Quran memang menyarankan pemakaian purdah. Namun itu tidak berarti bahwa kaum wanita harus menaatinya.
Ibu saya mengenakan purdah. Ia memakai burqa dengan cadar jaring di wajahnya. Itu mengingatkan saya akan penyimpanan daging di rumah nenek saya. Ada yang dengan pintu jaring yang terbuat dari kain, yang lainnya dari besi. Tetapi tujuannya sama, yaitu: untuk menyimpan daging agar tetap aman. Ibu saya diharuskan memakai burqa oleh keluarganya yang konservatif. Mereka mengatakan padanya bahwa mengenakan burqa berarti menaati Allah. Dan jika anda menaati Allah, Ia akan senang padamu dan tidak akan membiarkanmu dibakar dalam api neraka.
Ibu saya takut pada Allah dan juga pada ayahnya. Ayahnya mengancamnya dengan hukuman yang berat jika ia tidak mau mengenakan burqa. Tidakkah kau merasa gelap gulita di dalamnya? Tidakkah kau susah bernafas? Tidakkah engkau merasa marah? Tidakkah kau merasa ingin membuangnya? Ibu saya hanya pasrah. Ia tidak dapat berbuat apa-apa soal itu. Tapi tidak dengan saya. Ketika saya berusia 16 tahun, saya dihadiahi sebuah burqa oleh salah seorang kerabat saya. Saya membuangnya.
Kebiasaan mengenakan purdah bukanlah hal yang baru. Itu sudah ada sejak 300 SM. Kaum wanita dari kalangan keluarga aristokrat Asyur telah mengenakan purdah. Kaum wanita biasa dan para pelacur tidak diijinkan mengenakan purdah. Pada abad pertengahan, bahkan kaum wanita Anglo-Saxon menggunakannya untuk menutupi rambut dan dagu mereka dan menyembunyikan wajah mereka di balik sehelai kain atau benda yang serupa. Sistem purdah ini jelas bukanlah sesuatu yang bersifat religius. Purdah religius digunakan oleh para biarawati Katolik dan orang Mormon, walaupun orang Mormon hanya menggunakannya selama upacara dan ritual keagamaan.
Namun demikian, bagi kaum wanita Muslim, purdah religius semacam itu tidak dibatasi pada ritual-ritual namun diwajibkan dalam hidup mereka sehari-hari diluar hal-hal yang bersangkutan dengan agama. Beberapa bulan yang lalu, pada puncak kontroversi mengenai purdah, Shabana Azmi mengemukakan bahwa Quran tidak mengatakan apa-apa tentang pemakaian burqa. Ia keliru. Inilah apa yang dikatakan Quran:
“Katakanlah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (Sura Al Noor 24:31)
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang” (Sura Al Hijaab 33: 59).
Bahkan Hadis – kumpulan perkataan Nabi Muhammad, pendapatnya mengenai berbagai hal dan juga mengenai pekerjaannya, yang ditulis oleh orang-orang yang dekat dengannya – secara ekstensif berbicara mengenai purdah bagi kaum wanita. Wanita harus menutupi seluruh tubuh mereka sebelum mereka keluar rumah, mereka tidak boleh pergi dengan pria-pria tidak dikenal, mereka tidak boleh pergi ke mesjid untuk membaca “namaaz”, mereka tidak boleh menghadiri upacara pemakaman.
Ada banyak pandangan tentang mengapa dan bagaimana purdah islami bermula. Salah satunya mengatakan bahwa Nabi Muhammad menjadi sangat miskin setelah menghabiskan seluruh kekayaannya untuk istri pertamanya. Pada waktu itu, di Arab, orang miskin harus pergi ke padang gurun dan dataran-dataran untuk buang hajat dan bahkan memenuhi kebutuhan seksual mereka. Istri-istri Nabi juga melakukan hal itu. Nabi mengatakan kepada mereka bahwa “Aku mengijinkan kamu untuk pergi dan melaksanakan pekerjaan alamiah kamu”. (Hadis Bukhari, vol.I, buku 4, No. 149). Dan inilah yang mulai dilakukan para istrinya.
Suatu hari, murid Nabi Muhammad yang bernama Umar mengeluh padanya bahwa para wanita ini merasa tidak nyaman karena mereka langsung dikenali orang ketika mereka sedang buang hajat. Umar mengusulkan pemakaian penutup tetapi Nabi Muhammad mengabaikannya. Kemudian nabi meminta nasehat Allah dan Ia menurunkan sebuah ayat (33:59) (Hadis Bukhari Buku 026 No. 5397).
Inilah sejarah purdah berdasarkan Hadis. Tapi pertanyaannya adalah: mengingat kaum pria Arab juga buang hajat di tempat terbuka, mengapa Allah juga tidak memerintahkan purdah untuk kaum pria? Jelaslah bahwa Allah tidak memperlakukan kaum pria dan kaum wanita dengan setara, karena jika tidak tentunya pria dan wanita harus mengenakan purdah! Pria lebih tinggi daripada wanita. Jadi wanita diperlakukan seperti penjara berjalan sedangkan pria seperti burung yang terbang dengan bebas.
Pandangan lain mengatakan bahwa purdah diperkenalkan untuk memisahkan kaum wanita dari para pelayan. Ini berasal dari kisah-kisah di dalam Hadis. Sebuah kisah dalam Hadis Bukhari adalah sebagai berikut: Setelah memenangkan perang Khaybar, Nabi Muhammad mengambil semua properti musuh, termasuk para wanitanya. Salah seorang dari kaum wanita itu bernama Safiyah. Salah seorang pengikut Nabi berusaha mencari tahu status Safiyah. Ia berkata: ”Jika besok kamu melihat Safiyah berjalan berkeliling dengan berkerudung, mengenakan purdah, maka ia akan menjadi istri. Jika kamu melihatnya tidak berkerudung, itu artinya aku telah memutuskan untuk menjadikannya pelayanku”.
Pandangan ketiga berasal dari kisah ini. Istri Muhammad yang bernama Aisha adalah seorang wanita yang sangat cantik. Sahabat-sahabat Nabi seringkali terlihat sedang menatapnya dengan kekaguman. Ini jelas merisaukan Nabi. Maka Qur’an mempunyai sebuah ayat yang mengatakan, “Wahai sahabat-sahabat Nabi atau orang-orang suci, janganlah pergi ke rumah sahabatmu tanpa diundang. Dan jikalau kamu pergi, janganlah kamu bertanya apa-apa tentang istrinya.” Sistem purdah ini dibuat untuk menangkal tatapan jahil para sahabat, pengikut atau tama-tamu pria. Pertama-tama itu diterapkan hanya untuk para istri orang-orang suci, dan kemudian meluas kepada semua wanita Muslim. Purdah berarti menutupi seluruh tubuh kecuali mata, pergelangan tangan, dan kaki. Pada masa kini, beberapa wanita menerapkan purdah dengan cara menutupi rambut mereka saja. Bukan itu yang tertulis dalam Hadis Quran. Sebenarnya, hanya menutupi rambut sama sekali bukanlah purdah islami.
Pada masa permulaan Islam, Nabi Muhammad mulai melakukan praktek menutupi kaki wanita. Setelah 100 tahun kematiannya, purdah menyebar di seluruh Timur Tengah. Para wanita ditutupi lapisan pakaian tambahan. Mereka dilarang keluar rumah, atau berada di hadapan kaum pria yang tidak dikenal. Hidup mereka dikekang oleh rejim yang ketat: tinggal di rumah, memasak, membersihkan rumah, melahirkan anak dan membesarkannya. Dengan cara ini, satu bagian masyarakat dipisahkan oleh purdah, dikarantina dan ditutupi.
Mengapa kaum wanita ditutupi? Karena mereka adalah obyek seks. Karena jika kaum pria memandangi mereka, mereka akan terangsang. Mengapa kaum wanita harus dihukum oleh karena permasalahan seksual kaum pria? Bahkan kaum wanita pun mempunyai hasrat seksual. Tetapi kaum pria tidak ditutupi karena hal itu. Dalam agama yang diformulasikan oleh kaum pria, wanita dipandang mempunyai eksistensi terpisah, atau sebagai manusia yang memiliki keinginan dan opini yang berbeda dari pria. Peraturan purdah tidak hanya melecehkan wanita, namun pria juga. Jika wanita bepergian tidak mengenakan purdah, seakan-akan pria akan menatap mereka dengan penuh nafsu, atau menerkam mereka, atau memperkosa mereka. Apakah mereka kehilangan semua akal sehat mereka ketika mereka melihat ada wanita yang tidak mengenakan burqa?
Pertanyaan saya kepada Shabana dan para pendukungnya, yang mengatakan bahwa Quran tidak mengatakan apa-apa mengenai purdah adalah: Jika Quran menasehatkan kaum wanita untuk mengenakan purdah, haruskah mereka melakukannya? Jawaban saya adalah: Tidak. Tidak peduli buku apa yang mengatakannya, siapapun yang menghimbaunya, siapapun yang memerintah-kannya, wanita tidak boleh mengenakan purdah. Tidah usah pakai kerudung, cadar, jilbab, penutup kepala. Wanita tidak boleh mengenakan benda-benda itu karena benda-benda itu adalah alat untuk tidak menghormati wanita. Benda-benda itu adalah simbol penindasan terhadap wanita. Melalui benda-benda itu, kepada wanita dikatakan bahwa mereka hanyalah properti kaum pria, barang untuk dipakai pria. Semua penutup ini digunakan untuk menjaga agar wanita tetap pasif dan tunduk. Wanita dihimbau untuk mengenakannya sehingga mereka tidak dapat eksis dengan respek diri, kehormatan dan keyakinan mereka, tanpa identitas tersendiri, opini sendiri dan cita-cita yang utuh. Maka mereka tidak bisa mandiri dan hidup dengan bermartabat.
Sekitar 1500 tahun yang lalu, oleh karena alasan-alasan pribadi wanita harus mengenakan purdah dan sejak itu jutaan wanita Muslim di seluruh dunia harus menderita karenanya. Banyak kebiasaan lama yang mati dengan sendirinya, namun tidak demikian dengan purdah. Sebaliknya, akhir-akhir ini ada gelombang yang gila untuk membangkitkannya. Menutupi kepala wanita berarti menutupi otaknya dan menjamin agar otaknya itu tidak bekerja. Jika otak wanita bekerja dengan baik, sudah sejak lama mereka membuang kerudung-kerudung dan burqa yang diberlakukan atas mereka oleh sebuah rejim religius dan patriarkhal.
Apa yang harus dilakukan kaum wanita? Mereka harus protes terhadap diskriminasi ini. Mereka harus mengumumkan perang terhadap perlakuan yang salah dan jahat terhadap mereka selama ratusan tahun. Mereka harus merampas kembali kebebasan dan hak mereka dari pria. Mereka harus membuang pakaian lambang diskriminasi ini dan membakar burqa mereka.
Tentang Penulis:
Taslima Nasreen (lahir 25 Agustus 1962, di Mymensingh, Bangladesh) adalah seorang mantan dokter dari Bengali Bangladesh yang menjadi penulis yang telah hidup dalam pengasingan sejak 1994. Dari seorang penulis sederhana di akhir 1980-an, ia bangkit dan terkenal di seluruh dunia di akhir abad ke-20, ia memberikan pandangan-pandangan feminis radikalnya dan kritiknya terhadap Islam secara khusus dan terhadap agama secara umum.
Sejak meninggalkan Bangladesh pada 1994 ia telah tinggal di banyak negara, [1] dan baru-baru ini (Mar 2010) tinggal di Swedia setelah diusir dari India pada 2008 karena ia ditolak oleh ulama Muslim dan menerima ancaman mati dari kaum fundamentalis Islam. Ia bekerja untuk mendukung humanisme sekuler, kebebasan berpikir, kesetaraan bagi wanita dan hak azasi manusia dengan menerbitkan buku, memberi kuliah, dan berkampanye. Namanya, Taslima Nasrin (Bengali: তসলিমা নাসরিন), juga dibaca Taslima Nasreen; ia lebih dikenal dengan “Taslima,” nama depannya, daripada “Nasrin.”
No comments:
Post a Comment