur’an dan kutipan dari Hadith,
tidak ada konsistensi di dalamnya. Disana dikatakan bahwa pria mempunyai
kedudukan yang superior dalam banyak hal. Wanita dipandang kurang cerdas,
kurang bersyukur dan kurang beragama, boleh dipukuli, dapat menjadi salah-satu
dari banyak istri lainnya, tidak mempunyai jaminan untuk masuk surga. Mereka
juga tidak mempunyai hak yang setara dalam hal perceraian, menjadi saksi di
pengadilan, warisan dan hak asuh anak. Kesemua hukum ini hanya untuk
menyenangkan kaum pria. Pada kenyataannya kita dapat tiba pada konklusi
bahwa sumber-sumber Islam tidak menjamin kesetaraan hak-hak azasi bagi
wanita.
Orang Muslim mengklaim bahwa penting untuk mempertimbangkan pengaruhpengaruh
sosiologis dalam menginterpretasikan kitab suci, karena pembacaan
atau penerapan sebuah teks tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh semacam itu.
Penafsiran-penafsiran harus dilihat dalam perspektif sosiologis jaman dimana
wanita hanya dilihat sebagai barang yang bergerak, melahirkan anak dan
memberikan kesenangan kepada suami. Maka pria yang telah memformulasikan
Syariah atau Hukum Islam, selama lebih dari 2 abad dipengaruhi interpretasi
mereka terhadap Qur’an dan Hadith oleh lingkungan tempat hidup mereka yang
membenci wanita. Masalahnya adalah aspek sosiologis menjadi teologis dan telah
dibela sebagai hal yang bersifat teologis, bahkan ketika kondisi-kondisi sosiologis
telah berubah.
Argumen sosiologis mempunyai kekuatan dan juga kelemahan. Muhammad
tentunya telah dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosiologis pada jamannya dan
38
kata-kata yang dikenakan padanya akan merefleksikan bahwa itu adalah hukum
Islam, seperti yang juga dikatakan oleh para teolog mula-mula dan para pembuat
hukum yang terlibat dalam menciptakan susunan aturan. Namun hal itu tetap
berada dalam ketegangan dengan ayat-ayat dari Qur’an yang memberlakukan
pandangan yang diskriminatif mengenai wanita. Pandangan klasik Islam menganut
Qur’an sebagai wahyu yang secara langsung diberikan Allah kepada Muhammad,
sempurna terpelihara dalam bentuk oral sejak permulaan, dan oleh karena itu tidak
dapat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial.
Para pembaharu Muslim sejak abad ke-18 telah berkeras bahwa Islam mampu
bersesuaian dengan modernitas. Secara khusus mereka telah mengklaim bahwa
Syariah telah memasukkan ke dalam berbagiai mazhab prinsip-prinsip tertentu
mengenai perkembangan yang mengijinkan para pembuat hukum untuk
mengembangkan atau membatasi penerapan hukum dan memformulasikannya
dalam cara yang lebih segar yang sesuai dengan keadaan-keadaan yang mudah
berubah. Di banyak negara, ijtihad atau penilaian independen semacam itu telah
membawa perubahan yang signifikan dalam hukum mengenai keluarga. Ini terjadi
di negara-negara seperti Tunisia dan Marokko.
Namun demikian, banyak orang lain yang beranggapan bahwa Syariah adalah
sangat ilahi dan kekal. Mereka percaya bahwa gerbang ijtihad telah ditutup pada
abad ke-11. Itu berarti bahwa kini hukum telah genap dan tidak dapat diubah agar
sesuai dengan berbagai situasi. Di negara-negara atau situasi-situasi dimana
Syariah dipandang telah genap dan diberlakukan pada masyarakat banyak, posisi
dan hak-hak wanita tetap sama dengan berabad-abad lalu. Di beberapa negara
lain hukum sipil berjalan berdampingan dengan hukum Syariah dan wanita di
negara-negara ini lebih mempunyai hak dalam hal-hal seperti perceraian. Namun
demikian, ada kecenderungan banyak negara untuk kembali kepada Islam yang
belum direformasi, yaitu penerapan Syariah secara ketat. Apabila hal ini terjadi
maka posisi wanita dan hak-hak mereka akan mengalami kemunduran.
salam :)
ReplyDeletesemoga Tuhan Yang Maha Esa membukakan ilmu dan kebenaran untuk Donny Sukma dan jajaran penulis islamfobia.blogspot.com