Perceraian dan wanita Muslim
Semua wanita yang saya wawancarai mengenal pria Muslim yang sudah bercerai. Gadis-gadis yang mendapat pendidikan di Inggris sadar akan hak-hak mereka berkenaan dengan perceraian. Kini jumlah perceraian di kalangan orang muda Muslim sangat tinggi, dan 75% dari semua perceraian Muslim si wanitalah, baik tua maupun muda, yang menceraikan pria. Jika si wanita yang menggugat cerai hanya ada satu dari sepuluh kesempatan mereka akan rujuk kembali, sedangkan jka pria yang menggugat cerai maka sembilan dari sepuluh wanita akan rujuk kembali dengan suaminya.129
Tingginya proporsi perceraian yang dilakukan oleh wanita Muslim di Inggris sangat menggelisahkan, karena dalam masyarakat tradisional Muslim sulit bagi wanita untuk menggugat cerai. Di negara-negara Muslim yang menerapkan hukum Islam seorang wanita yang menceraikan suaminya harus menyerahkan anak-anaknya, yang akan tinggal dengan ayah mereka atau keluarganya. Di negara-negara dimana hal ini diberlakukan, keprihatinan akan anak-anaknya menyebabkan seorang wanita tetap tinggal dengan suaminya, walaupun suaminya sangat kejam, tidak setia atau tidak masuk akal.
Seorang wanita yang menggugat cerai dipandang telah melakukan tindakan yang sangat memalukan, dan itu akan mempengaruhi seluruh keluarga besar. Biasanya wanita itu akan kembali ke keluarganya sendiri dan kemudian dibuang oleh masyarakat. Jika ia tidak mempunyai keluarga besar maka ia sangat terasing dan terhilang. Wanita yang lebih tua bisa jadi tidak terlalu fasih berbahasa Inggris dan tidak berpendidikan, dan ini akan menjadi sebuah pengalaman yang sangat traumatis.
Alasan-alasan untuk bercerai
Tidaklah dipandang memalukan bila pria yang menggugat cerai, apapun alasan
yang diberikannya. Satu alasan yang dipandang sah untuk bercerai adalah karena
istrinya tidak dapat melahirkan anak laki-laki. Sudah menjadi kebiasaan umum
dalam masyarakat Muslim jika si suami mengancam akan menceraikan istrinya
walau tidak sungguh-sungguh berniat untuk melakukannya. Ini adalah sarana
untuk mengendalikan istrinya.
129 “Why Older Women are Divorcing”, the Sunday Times, March, 2002.
62
Tingginya angka perceraian di kalangan orang Muslim di Inggris seringkali
merupakan hasil dari pernikahan melalui perjodohan atau pernikahan yang
dipaksakan, dan rata-rata terjadi pada kelompok umur 20-30 tahun. Alasan utama
yang dikemukakan adalah si wanita ingin memilih sendiri pasangan hidupnya.
Dalam wawancara-wawancara saya, sepasang suami istri senantiasa berada di
ambang perceraian. Seorang gadis yang dilahirkan di Inggris yang menikah
dengan seorang pria dari India mendiskusikan hal ini dengan saya secara
terperinci. Ia mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan budaya diantara mereka
terlalu besar dan mereka sama sekali tidak mempunyai kesamaan. Pernikahan
mereka tidak berhasil.
Salah-satu wawancara saya adalah dengan seorang wanita Muslim Pakistan yang
berusia 35 tahun. Suaminya datang ke Inggris ketika masih berusia 7 tahun dan
menikah pada usia 22 tahun. Ia datang dari Lahore untuk menikah dengan pria itu
karena dijodohkan. Suaminya mengelola sebuah toko dengan saudaranya sekitar
100 mil dari London, dan ia kembali ke rumah hanya pada akhir pekan. Pada
tahun 1991 suaminya membawanya beserta ketiga anak mereka yang berusia 8,
10 dan 12 tahun yaitu 2 anak laki-laki dan seorang anak perempuan kembali ke
Pakistan dimana mereka tinggal bersama keluarga suaminya. Suaminya kembali
ke Inggris. Pada tahun 1996 suaminya mengusirnya dari rumah keluarganya di
Pakistan tanpa membawa apa-apa, bahkan tanpa paspor atau kartu identitas
apapun. Sejak hari itu ia tidak dapat bertemu lagi dengan anak-anaknya.
Suaminya telah menceraikannya melalui Pengadilan Hukum Syariah Pakistan dan
kini sedang menceraikannya melalui pengadilan Inggris dengan alasan
meninggalkan keluarga. Namun melalui pertolongan keluarganya ia dapat kembali
ke Inggris. Ia yakin suaminya sedang berencana untuk menikah lagi.
Agar sebuah perceraian disahkan menurut Hukum Inggris sebuah “dekrit absolut”
harus didapat dari pengadilan sipil; prosedur perceraian Islam saja tidak cukup.
Beberapa wanita Muslim yang menikah lagi berpikir bahwa perceraian Muslim
diakui oleh Hukum Inggris, bisa jadi karena nasehat yang keliru yang diberikan
oleh para pengacara yang tidak menyadari perbedaan-perbedaan penting antara
hukum Islam dan hukum Inggris. Ketika mereka menikah lagi mereka didakwa
melakukan bigami, sebuah pelanggaran yang dijatuhi hukuman penjara selama 7
tahun.130
130 Aina Khan, “Bigamy Warning for UK Muslims”, BBC News, Feb 23, 2001, at http://news.bbc.co.uk/1/hi/
uk/1185459.stm., viewed April 15, 2008.
63
Perceraian di kalangan generasi yang lebih tua
Anak-anak mereka telah dewasa dan mereka telah menikah selama beberapa
dekade. Ada peningkatan jumlah perceraian pasangan Muslim yang telah menikah
selama 25 tahun. Umumnya para wanita ini menggugat dengan alasan
ketidaksetiaan. Para pengacara mengatakan bahwa pria-pria yang lebih tua
berlaku tidak setia karena mereka mempunyai uang yang banyak.
Bagi wanita yang lebih tua perceraian bagaikan pil pahit yang harus ditelan, dan
banyak yang merasa sangat tertekan setelah hal itu terjadi, dan beberapa
melakukan bunuh diri. Seorang wanita yang berusia 56 tahun mengatakan bahwa
ia merasa bahagia setelah ia bercerai. Ia mendapati bahwa suaminya suka pergi
ke klab malam setelah ia menelepon sebuah nomor tak dikenal yang
ditemukannya di tas suaminya. Ia mengatakan menjadi istri dari pria itu sama
dengan menyia-nyiakan hidupnya, dan sekarang ia hidup untuk dirinya sendiri dan
anak-anaknya. Seorang wanita lain yang berusia 46 tahun didatangi oleh seorang
wanita berusia 20-an di rumahnya dan memarahi suaminya. Wanita muda itu
meminta suaminya untuk berterus-terang apakah pria itu mencintainya, dan si
suami mengangguk mengiyakan. Si istri merasa dunianya kiamat seketika. Ia
segera menggugat cerai karena ia berkata, “lebih baik sendirian daripada
menangis sepanjang hari”.131
Kerumitan perceraian Muslim
Kasus yang baru-baru ini terjadi menunjukkan kompleksitas yang dialami wanita
yang ingin bercerai yang adalah sah baik menurut hukum sipil dan di mata
komunitas Muslim. Ada seorang wanita Muslim yang menikah baik secara Muslim
dan dalam upacara sipil. Ia menggugat cerai di pengadilan sipil dan juga
pengadilan Muslim dan mengusahakan klaim sipil untuk pengembalian maharnya
di pengadilan sipil. Kasus ini memakan waktu bertahun-tahun dan wanita itu harus
melakukan banyak riset legal sendiri. Hakim sipil tidak mengakui haknya sebagai
warga negara Inggris agar klaim religiusnya didengarkan. Kedua belah pihak harus
mengupayakan bantuan pakar hukum Islam dalam kasus sipil yang berlangsung
selama 6 tahun hingga akhirnya ia menerima sebuah “dekrit absolut” dan
memenangkan perkara gugatan terhadap mantan suaminya. Ini diperlukan bagi
kasus sipil yang diajukannya untuk perceraiannya secara Muslim di Dewan Hukum
Muslim (Syariah) di London. Ini kemudian diberikan kepadanya walau ada
penolakan dari suaminya.
Dr. Zaki Badawi dalam laporannya mengenai kasus ini menyatakan bahwa si
suami melakukan “pemerasan yang tidak dapat diterima dan terbukti berniat
mencelakakan/merugikan istrinya”. Wanita itu harus menjalani lamanya mengurus
131 Ibid.
64
hal-hal yang bersifat yudisial baik dalam pengadilan sipil maupun Islam. Tujuannya
adalah agar perceraiannya dan pembayaran yang diterimanya valid di mata
komunitas Muslim, demikian pula dalam sistem hukum sipil. Kasus ini
menggambarkan banyaknya kesulitan yang dihadapi para wanita Muslim dalam
mengklaim hak-hak mereka.132
Hukum Inggris mengakui pernikahan Muslim yang dilakukan di luar negeri
sebelum pasangannya memasuki Inggris. Di Inggris banyak orang Muslim yang
menikah di mesjid dengan sebuah upacara pernikahan berdasarkan Syariah Islam
dan tidak disertai dengan upacara menurut hukum sipil Inggris. Ada peningkatan
dilakukannya praktek ini karena ada anggapan bahwa ini dapat menurunkan
angka wanita mendapat pendidikan lanjutan dan menyadari hak-hak mereka.
Mereka yang mendapatkan dampak dari hal ini seringkali adalah kaum profesional
seperti pengacara dan akuntan.
Pernikahan Islam membuat wanita tidak terlindungi, karena sebuah setifikat
pernikahan Islam seringkali mencatat hanya sejumlah uang sebanyak 50
poundsterling pada saat (jika) pernikahan itu berakhir. Pemimpin Parlemen Muslim
Inggris telah memperingatkan bahwa banyak wanita secara legal tidak terlindungi
ketika pernikahan mereka berakhir karena mereka keliru percaya bahwa upacara
pernikahan Islam diakui oleh hukum Inggris. Pernikahan menurut Syariah harus
disertai dengan seremoni menurut Hukum Sipil Inggris agar menjadikan
pernikahan itu sah di Inggris. Ini berarti bahwa wanita yang menikah di Inggris
hanya menurut hukum Syariah hanya akan mendapatkan sedikit hak dari
perceraian atau kematian pasangannya. Para pakar hukum membandingkan
situasi ini dengan kepercayaan masyarakat luas bahwa ada “hukum umum
pernikahan” sedang pada kenyataannya orang yang hanya dipandang hidup
bersama mempunyai hak yang jauh lebih sedikit dengan pasangan yang sah.
Wanita sering dijanjikan upacara sipil dan itu tidak pernah terjadi. Para janda
mendapai bahwa mereka kurang mendapatkan hak atas pensiun mereka atau hak
apapun dari properti pasangannya jika ia tidak meninggalkan surat wasiat. Jika
pernikahan itu poligamis maka hanya satu istri yang diakui di Inggris. Namun
demikian, penduduk Inggris di Inggris Raya harus melakukan pernikahan
berdasarkan hukum sipil agar pernikahan itu dapat diakui secara sah. Mesjidmesjid
dan pusat-pusat Islam (Islamic Centre) dapat didaftarkan pada otoritas sipil
untuk keabsahan pernikahan, namun sejauh ini hanya 160 mesjid yang telah
melakukannya.133
Seorang pengacara Muslim menangani pengajuan kasus-kasus semacam itu oleh
para wanita Muslim untuk menjamin adanya pendaftaran sipil pernikahan mereka,
jika tidak demikian mereka hanya akan mendapatkan hak yang jauh lebih sedikit
132 Fauzia Ahmad, “Untying the Knot”, Q-News, Dec 2003, No. 352.
133 Tania Branigan, “Islamic Weddings Leave Women Unprotected”, The Guardian, Nov 24, 2003.
65
karena hanya dipandang sebagai “pasangan hidup bersama”. Pengacara ini
mengklaim bahwa hal ini sangat lazim terjadi, bahkan dialami oleh wanita Muslim
yang berpendidikan tinggi; mereka berpikir bahwa tidak perlu mendaftarkan
pernikahan mereka pada sistem sipil. Kemudian mereka menghadapi banyak
permasalahan dalam kasus-kasus perceraian atau kematian. Banyak wanita
Muslim di Inggris yang menikah di bawah Hukum Syariah.134
Kekerasan dalam rumah-tangga
Beberapa pria Muslim menerima gagasan bahwa memukul istri adalah hal yang
biasa dan bahwa istri tidak lebih dari sekadar bagian dari propertinya.
Penganiayaan terhadap istri telah sangat melukai banyak wanita Muslim,
menghancurkan banyak keluarga Muslim dan melemahkan keseluruhan komunitas
Muslim. Berdasarkan informasi dari para pemimpin akar rumput, pekerja sosial
dan para aktifis, setidaknya 10% dari para wanita Muslim Inggris mendapatkan
penganiayaan emosional, fisik dan seksual dari para suami Muslim mereka.
Walaupun persoalan ini sangatlah berat, komunitas Muslim sangat menutup mata
terhadap hal ini dan menggunakan dukungan-dukungan yang sangat sedikit untuk
menolong para korban dan menghentikan para pelaku penganiayaan. Menurut
seorang pekerja sosial Muslim, kekerasan dalam rumah-tangga adalah sebuah
pengalaman merusak yang terus terjadi dimana ada penganiayaan fisik,
psikologis, dan/atau seksual dalam rumah-tangga.135
Bentuk penganiayaan yang umum terjadi adalah penganiayaan mental dan
emosional. Komunitas Muslim cenderung mengabaikan keseriusan penganiayaan
mental, merasionalisasikannya hanya sebagai perdebatan kecil antara suami dan
istri, dan mengatakan bahwa hak itu baru menjadi serius jika si suami memukul
istrinya. Di dalam rumah-tangga Muslim, penganiayaan mental termasuk ancaman
menceraikan istri, menikah lagi, atau membawa pergi anak-anak jika si istri tidak
melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Dalam kenyataan, penganiayaan
mental berdampak kerusakan psikologis yang serius terhadap banyak wanita
Muslim. Penganiayaan mental menghancurkan harga diri mereka dan membuat
mereka mempertanyakan nilai diri mereka; ada yang mengalami depresi dan
menjadi tidak waras.136
Banyak wanita Muslim – seperti halnya para korban kekerasan dalam rumahtangga
dari latar-belakang keyakinan lainnya – tidak berusaha mencari bantuan.
Mereka takut jika situasi yang mereka alami diketahui orang banyak maka mereka
akan kehilangan kehormatan oleh karena gosip, dan mereka takut para
134 Aina Khan, “Viewpoint: Women and Shari’ah Law”, BBC News, Oct 22, 2003.
135 “Domestic Violence in the Muslim Community”, Q-News, June 1999.
136 Ibid.
66
penganiaya mereka akan menjadi semakin kejam jika publisitas negatif melanda
mereka. Banyak wanita yang teraniaya tetap bungkam karena mereka kurang
percaya diri dan yakin bahwa apapun alasannya mereka pantas menerima
penganiayaan itu. Mereka juga tetap bungkam karena merasa tidak
berpengharapan dan percaya bahwa tidak ada seorangpun yang akan menolong
mereka, dan karena ketergantungan finansial pada suami mereka atau ingin tetap
memelihara keutuhan rumah-tangga demi anak-anak. Para wanita Muslim lainnya
menerima penganiayaan itu sebagai sebuah kenyataan hidup dan belajar untuk
hidup dengan hal itu. Yang berusaha keluar dari masalah itu dan mencari
pertolongan, berpaling kepada para imam dan seringkali mendapati bahwa para
imam juga tidak dapat menolong mereka. Mereka juga akan mencari bantuan dari
para kerabat namun kemudian hanya dinasehati untuk menerima penganiayaan
itu. Mempersoalkan hal itu hanya akan merusak kehormatan dan reputasi
keluarga.137
Dalam keputusasaan banyak wanita Muslim yang mengalami penganiayaan
berpaling kepada tempat-tempat perlindungan bagi para wanita yang dikelola oleh
non-Muslim. Biasanya mereka diantarkan oleh orang yang berasal dari luar
lingkungan mereka sehingga mereka tidak dapat ditemukan oleh para anggota
keluarga mereka yang lain. Umumnya jika para wanita ini pergi ke mesjid,
biasanya mereka akan ditemukan oleh para anggota keluarga, sebab pengurus
mesjid akan melaporkan mereka kepada keluarga mereka. Putri kami Ruth
mengelola rumah singgah semacam itu di pusat kota London selama bertahuntahun.
Ia senantiasa berhubungan dengan polisi dan para pekerja sosial oleh
karena berurusan dengan banyak kasus penganiayaan. Masalah ini masih
merupakan subyek yang tabu di kalangan semua organisasi utama Muslim.
Kekerasan yang berkaitan dengan masalah kehormatan
Sekitar 17.000 wanita di Inggris setiap tahun menjadi korban kekerasan yang
berhubungan dengan “kehormatan”, menurut para Kepala Polisi. Mereka
memperingatkan bahwa jumlah gadis-gadis yang menjadi korban pernikahan yang
dipaksakan, penculikan, pelecehan seksual, pemukulan dan bahkan pembunuhan
oleh kerabat yang bermaksud menjaga “kehormatan” keluarga mereka, 35 kali
lebih tinggi dari yang diperkirakan oleh para pejabat resmi. Permasalahan
sehubungan dengan anak-anak yang masih berusia 11 tahun yang dikirim keluar
negeri untuk dinikahkan telah mendorong pihak otoritas untuk mengambil tindakan
yang lebih serius.138
137 Ibid.
138 “A Question of Honor”, The Independent UK, 10th Feb, 2008.
67
Kelompok Pemerhati Kekerasan Dalam Rumah-tangga memperingatkan bahwa
ketakutan akan pembalasan dan kegagalan pihak yang berwajib untuk memahami
permasalahan ini benar-benar berarti bahwa mayoritas korban merasa terlalu takut
untuk mencari pertolongan. Pihak otoritas Inggris membawa pulang 3 gadis dari
Pakistan; mereka adalah korban nikah paksa, tapi diakui bahwa persoalan ini
hanyalah merupakan puncak dari gunung es. Unit Nikah Paksa Pemerintah (FMU)
menangani sekitar 400 kasus pada tahun 2007, dan bukan hanya wanita yang
terkena dampaknya, 15% dari kasus-kasus yang ada juga mencakup pria dan
anak-anak laki-laki.139
Pendidikan
Banyak gadis muda Muslim yang ingin melanjutkan pendidikan atau mengambil
semacam pelatihan/kursus, tetapi ada yang terpaksa meninggalkan sekolah pada
usia 16 tahun. Ada pula yang tetap mengambil kursus. Seorang gadis yang saya
temui mengambil kursus menata rambut, yang lainnya telah meneyelesaikan
kursus bisnis selama setahun, dan yang lainnya 2 tahun kursus komunitas. Ketiga
gadis ini telah bekerja hingga mereka menikah, dan terus bekerja setelah menikah,
hingga suami mereka tiba di Inggris, yang biasanya lama mereka bekerja adalah
18 bulan hingga 2 tahun. Mereka diwajibkan bekerja selama periode ini oleh pihak
imigrasi, untuk menunjukkan bahwa mereka mempunyai penghasilan. Mereka dan
para gadis lainnya cocok dengan pola orang-tua yang berasal dari latar-belakang
pedesaan yang mengeluarkan anak gadis mereka dari sekolah pada usia 16
tahun. Tujuannya agar mereka tinggal di rumah atau bekerja hingga mereka
menikah. Suami-suami bagi mereka dicarikan di negara asal mereka. Setelah
mereka menikah atau setelah para suami mereka tiba di negara tempat mereka
berdiam maka mereka harus tinggal di rumah. Ketika saya berjumpa dengan
ketiga gadis ini mereka sedang menganggur dan sangat ingin bekerja.
Namun demikian, seorang gadis yang saya temui dari kelompok sosio-ekonomi ini
telah berhasil melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Yang lainnya sangat
ingin mengikuti jejaknya. Gadis-gadis dari latar-belakang kelas menengah
biasanya tidak mengikuti semacam kursus atau pendidikan lanjutan. Namun
demikian tidak lazim bagi seorang gadis untuk masuk perguruan tinggi, tapi akan
mengambil kursus yang memungkinkannya untuk tinggal di rumah. Jika ia harus
keluar rumah, dalam banyak kasus ia akan tinggal di rumah kerabatnya.
139 Ibid.
68
Menjalani kehidupan ganda
Orang-orang muda yang saya ajak bicara mengatakan bahwa banyak gadis
Muslim yang melanjutkan pendidikan melakukannya karena alasan khusus seperti
untuk mendapatkan lebih banyak kebebasan. Mereka memandangnya sebagai
satu-satunya masa dalam hidup mereka dimana mereka dapat melakukan apa
yang mereka sukai. Mereka dapat pergi ke universitas dengan mengenakan jilbab
dan pakaian Muslim dan menanggalkannya sesampainya mereka di kampus.
Biasanya mereka mengenakan pakaian Barat daripada pakaian tradisional.
Banyak yang menjalani kehidupan ganda. Di siang hari kehidupan kampus, dan
mendatangi salah satu bar mahasiswa di malam hari dengan mengenakan gaun
seksi. Disana mereka berpesta sampai pagi, minum alkohol, merokok, dan
bereksperimen dengan gaya hidup mahasiswa Inggris. Ketika mereka pulang ke
rumah mereka kembali menjadi gadis-gadis yang berbakti. Hidup yang pahitmanis.
Ketika mereka lulus, mereka kembali ke rumah orang-tua mereka dan
menjalani kehidupan sebagai “gadis baik-baik”, terkungkung dalam komunitas
dimana minum, merokok, dan mempunyai teman pria dipandang sebagai dosa.
Seorang gadis mengatakan “selama masa kuliahnya di perguruan tinggi ia telah
melakukan semua yang dilarang oleh agamanya”.140
Dengan semakin banyaknya wanita Muslim yang melanjutkan pendidikan,
kehidupan ganda ini menjadi suatu fenomena sosial yang tersembunyi. Banyak
dari wanita-wanita ini yang percaya bahwa mereka adalah bagian dari suatu
generasi “limbo” (terlantar), yang tidak tahu harus berbuat apa dan tidak dapat
mengendalikan keadaan. Tidak puas dengan hidup tanpa pendidikan, dan sikap
tunduk dan melayani yang ditunjukkan oleh para ibu mereka, membuat mereka
mencari cara untuk menyeimbangkan keyakinan-keyakinan religius dan budaya
turun temurun mereka dengan masyarakat Barat. Ada yang mengenangkannya
dan beranggapan bahwa itu adalah pengalaman yang menyenangkan, dan tidak
melihatnya sebagai hal yang kontradiktif karena “meliburkan diri” selama beberapa
tahun dari tradisi untuk dapat melakukan apa yang dilakukan teman-teman sebaya
mereka, sementara yang lainnya bergumul karena menjalani sebuah kehidupan
ganda. Beberapa wanita muda yang telah menyelesaikan pendidikan di perguruan
tinggi berhasil menyingkirkan “dahaga akan kebebasan” ini keluar dari sistem
hidup mereka dan menenangkan diri dalam kehidupan berumah-tangga. Yang
lainnya tidak pernah dapat mengikhlaskan kehidupan baru mereka. Dan ironisnya
para wanita ini hanya mencicipi apa yang telah dilakukan saudara-saudara laki-laki
mereka selama bertahun-tahun. Ini sudah seperti semacam aturan main yang
sudah lazim terjadi: pria masuk perguruan tinggi dan menjalani tahun-tahun yang
menyenangkan disana sebelum kembali ke rumah dan hidup tenang dengan
seorang gadis Muslim yang baik. Seorang wanita mengatakan bahwa ia menangis
140 Claire Coleman, “A Degree of Duplicity”, Daily Mail, April 11, 2005, p.46-47.
69
selama sebulan ketika masa kuliahnya berakhir dan ia akan dinikahkan dalam
setahun ini. Tiga tahun setelah meninggalkan universitas ia masih tinggal bersama
orang-tuanya dan bekerja.141
Kehidupan ganda sangat memberatkan beberapa gadis Muslim, dan mereka
hampir-hampir dikuasai perasaan bersalah dan paranoia. Ada yang mengalami
depresi berat. Mereka merasakan adanya kegelisahan oleh karena dibentengi dan
terlalu dijaga sehingga hal ini mendorong gadis-gadis ini untuk coba-coba
menjalani sisi hidup yang lain. Namun satu hal yang tetap dipertahankan para
wanita ini yaitu mereka akan tetap merahasiakan masa-masa liar mereka di
universitas dari para suami mereka.142
Ketegangan-ketegangan karena mengenakan pakaian Barat
Semua gadis yang saya wawancarai mengenakan pakaian Barat, dan mengatakan
bahwa mereka mengenakan pakaian Barat untuk pergi ke sekolah dan ketika
mereka jalan-jalan dengan para sahabat mereka. Separoh dari wanita-wanita yang
lebih tua juga mengenakan pakaian Barat. Pada kenyataannya cara berpakaian
gadis-gadis Muslim sama dengan teman-teman Barat mereka, kecuali pakaian
mereka banyak kali dibeli di toko-toko Asia yang menunjukkan adanya
kontekstualisasi terhadap budaya anak muda Muslim Asia, sebagai contoh rok jins
semata kaki dan kemeja berlengan panjang. Mereka hanya memakai pakaian
tradisional mereka ketika mereka bersilahturahmi dengan keluarga mereka atau
pada acara-acara spesial.
Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh orang muda Muslim di Inggris, ada
beragam jawaban atas pertanyaan “salahkah jika gadis-gadis Muslim mengenakan
pakaian Barat?”. Orang muda tidak terlalu mempermasalahkan hal ini ketimbang
para orang-tua.143 Pertanyaan mengenai pakaian dianggap relevan dengan
agama. Generasi yang lebih tua tidak dapat menerima cara berpakaian Barat dan
beranggapan bahwa kondisi-kondisi budaya Muslim tidak mengijinkan untuk
mengenakan pakaian Barat.
Karir dan wanita Muslim
Riset dilakukan terhadap tujuan karir para wanita Muslim sejak 1995-1998 oleh
Profesor Marie Parker Jenkins dari University of Derby, yang meneliti pengalaman-
141 Ibid.
142 Ibid.
143 Muhammad Anwar, Young Muslims in Britain (Leicester: The Islamic Foundation, 1994), p.33.
70
pengalaman mereka semasa sekolah dan setelah menyelesaikan pendidikan,
latar-belakang keluarga, sikap umum terhadap pekerjaan dan motivasi diri serta
perang mereka yang berdampak pada kesempatan-kesempatan mereka untuk
berkarir. Laporannya mengklaim bahwa para wanita Muslim dua kali lebih sulit
untuk berhasil mencapai tujuan-tujuan karir mereka oleh karena “kekerasan” dari
perguruan tinggi, diskriminasi di tempat kerja dan mengalami pergumulanpergumulan
dalam komunitas mereka sendiri.144
Semua gadis dan wanita muda yang saya wawancarai yang berusia di bawah 30
tahun ingin bekerja, dan ada yang ingin mempunyai karir yang serius. Namun
demikian mereka mengatakan bahwa mereka mengalami banyak halangan untuk
sampai kesana. Salah satu halangan terbesar adalah suami yang berasal dari luar
negeri, yang menganut nilai-nilai budaya tradisional konservatif. Seorang gadis
telah bekerja sebagai resepsionis dokter dan kini tengah mencari pekerjaan yang
sama, namun ia hanya mendapatkannya dengan gaji yang rendah. Ia harus
mencari pekerjaan yang lain. Kesulitannya bertambah karena ia harus mencari
tempat penitipan anak untuk putrinya yang berusia 2 tahun. Ia tidak ingin ibunya
mengurus anaknya sementara ia bekerja karena ia takut putrinya akan lebih dekat
pada ibunya daripada dekat dengannya.
Gadis-gadis Muslim menghadapi banyak tekanan dari keluarga dekat mereka,
yang seringkali tidak mau mendukung aspirasi karir mereka karena takut akan
anggapan kelompok masyarakat yang lebih luas. Hal ini menyebabkan rasa
frustrasi yang besar di kalangan para gadis Muslim yang memiliki aspirasi karir,
tetapi orang-tuanya mengatakan bahwa hal itu tidak dapat diterima dalam
komunitas mereka. Akhirnya mereka tiba pada kesimpulan bahwa tidak ada
gunanya berdebat, karena jika engkau memberontak maka engkau akan
dibuang.145
Laporan survey itu juga mengatakan bahwa perubahan sikap orang-tua dapat
terlihat pada gadis-gadis yang bekerja. Perubahan sikap ini kemungkinan besar
oleh karena adanya kesadaran para orang-tua Muslim bahwa pendidikan itu
penting untuk kehidupan, dan bahwa semakin banyak pria Muslim yang mencari
pasangan yang berpendidikan.146
Agama
Selain 2 gadis dari Arab Saudi, Islam ternyata jauh dari pikiran semua gadis dan
wanita yang saya wawancarai. Wanita tidak diwajibkan untuk pergi ke mesjid, dan
144 Yaqub, “forced to Eat the Forbidden fruit”, p.9.
145 Ibid.
146 Ibid.
71
pada kenyataannya kebanyakan mesjid hanya menyediakan sedikit tempat untuk
mereka. Wanita dihimbau untuk bersembahyang di rumah saja. Namun tak
satupun wanita dan gadis Muslim yang saya wawancarai bersembahyang di
rumah. Seorang ibu muda mengatakan pada saya bahwa putrinya yang berusia 2
tahun tidak akan tahu apa-apa mengenai Islam karena ia sendiri juga tidak tahu
apa-apa. Ia mengatakan bahwa ia tidak pernah bersekolah di madrasah karena
tidak ada madrasah di daerah tempat tinggalnya.
Situasi inilah yang mengubah banyak wanita dan gadis, yang akan kita diskusikan
dalam bab 7.
Keluarga besar
Banyak orang muda Muslim yang ingin memiliki keluarga yang kecil ketika mereka
menikah dan bukan keluarga yang besar. Mereka ingin mandiri, namun tidak apaapa
jika orang-tua mereka tinggal tidak jauh dari mereka, agar mereka dapat
menolong mengasuh anak-anak.
Ada bukti bahwa sistem keluarga besar akan menjadi semakin lemah di masa
yang akan datang. Dalam sebuah survey dikatakan bahwa 58% orang muda
Muslim setuju dengan pernyataan “Jika aku mempunyai rumahku sendiri, aku lebih
suka jika yang tinggal disana adalah pasanganku dan anak-anakku saja”. Alasan
utama memiliki keluarga kecil adalah privasi, kemandirian dan memiliki rumah
sendiri.147
Generasi wanita Muslim yang lebih tua
Konsensus para wanita yang saya wawancarai adalah bahwa di Inggris mereka
memiliki lebih banyak kebebasan untuk bergerak daripada di negara asal mereka;
disana mereka harus didampingi pria jika mereka akan keluar rumah. Di Inggris
mereka dapat keluar rumah sesuka mereka pada siang hari, sementara para
suami mereka sedang bekerja. Dua dari wanita Muslim yang lebih tua
menyebutkan bahwa beberapa wanita Muslim bahkan mempunyai teman-teman
pria yang mengunjungi mereka.
Dari semua wanita yang lebih tua yang saya kunjungi, tidak satupun yang bekerja
di luar rumah setelah mereka menikah. Tetapi mereka mengatakan pada saya
bahwa lebih banyak wanita dari kelompok umur yang sedikit lebih tua mulai
bekerja di luar rumah dan mengenakan pakaian Barat. Mereka mengatakan bahwa
para suami merasa di bawah tekanan ketika mereka merasa istri mereka sudah
mulai kebarat-baratan, dan ini akan mengakibatkan pertengkaran dalam keluarga.
147 Anwar, Young Muslims, p.25
72
Saya terkejut mendapati bahwa separoh dari wanita-wanita yang lebih tua yang
saya kunjungi mengenakan pakaian Barat – celana panjang dan atasan – selama
wawancara itu, dan bukannya pakaian tradisional mereka. Ini tidak lazim di
negara-negara asal mereka.
Tidak satupun dari para wanita itu yang berkomentar mengenai kekerasan dalam
rumah-tangga mereka. Para wanita yang lebih muda yang belum menikah
mengatakan bahwa mereka sangat prihatin mengenai hal itu. Wanita Kristen yang
berwenang mengurus pengungsi di East London mengatakan pada saya
berdasarkan pengalamannya bahwa kekerasan rumah tangga lazim terjadi di
keluarga-keluarga Muslim.
Sunat perempuan
Praktek sunat perempuan biasa dilakukan dalam komunitas Muslim di berbagai
belahan dunia. Beberapa pemimpin Muslim telah mengutuk praktek ini sebagai
tidak islami dan terkait budaya, namun banyak komunitas melihatnya sebagai
diperintahkan oleh Islam karena penting untuk menjaga kesucian seorang wanita
dan kehormatan keluarga. Diperkirakan ada 7000 gadis di Inggris beresiko
menjalani prosedur ini kapan saja. Hukum dihindari oleh para keluarga dengan
cara membawa gadis-gadis itu ke luar negeri untuk berlibur dan mereka disunat di
luar Inggris. Di Inggris, Home Office baru-baru ini memperkenalkan perundangan
baru dimana orang-tua yang membawa putrinya ke luar negeri untuk disunat akan
dipenjarakan selama 14 tahun.148
148 “Tougher Penalties for Genital Mutilation”, The Guardian, March 3, 2004.
Semua wanita yang saya wawancarai mengenal pria Muslim yang sudah bercerai. Gadis-gadis yang mendapat pendidikan di Inggris sadar akan hak-hak mereka berkenaan dengan perceraian. Kini jumlah perceraian di kalangan orang muda Muslim sangat tinggi, dan 75% dari semua perceraian Muslim si wanitalah, baik tua maupun muda, yang menceraikan pria. Jika si wanita yang menggugat cerai hanya ada satu dari sepuluh kesempatan mereka akan rujuk kembali, sedangkan jka pria yang menggugat cerai maka sembilan dari sepuluh wanita akan rujuk kembali dengan suaminya.129
Tingginya proporsi perceraian yang dilakukan oleh wanita Muslim di Inggris sangat menggelisahkan, karena dalam masyarakat tradisional Muslim sulit bagi wanita untuk menggugat cerai. Di negara-negara Muslim yang menerapkan hukum Islam seorang wanita yang menceraikan suaminya harus menyerahkan anak-anaknya, yang akan tinggal dengan ayah mereka atau keluarganya. Di negara-negara dimana hal ini diberlakukan, keprihatinan akan anak-anaknya menyebabkan seorang wanita tetap tinggal dengan suaminya, walaupun suaminya sangat kejam, tidak setia atau tidak masuk akal.
Seorang wanita yang menggugat cerai dipandang telah melakukan tindakan yang sangat memalukan, dan itu akan mempengaruhi seluruh keluarga besar. Biasanya wanita itu akan kembali ke keluarganya sendiri dan kemudian dibuang oleh masyarakat. Jika ia tidak mempunyai keluarga besar maka ia sangat terasing dan terhilang. Wanita yang lebih tua bisa jadi tidak terlalu fasih berbahasa Inggris dan tidak berpendidikan, dan ini akan menjadi sebuah pengalaman yang sangat traumatis.
Alasan-alasan untuk bercerai
Tidaklah dipandang memalukan bila pria yang menggugat cerai, apapun alasan
yang diberikannya. Satu alasan yang dipandang sah untuk bercerai adalah karena
istrinya tidak dapat melahirkan anak laki-laki. Sudah menjadi kebiasaan umum
dalam masyarakat Muslim jika si suami mengancam akan menceraikan istrinya
walau tidak sungguh-sungguh berniat untuk melakukannya. Ini adalah sarana
untuk mengendalikan istrinya.
129 “Why Older Women are Divorcing”, the Sunday Times, March, 2002.
62
Tingginya angka perceraian di kalangan orang Muslim di Inggris seringkali
merupakan hasil dari pernikahan melalui perjodohan atau pernikahan yang
dipaksakan, dan rata-rata terjadi pada kelompok umur 20-30 tahun. Alasan utama
yang dikemukakan adalah si wanita ingin memilih sendiri pasangan hidupnya.
Dalam wawancara-wawancara saya, sepasang suami istri senantiasa berada di
ambang perceraian. Seorang gadis yang dilahirkan di Inggris yang menikah
dengan seorang pria dari India mendiskusikan hal ini dengan saya secara
terperinci. Ia mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan budaya diantara mereka
terlalu besar dan mereka sama sekali tidak mempunyai kesamaan. Pernikahan
mereka tidak berhasil.
Salah-satu wawancara saya adalah dengan seorang wanita Muslim Pakistan yang
berusia 35 tahun. Suaminya datang ke Inggris ketika masih berusia 7 tahun dan
menikah pada usia 22 tahun. Ia datang dari Lahore untuk menikah dengan pria itu
karena dijodohkan. Suaminya mengelola sebuah toko dengan saudaranya sekitar
100 mil dari London, dan ia kembali ke rumah hanya pada akhir pekan. Pada
tahun 1991 suaminya membawanya beserta ketiga anak mereka yang berusia 8,
10 dan 12 tahun yaitu 2 anak laki-laki dan seorang anak perempuan kembali ke
Pakistan dimana mereka tinggal bersama keluarga suaminya. Suaminya kembali
ke Inggris. Pada tahun 1996 suaminya mengusirnya dari rumah keluarganya di
Pakistan tanpa membawa apa-apa, bahkan tanpa paspor atau kartu identitas
apapun. Sejak hari itu ia tidak dapat bertemu lagi dengan anak-anaknya.
Suaminya telah menceraikannya melalui Pengadilan Hukum Syariah Pakistan dan
kini sedang menceraikannya melalui pengadilan Inggris dengan alasan
meninggalkan keluarga. Namun melalui pertolongan keluarganya ia dapat kembali
ke Inggris. Ia yakin suaminya sedang berencana untuk menikah lagi.
Agar sebuah perceraian disahkan menurut Hukum Inggris sebuah “dekrit absolut”
harus didapat dari pengadilan sipil; prosedur perceraian Islam saja tidak cukup.
Beberapa wanita Muslim yang menikah lagi berpikir bahwa perceraian Muslim
diakui oleh Hukum Inggris, bisa jadi karena nasehat yang keliru yang diberikan
oleh para pengacara yang tidak menyadari perbedaan-perbedaan penting antara
hukum Islam dan hukum Inggris. Ketika mereka menikah lagi mereka didakwa
melakukan bigami, sebuah pelanggaran yang dijatuhi hukuman penjara selama 7
tahun.130
130 Aina Khan, “Bigamy Warning for UK Muslims”, BBC News, Feb 23, 2001, at http://news.bbc.co.uk/1/hi/
uk/1185459.stm., viewed April 15, 2008.
63
Perceraian di kalangan generasi yang lebih tua
Anak-anak mereka telah dewasa dan mereka telah menikah selama beberapa
dekade. Ada peningkatan jumlah perceraian pasangan Muslim yang telah menikah
selama 25 tahun. Umumnya para wanita ini menggugat dengan alasan
ketidaksetiaan. Para pengacara mengatakan bahwa pria-pria yang lebih tua
berlaku tidak setia karena mereka mempunyai uang yang banyak.
Bagi wanita yang lebih tua perceraian bagaikan pil pahit yang harus ditelan, dan
banyak yang merasa sangat tertekan setelah hal itu terjadi, dan beberapa
melakukan bunuh diri. Seorang wanita yang berusia 56 tahun mengatakan bahwa
ia merasa bahagia setelah ia bercerai. Ia mendapati bahwa suaminya suka pergi
ke klab malam setelah ia menelepon sebuah nomor tak dikenal yang
ditemukannya di tas suaminya. Ia mengatakan menjadi istri dari pria itu sama
dengan menyia-nyiakan hidupnya, dan sekarang ia hidup untuk dirinya sendiri dan
anak-anaknya. Seorang wanita lain yang berusia 46 tahun didatangi oleh seorang
wanita berusia 20-an di rumahnya dan memarahi suaminya. Wanita muda itu
meminta suaminya untuk berterus-terang apakah pria itu mencintainya, dan si
suami mengangguk mengiyakan. Si istri merasa dunianya kiamat seketika. Ia
segera menggugat cerai karena ia berkata, “lebih baik sendirian daripada
menangis sepanjang hari”.131
Kerumitan perceraian Muslim
Kasus yang baru-baru ini terjadi menunjukkan kompleksitas yang dialami wanita
yang ingin bercerai yang adalah sah baik menurut hukum sipil dan di mata
komunitas Muslim. Ada seorang wanita Muslim yang menikah baik secara Muslim
dan dalam upacara sipil. Ia menggugat cerai di pengadilan sipil dan juga
pengadilan Muslim dan mengusahakan klaim sipil untuk pengembalian maharnya
di pengadilan sipil. Kasus ini memakan waktu bertahun-tahun dan wanita itu harus
melakukan banyak riset legal sendiri. Hakim sipil tidak mengakui haknya sebagai
warga negara Inggris agar klaim religiusnya didengarkan. Kedua belah pihak harus
mengupayakan bantuan pakar hukum Islam dalam kasus sipil yang berlangsung
selama 6 tahun hingga akhirnya ia menerima sebuah “dekrit absolut” dan
memenangkan perkara gugatan terhadap mantan suaminya. Ini diperlukan bagi
kasus sipil yang diajukannya untuk perceraiannya secara Muslim di Dewan Hukum
Muslim (Syariah) di London. Ini kemudian diberikan kepadanya walau ada
penolakan dari suaminya.
Dr. Zaki Badawi dalam laporannya mengenai kasus ini menyatakan bahwa si
suami melakukan “pemerasan yang tidak dapat diterima dan terbukti berniat
mencelakakan/merugikan istrinya”. Wanita itu harus menjalani lamanya mengurus
131 Ibid.
64
hal-hal yang bersifat yudisial baik dalam pengadilan sipil maupun Islam. Tujuannya
adalah agar perceraiannya dan pembayaran yang diterimanya valid di mata
komunitas Muslim, demikian pula dalam sistem hukum sipil. Kasus ini
menggambarkan banyaknya kesulitan yang dihadapi para wanita Muslim dalam
mengklaim hak-hak mereka.132
Hukum Inggris mengakui pernikahan Muslim yang dilakukan di luar negeri
sebelum pasangannya memasuki Inggris. Di Inggris banyak orang Muslim yang
menikah di mesjid dengan sebuah upacara pernikahan berdasarkan Syariah Islam
dan tidak disertai dengan upacara menurut hukum sipil Inggris. Ada peningkatan
dilakukannya praktek ini karena ada anggapan bahwa ini dapat menurunkan
angka wanita mendapat pendidikan lanjutan dan menyadari hak-hak mereka.
Mereka yang mendapatkan dampak dari hal ini seringkali adalah kaum profesional
seperti pengacara dan akuntan.
Pernikahan Islam membuat wanita tidak terlindungi, karena sebuah setifikat
pernikahan Islam seringkali mencatat hanya sejumlah uang sebanyak 50
poundsterling pada saat (jika) pernikahan itu berakhir. Pemimpin Parlemen Muslim
Inggris telah memperingatkan bahwa banyak wanita secara legal tidak terlindungi
ketika pernikahan mereka berakhir karena mereka keliru percaya bahwa upacara
pernikahan Islam diakui oleh hukum Inggris. Pernikahan menurut Syariah harus
disertai dengan seremoni menurut Hukum Sipil Inggris agar menjadikan
pernikahan itu sah di Inggris. Ini berarti bahwa wanita yang menikah di Inggris
hanya menurut hukum Syariah hanya akan mendapatkan sedikit hak dari
perceraian atau kematian pasangannya. Para pakar hukum membandingkan
situasi ini dengan kepercayaan masyarakat luas bahwa ada “hukum umum
pernikahan” sedang pada kenyataannya orang yang hanya dipandang hidup
bersama mempunyai hak yang jauh lebih sedikit dengan pasangan yang sah.
Wanita sering dijanjikan upacara sipil dan itu tidak pernah terjadi. Para janda
mendapai bahwa mereka kurang mendapatkan hak atas pensiun mereka atau hak
apapun dari properti pasangannya jika ia tidak meninggalkan surat wasiat. Jika
pernikahan itu poligamis maka hanya satu istri yang diakui di Inggris. Namun
demikian, penduduk Inggris di Inggris Raya harus melakukan pernikahan
berdasarkan hukum sipil agar pernikahan itu dapat diakui secara sah. Mesjidmesjid
dan pusat-pusat Islam (Islamic Centre) dapat didaftarkan pada otoritas sipil
untuk keabsahan pernikahan, namun sejauh ini hanya 160 mesjid yang telah
melakukannya.133
Seorang pengacara Muslim menangani pengajuan kasus-kasus semacam itu oleh
para wanita Muslim untuk menjamin adanya pendaftaran sipil pernikahan mereka,
jika tidak demikian mereka hanya akan mendapatkan hak yang jauh lebih sedikit
132 Fauzia Ahmad, “Untying the Knot”, Q-News, Dec 2003, No. 352.
133 Tania Branigan, “Islamic Weddings Leave Women Unprotected”, The Guardian, Nov 24, 2003.
65
karena hanya dipandang sebagai “pasangan hidup bersama”. Pengacara ini
mengklaim bahwa hal ini sangat lazim terjadi, bahkan dialami oleh wanita Muslim
yang berpendidikan tinggi; mereka berpikir bahwa tidak perlu mendaftarkan
pernikahan mereka pada sistem sipil. Kemudian mereka menghadapi banyak
permasalahan dalam kasus-kasus perceraian atau kematian. Banyak wanita
Muslim di Inggris yang menikah di bawah Hukum Syariah.134
Kekerasan dalam rumah-tangga
Beberapa pria Muslim menerima gagasan bahwa memukul istri adalah hal yang
biasa dan bahwa istri tidak lebih dari sekadar bagian dari propertinya.
Penganiayaan terhadap istri telah sangat melukai banyak wanita Muslim,
menghancurkan banyak keluarga Muslim dan melemahkan keseluruhan komunitas
Muslim. Berdasarkan informasi dari para pemimpin akar rumput, pekerja sosial
dan para aktifis, setidaknya 10% dari para wanita Muslim Inggris mendapatkan
penganiayaan emosional, fisik dan seksual dari para suami Muslim mereka.
Walaupun persoalan ini sangatlah berat, komunitas Muslim sangat menutup mata
terhadap hal ini dan menggunakan dukungan-dukungan yang sangat sedikit untuk
menolong para korban dan menghentikan para pelaku penganiayaan. Menurut
seorang pekerja sosial Muslim, kekerasan dalam rumah-tangga adalah sebuah
pengalaman merusak yang terus terjadi dimana ada penganiayaan fisik,
psikologis, dan/atau seksual dalam rumah-tangga.135
Bentuk penganiayaan yang umum terjadi adalah penganiayaan mental dan
emosional. Komunitas Muslim cenderung mengabaikan keseriusan penganiayaan
mental, merasionalisasikannya hanya sebagai perdebatan kecil antara suami dan
istri, dan mengatakan bahwa hak itu baru menjadi serius jika si suami memukul
istrinya. Di dalam rumah-tangga Muslim, penganiayaan mental termasuk ancaman
menceraikan istri, menikah lagi, atau membawa pergi anak-anak jika si istri tidak
melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Dalam kenyataan, penganiayaan
mental berdampak kerusakan psikologis yang serius terhadap banyak wanita
Muslim. Penganiayaan mental menghancurkan harga diri mereka dan membuat
mereka mempertanyakan nilai diri mereka; ada yang mengalami depresi dan
menjadi tidak waras.136
Banyak wanita Muslim – seperti halnya para korban kekerasan dalam rumahtangga
dari latar-belakang keyakinan lainnya – tidak berusaha mencari bantuan.
Mereka takut jika situasi yang mereka alami diketahui orang banyak maka mereka
akan kehilangan kehormatan oleh karena gosip, dan mereka takut para
134 Aina Khan, “Viewpoint: Women and Shari’ah Law”, BBC News, Oct 22, 2003.
135 “Domestic Violence in the Muslim Community”, Q-News, June 1999.
136 Ibid.
66
penganiaya mereka akan menjadi semakin kejam jika publisitas negatif melanda
mereka. Banyak wanita yang teraniaya tetap bungkam karena mereka kurang
percaya diri dan yakin bahwa apapun alasannya mereka pantas menerima
penganiayaan itu. Mereka juga tetap bungkam karena merasa tidak
berpengharapan dan percaya bahwa tidak ada seorangpun yang akan menolong
mereka, dan karena ketergantungan finansial pada suami mereka atau ingin tetap
memelihara keutuhan rumah-tangga demi anak-anak. Para wanita Muslim lainnya
menerima penganiayaan itu sebagai sebuah kenyataan hidup dan belajar untuk
hidup dengan hal itu. Yang berusaha keluar dari masalah itu dan mencari
pertolongan, berpaling kepada para imam dan seringkali mendapati bahwa para
imam juga tidak dapat menolong mereka. Mereka juga akan mencari bantuan dari
para kerabat namun kemudian hanya dinasehati untuk menerima penganiayaan
itu. Mempersoalkan hal itu hanya akan merusak kehormatan dan reputasi
keluarga.137
Dalam keputusasaan banyak wanita Muslim yang mengalami penganiayaan
berpaling kepada tempat-tempat perlindungan bagi para wanita yang dikelola oleh
non-Muslim. Biasanya mereka diantarkan oleh orang yang berasal dari luar
lingkungan mereka sehingga mereka tidak dapat ditemukan oleh para anggota
keluarga mereka yang lain. Umumnya jika para wanita ini pergi ke mesjid,
biasanya mereka akan ditemukan oleh para anggota keluarga, sebab pengurus
mesjid akan melaporkan mereka kepada keluarga mereka. Putri kami Ruth
mengelola rumah singgah semacam itu di pusat kota London selama bertahuntahun.
Ia senantiasa berhubungan dengan polisi dan para pekerja sosial oleh
karena berurusan dengan banyak kasus penganiayaan. Masalah ini masih
merupakan subyek yang tabu di kalangan semua organisasi utama Muslim.
Kekerasan yang berkaitan dengan masalah kehormatan
Sekitar 17.000 wanita di Inggris setiap tahun menjadi korban kekerasan yang
berhubungan dengan “kehormatan”, menurut para Kepala Polisi. Mereka
memperingatkan bahwa jumlah gadis-gadis yang menjadi korban pernikahan yang
dipaksakan, penculikan, pelecehan seksual, pemukulan dan bahkan pembunuhan
oleh kerabat yang bermaksud menjaga “kehormatan” keluarga mereka, 35 kali
lebih tinggi dari yang diperkirakan oleh para pejabat resmi. Permasalahan
sehubungan dengan anak-anak yang masih berusia 11 tahun yang dikirim keluar
negeri untuk dinikahkan telah mendorong pihak otoritas untuk mengambil tindakan
yang lebih serius.138
137 Ibid.
138 “A Question of Honor”, The Independent UK, 10th Feb, 2008.
67
Kelompok Pemerhati Kekerasan Dalam Rumah-tangga memperingatkan bahwa
ketakutan akan pembalasan dan kegagalan pihak yang berwajib untuk memahami
permasalahan ini benar-benar berarti bahwa mayoritas korban merasa terlalu takut
untuk mencari pertolongan. Pihak otoritas Inggris membawa pulang 3 gadis dari
Pakistan; mereka adalah korban nikah paksa, tapi diakui bahwa persoalan ini
hanyalah merupakan puncak dari gunung es. Unit Nikah Paksa Pemerintah (FMU)
menangani sekitar 400 kasus pada tahun 2007, dan bukan hanya wanita yang
terkena dampaknya, 15% dari kasus-kasus yang ada juga mencakup pria dan
anak-anak laki-laki.139
Pendidikan
Banyak gadis muda Muslim yang ingin melanjutkan pendidikan atau mengambil
semacam pelatihan/kursus, tetapi ada yang terpaksa meninggalkan sekolah pada
usia 16 tahun. Ada pula yang tetap mengambil kursus. Seorang gadis yang saya
temui mengambil kursus menata rambut, yang lainnya telah meneyelesaikan
kursus bisnis selama setahun, dan yang lainnya 2 tahun kursus komunitas. Ketiga
gadis ini telah bekerja hingga mereka menikah, dan terus bekerja setelah menikah,
hingga suami mereka tiba di Inggris, yang biasanya lama mereka bekerja adalah
18 bulan hingga 2 tahun. Mereka diwajibkan bekerja selama periode ini oleh pihak
imigrasi, untuk menunjukkan bahwa mereka mempunyai penghasilan. Mereka dan
para gadis lainnya cocok dengan pola orang-tua yang berasal dari latar-belakang
pedesaan yang mengeluarkan anak gadis mereka dari sekolah pada usia 16
tahun. Tujuannya agar mereka tinggal di rumah atau bekerja hingga mereka
menikah. Suami-suami bagi mereka dicarikan di negara asal mereka. Setelah
mereka menikah atau setelah para suami mereka tiba di negara tempat mereka
berdiam maka mereka harus tinggal di rumah. Ketika saya berjumpa dengan
ketiga gadis ini mereka sedang menganggur dan sangat ingin bekerja.
Namun demikian, seorang gadis yang saya temui dari kelompok sosio-ekonomi ini
telah berhasil melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Yang lainnya sangat
ingin mengikuti jejaknya. Gadis-gadis dari latar-belakang kelas menengah
biasanya tidak mengikuti semacam kursus atau pendidikan lanjutan. Namun
demikian tidak lazim bagi seorang gadis untuk masuk perguruan tinggi, tapi akan
mengambil kursus yang memungkinkannya untuk tinggal di rumah. Jika ia harus
keluar rumah, dalam banyak kasus ia akan tinggal di rumah kerabatnya.
139 Ibid.
68
Menjalani kehidupan ganda
Orang-orang muda yang saya ajak bicara mengatakan bahwa banyak gadis
Muslim yang melanjutkan pendidikan melakukannya karena alasan khusus seperti
untuk mendapatkan lebih banyak kebebasan. Mereka memandangnya sebagai
satu-satunya masa dalam hidup mereka dimana mereka dapat melakukan apa
yang mereka sukai. Mereka dapat pergi ke universitas dengan mengenakan jilbab
dan pakaian Muslim dan menanggalkannya sesampainya mereka di kampus.
Biasanya mereka mengenakan pakaian Barat daripada pakaian tradisional.
Banyak yang menjalani kehidupan ganda. Di siang hari kehidupan kampus, dan
mendatangi salah satu bar mahasiswa di malam hari dengan mengenakan gaun
seksi. Disana mereka berpesta sampai pagi, minum alkohol, merokok, dan
bereksperimen dengan gaya hidup mahasiswa Inggris. Ketika mereka pulang ke
rumah mereka kembali menjadi gadis-gadis yang berbakti. Hidup yang pahitmanis.
Ketika mereka lulus, mereka kembali ke rumah orang-tua mereka dan
menjalani kehidupan sebagai “gadis baik-baik”, terkungkung dalam komunitas
dimana minum, merokok, dan mempunyai teman pria dipandang sebagai dosa.
Seorang gadis mengatakan “selama masa kuliahnya di perguruan tinggi ia telah
melakukan semua yang dilarang oleh agamanya”.140
Dengan semakin banyaknya wanita Muslim yang melanjutkan pendidikan,
kehidupan ganda ini menjadi suatu fenomena sosial yang tersembunyi. Banyak
dari wanita-wanita ini yang percaya bahwa mereka adalah bagian dari suatu
generasi “limbo” (terlantar), yang tidak tahu harus berbuat apa dan tidak dapat
mengendalikan keadaan. Tidak puas dengan hidup tanpa pendidikan, dan sikap
tunduk dan melayani yang ditunjukkan oleh para ibu mereka, membuat mereka
mencari cara untuk menyeimbangkan keyakinan-keyakinan religius dan budaya
turun temurun mereka dengan masyarakat Barat. Ada yang mengenangkannya
dan beranggapan bahwa itu adalah pengalaman yang menyenangkan, dan tidak
melihatnya sebagai hal yang kontradiktif karena “meliburkan diri” selama beberapa
tahun dari tradisi untuk dapat melakukan apa yang dilakukan teman-teman sebaya
mereka, sementara yang lainnya bergumul karena menjalani sebuah kehidupan
ganda. Beberapa wanita muda yang telah menyelesaikan pendidikan di perguruan
tinggi berhasil menyingkirkan “dahaga akan kebebasan” ini keluar dari sistem
hidup mereka dan menenangkan diri dalam kehidupan berumah-tangga. Yang
lainnya tidak pernah dapat mengikhlaskan kehidupan baru mereka. Dan ironisnya
para wanita ini hanya mencicipi apa yang telah dilakukan saudara-saudara laki-laki
mereka selama bertahun-tahun. Ini sudah seperti semacam aturan main yang
sudah lazim terjadi: pria masuk perguruan tinggi dan menjalani tahun-tahun yang
menyenangkan disana sebelum kembali ke rumah dan hidup tenang dengan
seorang gadis Muslim yang baik. Seorang wanita mengatakan bahwa ia menangis
140 Claire Coleman, “A Degree of Duplicity”, Daily Mail, April 11, 2005, p.46-47.
69
selama sebulan ketika masa kuliahnya berakhir dan ia akan dinikahkan dalam
setahun ini. Tiga tahun setelah meninggalkan universitas ia masih tinggal bersama
orang-tuanya dan bekerja.141
Kehidupan ganda sangat memberatkan beberapa gadis Muslim, dan mereka
hampir-hampir dikuasai perasaan bersalah dan paranoia. Ada yang mengalami
depresi berat. Mereka merasakan adanya kegelisahan oleh karena dibentengi dan
terlalu dijaga sehingga hal ini mendorong gadis-gadis ini untuk coba-coba
menjalani sisi hidup yang lain. Namun satu hal yang tetap dipertahankan para
wanita ini yaitu mereka akan tetap merahasiakan masa-masa liar mereka di
universitas dari para suami mereka.142
Ketegangan-ketegangan karena mengenakan pakaian Barat
Semua gadis yang saya wawancarai mengenakan pakaian Barat, dan mengatakan
bahwa mereka mengenakan pakaian Barat untuk pergi ke sekolah dan ketika
mereka jalan-jalan dengan para sahabat mereka. Separoh dari wanita-wanita yang
lebih tua juga mengenakan pakaian Barat. Pada kenyataannya cara berpakaian
gadis-gadis Muslim sama dengan teman-teman Barat mereka, kecuali pakaian
mereka banyak kali dibeli di toko-toko Asia yang menunjukkan adanya
kontekstualisasi terhadap budaya anak muda Muslim Asia, sebagai contoh rok jins
semata kaki dan kemeja berlengan panjang. Mereka hanya memakai pakaian
tradisional mereka ketika mereka bersilahturahmi dengan keluarga mereka atau
pada acara-acara spesial.
Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh orang muda Muslim di Inggris, ada
beragam jawaban atas pertanyaan “salahkah jika gadis-gadis Muslim mengenakan
pakaian Barat?”. Orang muda tidak terlalu mempermasalahkan hal ini ketimbang
para orang-tua.143 Pertanyaan mengenai pakaian dianggap relevan dengan
agama. Generasi yang lebih tua tidak dapat menerima cara berpakaian Barat dan
beranggapan bahwa kondisi-kondisi budaya Muslim tidak mengijinkan untuk
mengenakan pakaian Barat.
Karir dan wanita Muslim
Riset dilakukan terhadap tujuan karir para wanita Muslim sejak 1995-1998 oleh
Profesor Marie Parker Jenkins dari University of Derby, yang meneliti pengalaman-
141 Ibid.
142 Ibid.
143 Muhammad Anwar, Young Muslims in Britain (Leicester: The Islamic Foundation, 1994), p.33.
70
pengalaman mereka semasa sekolah dan setelah menyelesaikan pendidikan,
latar-belakang keluarga, sikap umum terhadap pekerjaan dan motivasi diri serta
perang mereka yang berdampak pada kesempatan-kesempatan mereka untuk
berkarir. Laporannya mengklaim bahwa para wanita Muslim dua kali lebih sulit
untuk berhasil mencapai tujuan-tujuan karir mereka oleh karena “kekerasan” dari
perguruan tinggi, diskriminasi di tempat kerja dan mengalami pergumulanpergumulan
dalam komunitas mereka sendiri.144
Semua gadis dan wanita muda yang saya wawancarai yang berusia di bawah 30
tahun ingin bekerja, dan ada yang ingin mempunyai karir yang serius. Namun
demikian mereka mengatakan bahwa mereka mengalami banyak halangan untuk
sampai kesana. Salah satu halangan terbesar adalah suami yang berasal dari luar
negeri, yang menganut nilai-nilai budaya tradisional konservatif. Seorang gadis
telah bekerja sebagai resepsionis dokter dan kini tengah mencari pekerjaan yang
sama, namun ia hanya mendapatkannya dengan gaji yang rendah. Ia harus
mencari pekerjaan yang lain. Kesulitannya bertambah karena ia harus mencari
tempat penitipan anak untuk putrinya yang berusia 2 tahun. Ia tidak ingin ibunya
mengurus anaknya sementara ia bekerja karena ia takut putrinya akan lebih dekat
pada ibunya daripada dekat dengannya.
Gadis-gadis Muslim menghadapi banyak tekanan dari keluarga dekat mereka,
yang seringkali tidak mau mendukung aspirasi karir mereka karena takut akan
anggapan kelompok masyarakat yang lebih luas. Hal ini menyebabkan rasa
frustrasi yang besar di kalangan para gadis Muslim yang memiliki aspirasi karir,
tetapi orang-tuanya mengatakan bahwa hal itu tidak dapat diterima dalam
komunitas mereka. Akhirnya mereka tiba pada kesimpulan bahwa tidak ada
gunanya berdebat, karena jika engkau memberontak maka engkau akan
dibuang.145
Laporan survey itu juga mengatakan bahwa perubahan sikap orang-tua dapat
terlihat pada gadis-gadis yang bekerja. Perubahan sikap ini kemungkinan besar
oleh karena adanya kesadaran para orang-tua Muslim bahwa pendidikan itu
penting untuk kehidupan, dan bahwa semakin banyak pria Muslim yang mencari
pasangan yang berpendidikan.146
Agama
Selain 2 gadis dari Arab Saudi, Islam ternyata jauh dari pikiran semua gadis dan
wanita yang saya wawancarai. Wanita tidak diwajibkan untuk pergi ke mesjid, dan
144 Yaqub, “forced to Eat the Forbidden fruit”, p.9.
145 Ibid.
146 Ibid.
71
pada kenyataannya kebanyakan mesjid hanya menyediakan sedikit tempat untuk
mereka. Wanita dihimbau untuk bersembahyang di rumah saja. Namun tak
satupun wanita dan gadis Muslim yang saya wawancarai bersembahyang di
rumah. Seorang ibu muda mengatakan pada saya bahwa putrinya yang berusia 2
tahun tidak akan tahu apa-apa mengenai Islam karena ia sendiri juga tidak tahu
apa-apa. Ia mengatakan bahwa ia tidak pernah bersekolah di madrasah karena
tidak ada madrasah di daerah tempat tinggalnya.
Situasi inilah yang mengubah banyak wanita dan gadis, yang akan kita diskusikan
dalam bab 7.
Keluarga besar
Banyak orang muda Muslim yang ingin memiliki keluarga yang kecil ketika mereka
menikah dan bukan keluarga yang besar. Mereka ingin mandiri, namun tidak apaapa
jika orang-tua mereka tinggal tidak jauh dari mereka, agar mereka dapat
menolong mengasuh anak-anak.
Ada bukti bahwa sistem keluarga besar akan menjadi semakin lemah di masa
yang akan datang. Dalam sebuah survey dikatakan bahwa 58% orang muda
Muslim setuju dengan pernyataan “Jika aku mempunyai rumahku sendiri, aku lebih
suka jika yang tinggal disana adalah pasanganku dan anak-anakku saja”. Alasan
utama memiliki keluarga kecil adalah privasi, kemandirian dan memiliki rumah
sendiri.147
Generasi wanita Muslim yang lebih tua
Konsensus para wanita yang saya wawancarai adalah bahwa di Inggris mereka
memiliki lebih banyak kebebasan untuk bergerak daripada di negara asal mereka;
disana mereka harus didampingi pria jika mereka akan keluar rumah. Di Inggris
mereka dapat keluar rumah sesuka mereka pada siang hari, sementara para
suami mereka sedang bekerja. Dua dari wanita Muslim yang lebih tua
menyebutkan bahwa beberapa wanita Muslim bahkan mempunyai teman-teman
pria yang mengunjungi mereka.
Dari semua wanita yang lebih tua yang saya kunjungi, tidak satupun yang bekerja
di luar rumah setelah mereka menikah. Tetapi mereka mengatakan pada saya
bahwa lebih banyak wanita dari kelompok umur yang sedikit lebih tua mulai
bekerja di luar rumah dan mengenakan pakaian Barat. Mereka mengatakan bahwa
para suami merasa di bawah tekanan ketika mereka merasa istri mereka sudah
mulai kebarat-baratan, dan ini akan mengakibatkan pertengkaran dalam keluarga.
147 Anwar, Young Muslims, p.25
72
Saya terkejut mendapati bahwa separoh dari wanita-wanita yang lebih tua yang
saya kunjungi mengenakan pakaian Barat – celana panjang dan atasan – selama
wawancara itu, dan bukannya pakaian tradisional mereka. Ini tidak lazim di
negara-negara asal mereka.
Tidak satupun dari para wanita itu yang berkomentar mengenai kekerasan dalam
rumah-tangga mereka. Para wanita yang lebih muda yang belum menikah
mengatakan bahwa mereka sangat prihatin mengenai hal itu. Wanita Kristen yang
berwenang mengurus pengungsi di East London mengatakan pada saya
berdasarkan pengalamannya bahwa kekerasan rumah tangga lazim terjadi di
keluarga-keluarga Muslim.
Sunat perempuan
Praktek sunat perempuan biasa dilakukan dalam komunitas Muslim di berbagai
belahan dunia. Beberapa pemimpin Muslim telah mengutuk praktek ini sebagai
tidak islami dan terkait budaya, namun banyak komunitas melihatnya sebagai
diperintahkan oleh Islam karena penting untuk menjaga kesucian seorang wanita
dan kehormatan keluarga. Diperkirakan ada 7000 gadis di Inggris beresiko
menjalani prosedur ini kapan saja. Hukum dihindari oleh para keluarga dengan
cara membawa gadis-gadis itu ke luar negeri untuk berlibur dan mereka disunat di
luar Inggris. Di Inggris, Home Office baru-baru ini memperkenalkan perundangan
baru dimana orang-tua yang membawa putrinya ke luar negeri untuk disunat akan
dipenjarakan selama 14 tahun.148
148 “Tougher Penalties for Genital Mutilation”, The Guardian, March 3, 2004.
SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259
ReplyDelete