Kisah ini dilaporkan secara detil oleh Tabari. Kisah ini juga dapat ditemui dalam Sirat Ibn Ishaq. Yang berikut ini dilaporkan dalam buku dari Tabaqat yang disusun oleh Ibn Sa’d.
Dua tahun sebelumnya Muhammad telah memancung kepala Huyai, ayahnya Safiyah, beserta 900 pria dari Bani Quraiza.
Huyai Ibn Akhtab, ayah Safiyah, adalah pemimpin Bani Nadir, salah satu suku Yahudi dari Medina. Para pengikut Muhammad telah membunuh sepasang suami istri Arab yang sebelumnya telah menandatangani traktat perdamaian dengan Muhammad. Nabi memutuskan untuk membayar uang darah kepada keluarga korban yang salah dibunuh. Ia lalu pergi ke Bani Nadir untuk meminta kepada mereka agar membayarkan uang darah ini. Permintaan itu sangat aneh, sebab orang-orang Yahudi tak ada sangkut pautnya dengan pembunuhan tersebut. Namun orang-orang Yahudi ini takut kepada Muhammad, karena Muhammad sebelumnya telah menghancurkan suku Yahudi yang lain, yaitu Bani Qainuqah dan oleh karena itu mereka takut hal ini akan terjadi juga kepada mereka.
Orang-orang Yahudi selalu bersikap pengecut hingga hari ini dan mereka telah membayar harga atas sikap pengecut mereka. Kapankah mereka cukup belajar bahwa seseorang tak mungkin senang dengan gangster??? Kapankah mereka akan belajar bahwa mereka harus berperang melawan kelompok orang seperti itu?
Para tua-tua bani Nadir akhirnya mengumpulkan uang yang diminta. Muhammad dan para sahabatnya duduk dibawah sebuah dinding-perteduhan dikawasan Yahudi sambil menanti. Namun, maksud Muhammad sebenarnya adalah untuk menghancurkan Yahudi dan mengambil semua harta yang mereka miliki, dan bukan sekedar uang darah untuk kejahatan dari pengikut-pengikutnya. Muhammad berharap orang Yahudi akan memprotes sehinggga ia justru dapat memakai ini sebagai alasan untuk menyerang mereka.
Setelah duduk-duduk dan menantikan, ia tiba-tiba bangkit dan pergi tanpa mengatakan apa-apa kepada siapapun. Para pengikutnya melihat bahwa ia berjalan terus, maka mereka pun pergi juga. Akhirnya Muhammad mengatakan kepada mereka, bahwa ada malaikat Jibril yang memberitahukan kepadanya, bahwa orang-orang Yahudi sedang merencanakan untuk melemparinya dengan sebuah batu dari atas dinding-perteduhan dan ingin membunuhnya. [Kalau ada peringatan Jibril tentang rencana pembunuhan, mengapa para pengikutnya ditinggalkan diam-diam?]. Ini tentu saja sebuah kebohongan. Kalau Bani Nadir betul-betul ingin membunuhnya, mereka tidak perlu melemparkan batu padanya. Muhammad ada dalam tangan mereka ketika itu. Mereka itu justru takut, dan inilah yang harus mereka bayar dengan nyawa mereka kelak.
Muhammad kemudian menyerang Bani Nadir dan memutuskan aliran air mereka. Ketika mereka menyerah, Muhammad berketetapan untuk membunuh mereka semua. Namun Abdullah Ibn Obay, seorang pemimpin tua Arab Median mengintervensi. Muhammad khawatir hal ini akan menyebabkan perpecahan diantara pengikutnya sehingga ia akhirnya memutuskan tidak membunuh Bani Nadir. Sebagai gantinya ia mengambil semua harta kekayaan dan properti milik bani Nadir serta mengusir mereka.
Maka Bani Nadir pun mengungsi ke Khaibar, yang merupakan benteng orang-orang Yahudi di sebelah Utara Medina. Inilah yang membuat Safiyah tinggal di Khaibar dan menikahi Kinana, pemimpin muda dari kota tersebut. Akan tetapi, ayah Safiyah, Huyai, dipancung lehernya ketika Muhammad menyerang suku Yahudi yang terakhir di Medina, yaitu Bani Quraiza.
Safiyah berumur 17 tahun dan sangat cantik. Ketika Muhammad menyerang Khaibar ia membunuh semua lelaki disana. Orang-orang tidak siap untuk berperang. Mereka diserang secara mendadak. Muhammad bukanlah seorang pahlawan perang terbuka, melainkan seorang teroris yang melakukan penyergapan. Peperangannya disebut gazwah, yaitu sergapan/penyerangan dadakan.
Maka Muhammad pun menangkap Kinana dan menyiksa dia karena Muhammad ingin tahu dimana harta kekayaan kota tersebut disembunyikan. Ia menusukkan batangan besi yang panas pada mata Kinana dan membutakannya. Kinana adalah pemuda ksatria, ia tidak buka mulut.
Seorang Yahudi lain (mungkin nenek moyang-nya Noam Chomsky dan George Soros) telah mengabarkan kepada Muhammad dimana ia dapat menemukan harta kekayaan tersebut. Orang-orang Yahudi selalu memberikan saham kepada para pengkhianat.
Kinana mati dibawah penyiksaan Muhammad. Kemudian Muhammad menanyakan kepada orang-orangnya untuk membawakan kepadanya gadis yang paling cantik. Safiyah adalah yang tercantik berumur 17 tahun, istri dari Kinana. Bilal membawa Kinana dan sepupu perempuan Kinana menghadap Muhammad. Namun ketika sepupu perempuan Kinana ini melihat jenazah saudaranya terpotong-potong, ia pun menjadi histeris. Muhammad kemudian marah besar dan memerintahkan, “Bawa setan perempuan ini pergi dari saya”.
Kemudian ia berkata kepada Bilal, “Tidakkah engkau mempunyai perasaan manusiawi sehingga menjejerkan wanita-wanita di depan jenazah orang yang mereka cintai?” Wah! Betapa hebatnya sang Nabi yang penuh dengan belas-asih dan perasaan manusiawi!?
Selanjutnya ia membawa Safiyah ke tendanya, sebab ia telah menjadi seorang janda. Muhammad mengasihaninya dan memutuskan untuk mengambil ia sebagai istrinya. Tentu saja [Muslim berkilah], fakta ia muda dan cantik tidak ada hubungannya dengan keputusan Nabi. Masih ada beratus-ratus wanita lain yang juga telah menjadi janda pada hari tersebut.
Berikut ini adalah periwayatan Tabaqat.
“Safiyah dilahirkan di Medina. Ia berasal dari suku Yahudi Banu I-Nadir. Ketika suku ini diusir dari Medina tahun 4 AH, Huyai adalah salah satu dari orang-orang yang menetap di wilayah subur Khaibar bersama Kinana Ibn al-Rabi’ yang menikahi Safiyah sesaat sebelum Muslim menyerang Khaibar. Ia berumur 17 tahun. Sebelumnya ia adalah istri dari Sallam Ibn Mishkam yang menceraikannya. Disinilah, satu mil dari Khaibar, Nabi menikahi Safiyah. Dia dipelihara dan dirawat untuk Nabi oleh Umm Sulaim, ibu dari Anas Ibn Malik. Mereka menginap disana. Abu Ayyub al-Ansari menjaga tenda Nabi sepanjang malam. Pada saat subuh, Nabi yang melihat Abu Ayyub berjalan hilir mudik itupun bertanya kepadanya apa maksudnya, dan ia menjawab: “Saya khawatir akan engkau karena perempuan muda itu. Engkau telah membunuh ayahnya, suaminya, dan banyak dari keluarganya, dan dia juga masih seorang kafir. Saya sungguh khawatir terjadi apa-apa karena dia. Nabipun mendoakan Abu Ayyub al-Ansari (Ibn Hisham, p.766). Safiyah telah meminta kepada Nabi untuk menunggu hingga ia telah lebih menjauh dari Khaibar. “Kenapa?” tanya Nabi. “Saya mengkhawatirkan engkau karena orang-orang Yahudi yang masih dekat dengan Khaibar!”
Alasan Safiyah menolak pendekatan seksual Muhammad tentu saja jelas bagi setiap orang yang berpikir. Saya percaya, praktis semua wanita memilih untuk berkabung ketimbang melompat ke dalam ranjang – bercengkerama dengan si pembunuh dari ayahnya, dan pembunuh suami dan banyak anggota keluarganya, pada hari yang sama.
Tetapi kenyataannya Nabi Allah ini tak dapat menahan desakan nafsu seksualnya untuk satu hari saja dengan membiarkan perempuan muda ini untuk berkabung. Ini semua menggambarkan karakter moral Muhammad. Ia adalah seorang psikopat tanpa hati nurani dan empati.
Untuk kelanjutan kisah ini kita tidak tahu persis apakah benar atau telah direkayasa oleh ahli sejarah Muslim yang ingin mengosongkan adanya kesan pemaksaan perkosaan. Tetapi ini adalah semua yang kita punyai, dan untuk menemukan kebenaran kita hanya bisa bergantung pada dokumen-dokumen yang terlihat bias (ter-plintir) ini, yang dilaporkan dan ditulis sepihak oleh orang-orang Muslim.
Kisah selanjutnya menggambarkan Abu Ayyub yang mengkhawatirkan keselamatan Nabi, karena Nabi telah membunuh ayah, suami dan sejumlah anggota keluarga Safiyah. Hal ini logis. Tentu saja bodoh untuk tidur dengan seorang wanita dimana orang-orang yang dicintai oleh wanita tersebut baru dibunuhnya. Namun tampak bias alasan penolakan Safiyah terhadap pendekatan seksual Muhammad, tampak sekali kurang masuk akal. Ketika Muhammad membawa wanita muda ini ke dalam tendanya, ia telah membunuh banyak orang Yahudi, dan memperbudak orang-orang Yahudi lainnya.
Jikalau masih ada orang Yahudi yang tertinggal, maka mereka mungkin lebih mengkhawatirkan hidup mereka sendiri ketimbang masalah Safiyah apakah ia diperkosa atau tidak. Lagipula wanita ini telah ada di dalam tenda sendirian dengan Muhammad, jadi bagaimana orang-orang Yahudi akan mengetahui kalau-kalau mereka melakukan hubungan seks? Alasan ini kedengarannya bodoh dan tampaknya dipaksakan oleh Muslim untuk mengklaim bahwa Safiyah-lah yang menginginkan hubungan seks dengan Muhammad, dan bila tidak, itu hanya karena Safiyah mengkhawatirkan keselamatan Nabi (jadi bukan karena ada unsur pemaksaan/perkosaan).
Muslim adalah sekelompok orang bodoh tertentu yang mempercayai omong kosong yang paling konyol tanpa berpikir, namun saya percaya ada kelompok lain yang wajar menyadarinya sebagai sebuah kebohongan.
Dikatakan lebih lanjut,
“Hari berikutnya Walima (pesta pernikahan) diselenggarakan atas nama Nabi...”
Harap dicatat bahwa penulis sejarah ini berkata, bahwa pernikahan terjadi satu hari setelah Muhammad sendirian dengan Safiyah dan melakukan hubungan seks dengan dia. Ini tidak mendatangkan persoalan kepada Nabi, karena ia telah mendapatkan wahyu Allah yang mengatakan bahwa tidur dengan wanita yang ditangkap dari peperangan adalah baik-baik saja tanpa usah menikahi mereka, sekalipun mereka telah bersuami tadinya.
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki… “ (Surat 4:24)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Muhammad tidak berpendapat bahwa para budak mempunyai hak-hak apapun. Ketika Muslim berkuasa, ini akan menjadi nasib bagi semua wanita non-Muslim. Muslim tidak dapat mengubah sedikitpun apa yang telah dikatakan atau dikerjakan oleh Muhammad. Dan ini telah dikonfirmasikan di tempat-tempat lainnya:
1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
2. (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya,
3. dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,
4. dan orang-orang yang menunaikan zakat,
5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Surat 23:1-7).
Marilah kita meneruskan kisah Safiyah. Dikatakan,
“Para istri Nabi lainnya menunjukkan cemburunya dengan melakukan pelecehan terhadap keyahudiannya. Namun Nabi selalu membelanya. Suatu kali Safiyah dilukai dengan olok-olokan dari istri-istri Nabi yang Arab itu secara melampaui batas. Maka iapun (Safiyah) mengeluhkan hal tersebut kepada Nabi yang merasa sangat mengasihinya. Ia menghiburnya. Ia membesarkan hatinya. Ia memberi pikiran logis kepadanya. Ia berkata: “Safiyah, bersikap teguh dan beranilah. Mereka tidak memiliki apapun yang melebihi engkau. Katakan kepada mereka: “Aku adalah anak putri Nabi Harun, keponakan Nabi Musa, dan istri dari Nabi Muhammad…”
Ketika ia dibawa bersama dengan para tahanan perang lainnya, Nabi berkata kepadanya,
“Safiyah, ayahmu selalu membenci aku hingga Allah menetapkan keputusan terakhir.”
Ia menjawab, “Tetapi Allah tidak menghukum seseorang atas dosa orang lain.”
Hal ini (apa yang dikatakan Nabi) jelas berlawanan dengan perilaku Muhammad sendiri yang sudah menghancurkan seluruh Bani Qainuqa dengan alasan bahwa beberapa diantara mereka telah membunuh seorang Muslim ketika mereka membela dengan membalaskan kematian seorang Yahudi. Muhammad membinasakan seluruh anggota suku itu, ketika membalas kematian satu orang Muslim! Padahal Muslim tersebut telah terlebih dahulu membunuh seorang Yahudi, namun itu tidak dianggap/diperhitungkan oleh Muhammad. Ia membutuhkan sebuah alasan demi mendapatkan harta-kekayaan mereka.
Ini sungguh mengabaikan ayat yang berkata: “bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (Surat 53:38). Jadi jelas bukan Allah yang membuat keputusan akhirnya. Maka tampak betapa orang yang satu ini mencuci tangannya terhadap kejahatannya sendiri. Ayah Safiyah dibunuh oleh Muhammad, bukan Allah [tetapi Muhammad memplintirkannya seolah Allah-lah yang memutuskan]. Jikalau Allah mengingini membunuh seluruh orang-orang tersebut, Ia tentu telah melakukannya dengan cara-Nnya sendiri. Allah tidak memerlukan pembunuh bayaran (yang merampas harta) untuk melaksanakan kehendakNya.
Dikatakan lebih lanjut,
“Kemudian Nabi memberinya kebebasan untuk memilih apakah Safiyah mau tetap bergabung dengan kaumnya, ataukah menerima Islam dan masuk dalam hubungan pernikahan dengan dia”.
Memberinya kebebasan? Kebebasan macam apakah itu?
Muhammad telah membunuh suaminya dan semua anggota keluarganya. Kemanakah ia harus pergi sekarang? Melebur dengan orang-orang dari kaumnya? Orang-orang manakah itu? Orangnya praktis telah terbunuh dan wanita-wanitanya telah ditawan dan jadi budak.
“Dia sangat pintar dan lembut hati dan berkata: “ O Rasul Allah, aku telah berharap akan Islam, dan aku telah menegaskan sebelum undanganmu. Kini ketika aku mendapat kehormatan berada dihadapanmu, dan diberi kebebasan untuk memilih diantara kafir dan Islam, maka aku bersumpah demi Allah, bahwa Allah dan Rasul-Nya adalah lebih berharga kepadaku ketimbang kebebasan diriku dan bagaimana aku sebelumnya bergabung dengan kaumku.”
Apakah ini sebuah pengakuan, yaitu pengakuan yang jujur? Apakah ia bebas dan aman mengutarakan pikirannya? Ia ditawan oleh seorang lelaki yang telah menghabisi keluarganya. Sesungguhnya ini menunjukkan dengan jelas betapa ia tidak bebas berulah. Ia mungkin saja sangat pintar menyiasati sebuah dusta demi menyelamatkan dirinya, tetapi lebih mungkin lagi kisah ini telah dikarang untuk menceritakan sebuah dusta tersendiri!
Ketika Safiyah menikah, ia masih sangat muda, dan menurut sebuah laporan ia hampir berumur 17 tahun dan berperawakan amat sangat cantik. Ada satu kali Aisyah berkata tentang kekurangannya (mencela), untuk mana Nabi berkata, “Engkau telah mengatakan sesuatu yang apabila itu dimasukkan ke dalam laut, maka hal itu akan melebur bersama air laut itu (dan mengeruhkan airnya).” (Abu Dawud)
Ia tidak hanya sangat dalam mencintai Nabi, tetapi juga sangat besar rasa hormatnya kepadanya sebagai Rasul Allah. Sebab ia telah mendengar apa yang dikatakan oleh ayah dan pamannya ketika mereka pergi ke Medinah. Ketika hijrah ke Medinah mereka datang bertemu dengan dia untuk mengetahui apakah dia betul Rasul Allah yang sejati seperti yang disampaikan oleh Alkitab. Ketika mereka pulang dan berbicara bersama malam itu, Safiyah ada ditempat tidurnya dan mendengar pembicaraan mereka. Salah satunya berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang dia?” Ia menjawab, “Ia adalah Nabi yang sama yang dinubuatkan oleh Alkitab kita.” Lalu berkata yang lain, “Apa yang harus dilakukan?” Dan jawabannya adalah bahwa mereka harus melawannya dengan segala kekuatan.”
Kisah ini, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, apakah dapat dipercayai? Bagaimanakah caranya kedua orang Yahudi biasa itu mengenal Muhammad sebagai nabi yang dinubuatkan oleh Kitab Suci, lalu (kok malah) memutuskan untuk melawannya dengan segala kekuatan mereka? (Semestinya bila mereka tahu itu nabi yang dikisahkan Musa, mereka justru akan mendukungnya!). Jadi semuanya adalah kontra logika. Hanya orang Muslim yang “tekor-intelektuil” yang akan percaya akan kisah nonsense ini.
Dikatakan, dia sangat mencintai Muhammad yang adalah pembunuh ayah dan suaminya? Betapa naifnya Muslim dapat mempercayai periwayatan ini? Bagaimana seorang gadis muda cantik berumur 17 tahun dapat segera mencintai seorang tua bangka yang giginya ompong dan badannya berbau? Bacalah buku saya ”Understanding Muhammad” untuk mengetahui betapa postur Muhammad cacat dan berbau. Kita curiga bahwa kata-kata tersebut berasal dari Safiyah, dan andaikata itu benar, orang akan mencium hal itu sebagai kebohongan Safiyah dalam usahanya untuk mencari keselamatan diri. Kita hanya memerlukan otak yang aktif untuk mendapati kebohongan Muslim.
Kenapa seseorang sampai perlu mati-matian melawan seseorang lainnya yang diketahuinya sebagai nabi yang dijanjikan dalam Alkitab? Dan dimana Muhammad dijanjikan dalam Alkitab? Adakah Muhammad disebut dalam Alkitab? (Is Muhammad mentioned in the Bible?) Baca artikel ini untuk melihat dusta yang menyedihkan seperti itu. Muhammad tidak disebut di dalam Alkitab maupun di dalam kitab sakral manapun.
“Maka Safiyah pun yakin akan kebenaran sang Nabi. Ia tak lelah-lelahnya mengurus dan merawat dia (Muhammad), serta memberikan semua kenyamanan yang dapat diupayakannya. Ini terlihat sejak ia menjadi bagian dalam kehidupannya (Muhammad) setelah jatuhnya Khaibar.”
Lihat betapa penulis menyangkal dirinya sendiri dalam satu halaman yang sama? Hanya beberapa baris sebelumnya kita membaca bahwa Safiyah ditawan dan dibawa kepada Muhammad sebagai tawanan, bukan atas kemauannya sendiri. Ia dibawa kepada Muhammad sebab ia muda dan cantik.
“Nabi sedikit kecewa kepadanya karena ia pada awalnya (dalam perjalanan) telah menolak Nabi ketika ingin menggaulinya (hubungan seks). Pada perhentian perjalanan berikutnya, Nabi menggaulinya hingga sepanjang malam. Ketika ia (Safiyah) ditanyai oleh Umm Sulaim, “Apa yang engkau lihat pada diri Rasul Allah?” Ia berkata bahwa dia (Muhammad) sangat senang terhadapnya dan tidak tidur melainkan bercakap-cakap sepanjang nalam. Dia (Muhammad) bertanya kepadanya, “Mengapa engkau menolak ketika aku mau menggaulimu pertama kalinya?” Ia menjawab, ‘Aku mengkhawatirkan engkau sebab tempatnya dekat dengan Yahudi’. “Hal ini meningkatkan nilaiku lebih lanjut dimatanya.” (Tabaqat)
Bukhari juga telah mencatatkan beberapa Hadits yang menceritakan tentang invasi Khaibar dan bagaimana kisah Muhammad bertemu dengan Safiyah.
Diriwayatkan ‘Abdul’ Aziz:
Anas berkata, “Ketika Rasul Allah menginvasi Khaibar, kami melakukan shalat Subuh disana ketika hari masih gelap... Ketika ia memasuki kota, ia berseru, “Allahu Akbar! Khaibar diruntuhkan… Kami menaklukkan Khaibar, menawan tawanan, dan barang jarahan dikumpulkan. Dihya datang dan berkata, ‘O Rasul Allah! Berilah aku seorang budak perempuan diantara tawanan’. Nabi berkata, ‘Pergi dan ambillah budak perempuan yang mana saja’. Iapun mengambil Safiya binti Huyai. (Tetapi) Seseorang datang kepada Nabi dan berkata, ‘O Rasul Allah! Engkau memberikan Safiya binti Huyai kepada Dihya, padahal ia (Safiya) adalah perempuan paling terkemuka dari suku Quraiza dan An-Nadir dan ia hanya pantas untuk engkau saja’. Maka Nabi berkata, ‘Bawa ia (Dihya) bersama dia (Safiya)’. Maka keduanya menghadap dan ketika Nabi melihat Safiya, iapun berkata kepada Dihya, ‘Ambillah gadis budak mana saja dari para tawanan selain dia’. Anas menambahkan: Nabi membebaskan perbudakannya dan mengawininya.” [Nabi menelan janji pertama, dan menggantikannya dengan janji kedua, ketika tersilau dan bernafsu dengan kecantikan Safiyah. Contoh moral surgawi!].
Thabit bertanya kepada Anas, “O Abu Hamza! Apa yang Nabi bayarkan kepadanya (Safiya) (sebagai mahar)? Ia menjawab, “Dirinya sendiri adalah maharnya sebab dia (Muhammad) telah membebaskannya dari perbudakan dan kemudian mengawininya.” Anas menambahkan, “Ketika dalam perjalanan, Um Sulaim mendandaninya untuk upacara perkawinan dan pada malamnya dia mengirimnya sebagai pengantin perempuan untuk Nabi”. (Sahih Bukhari 1.367)
Mahar adalah “emas kawin” yang diperoleh pengantin perempuan dari pihak suaminya tatkala ia mengawininya. Muhammad tidak membayar mahar kepada Safiyah, sebab ia (Muhammad) harus membayarkan kepada dirinya sendiri untuk memerdekakan Safiyah. Kisah ini adalah luar biasa, sebab ini memberi pencerahan kepada kita tentang nilai-nilai moral dan etika dari Muhammad dan para pengikutnya yang keblinger. Muhammad adalah seorang psikopat. Namun Muslim tidak mempunyai rasa malu. Muslim meng-idola-kan seorang psikopat dan menginginkan kita juga untuk menghormati mereka. Apakah ke-tolol-an ini layak atas sebuah penghormatan? Dengan mengikuti orang yang tidak waras semua orang akan bertindak tidak waras.
Setiap orang yang terhormat atau orang normal jijik mendengar kisah semacam ini, namun Muhammad mengajarkan bahwa ia akan memperoleh 2 pahala dengan mengawini Safiyah. Satu adalah untuk memerdekakan seseorang yang sesungguhnya ia tawani sendiri, dan kedua adalah mengambilnya untuk menikahinya.
“Abu Musa melaporkan bahwa Rasul Allah berkata tentang seseorang yang memerdekakan seorang wanita budak, dan kemudian menikahinya, bahwa baginya tersedia 2 pahala.” (Sahih Muslim Book 008, Number 3327)
[Sayangnya tidak disebutkan bahwa yang mengawininya adalah pembunuh ayah, suami, dan famili dari si wanita budak yang dikawini. Dan wanita budak tersebut adalah budak yang terjadi karena ulah dari yang akan mengawininya!]
Tidakkah ini menjijikkan? Buanglah ke-tolol-an “yang terhormat” dan berkelit-kelit ini dan namakanlah hitam adalah hitam. Muslim adalah sekelompok moron. Bagaimana mungkin bisa demikian konyol?
Diriwayatkan oleh Anas:
Nabi melakukan sholat subuh dekat Khaibar tatkala hari masih gelap dan ia berkata, “Allahu Akbar” Khaibar dihancurkan, sebab ketika kami menghadapi bangsa (lawan yang diperangi), maka kejahatan akan menjadi pagi hari bagi mereka yang telah diperingati.”
Maka penduduk Khaibar lari keluar ke jalan-jalan. Sang Nabi telah membunuh pahlawan-pahlawan mereka, keturunan mereka, dan wanita yang ditawan sebagai tawanan. Safiyah adalah salah satu diantara tawanan. Dia pertama-tama diambil untuk menjadi milik Dahya Alkali, namun kemudian ia menjadi milik Nabi. Nabi memerdekakan dia sebagai maharnya. (Sahih Bukhari V.5 B.59 N.512)
Sumber: http://indonesian.alisina.org/?page_id=359
No comments:
Post a Comment