Sebelum saya memasuki topik ini, fakta-fakta berikut harus terlebih dahulu diutarakan. Muhamad mengatakan: “Aku hanya manusia biasa seperti kamu.”1
Al-Qur’an menyatakan bahwa Muhammad hanya seorang rasul, walaupun kaum Muslim menganggap dia sebagai seorang nabi agung. Namun dia dianggap seperti orang yang hidup dan mati sama seperti orang lain. Dengan kata lain, Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad tidak memberikannya karakteristik khusus, yang membedakan dirinya dengan manusia lain. Namun sangat aneh dan bertolak belakang, bahwa tiba-tiba Al-Qur’an memang membedakan diri Muhammad, dengan memberikannya lebih banyak hak keistimewaan dan sedikit kewajiban.
Sebagai contoh, Al-Qur’an memberikan kaum Muslim hak untuk menikahi maksimum empat orang istri. Namun Al-Qur’an menyatakan:
“Wahai, Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. Supaya tidak menjadi kesempitan bagimu”2
Allah tidak cukup puas dengan hanya memberikan Muhammad banyak istri, dia juga memberikannya carte blanche (kewenangan penuh) untuk melakukan apapun yang dia inginkan dalam soal kawin-mawin ini. Allah tidak membatasi jumlah wanita yang boleh dinikahinya, sebagaimana yang dia perintahkan ke kaum Muslim lainnya. Namun, dia memberikan dirinya sendiri hak untuk mengambil wanita manapun yang diinginkannya, bahkan yang telah menikah, iapun masih memaksa si suami untuk meceraikan istrinya, ketika sang nabi menginginkan si wanita tersebut.
Salah satu ulama Muslim yang terkenal, Burhan El-Deen Al-Halabi, membahas hak-hak khusus dari Muhammad dalam bukunya yang terkenal, Al-Sira Al-Halabia. Al-Halabi mengatakan:
“Jika Muhammad menginginkan wanita yang belum menikah, dia mempunyai hak untuk memasukinya (menikahinya) tanpa upacara pernikahan dan tanpa saksi atau wali. Persetujuan wanita itu juga tidak diperlukan. Namun, jika wanita tersebut sudah menikah dan Muhammad menunjukkan keinginannya terhadap dirinya, adalah sebuah keharusan bagi suaminya untuk menceraikannya, agar Muhammad dapat menikahinya. Muhammad juga mempunyai hak untuk memberikan wanita yang dinikahinya itu kepada lelaki manapun yang ia pilih, tanpa persetujuan wanita tersebut. Dia bahkan juga dapat menikah pada musim lebaran, sebagaimana yang dia lakukan dengan Maimunah. Dia juga mempunyai hak untuk memilih dari para tawanan, siapapun yang dia inginkan, sebelum pembagian hasil jarahan perang.”3
“Muhammad mengatakan bahwa dirinya adalah manusia biasa, demikian pula Al-Qur’an.” Lantas, bagaimana ia kemudian memberikan dirinya sendiri HAK yang begitu berlebihan? Sangat jauh dari perilaku Tuhan untuk menerima ketidak-adilan seperti itu, atau untuk menyetujui penghinaan seperti ini. Mungkinkah itu perilaku dari sang nabi besar penutup segala nabi? Namun ada Nabi lain (Isa Al-Masih) yang banyak disebut-sebut oleh Muhammad dalam Al-Qur’an justru menyatakan dalam ajarannya: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Matius 5:28) Bagaimana Anda melihat perbedaan yang luar biasa ini?!!!
Mengapa Allah memberikan Muhammad hak untuk bernafsu, menceraikan dan menikah, sedangkan dia tidak memberikan hak-hak tersebut kepada nabi-nabi yang lain? Tuhan yang Sejati tidak akan memberikan pengecualian atas hukum moral-Nya kepada siapapun.
Ingat, Muhammad memberikan dirinya hak untuk menikah tanpa saksi atau upacara pernikahan atau bahkan tanpa persetujuan wanitanya. Padahal di lain pihak menurut syariat Islam, apa yang dia sendiri bentuk merupakan tindakan-tindakan perzinahan! Para penzinah dan perzinahan tersebut akan berakhir dalam “api neraka.”4 Namun Muhammad, yang adalah manusia sama seperti kita menurut pernyataannya sendiri dan Al-Qur’an, dapat menikah bahkan tanpa upacara pernikahan yang disyaratkan olehnya dan tanpa saksi dan wali (lihat kasus pernikahan Zainab, dibawah ini).
Ketika Muhammad ditanyakan mengenai ini, dia berkata “jibril” adalah saksinya. Kasihan “jibril”, tidakkah dia secara tidak adil ditunjuk, dipakai dan disalah-gunakan? Walaupun jika “jibril” dianggap sebagai saksi dalam pernikahan Muhammad, dimanakah saksi kedua yang dipersyaratkan oleh syariat Islam? Mengapa kita tidak melihat tanda tangannya dalam perjanjian pernikahannya? Dimanakah wali yang disyaratkan? Tidakkah persyaratan pernikahan dalam ajaran Islam diperlukan ketika Muhammad menikah? Bagaimana, wahai saudaraku Muslim melihat semua ini?
Allah memberikan Muhammad hak-hak khusus… dan tidak hanya dalam hal pernikahan sah nya saja. Tetapi Muhammad juga mempunyai “hak secara sah” atas semua wanita dalam arti kata yang sesungguhnya dan tidak ada seorang Muslim pun yang dapat membantah! Karena ketika timbul sebuah pertanyaan yang diajukan, maka “Jibril”pun turun dari surga dengan membawa ayat yang membenarkan tindakan-tindakan Muhammad.
Sangat penting untuk menyebutkan bahwa Muhammad berhubungan dengan tiga puluh orang wanita lebih, namun dikatakan bahwa dia menikah secara sah hanya dengan dua puluh tiga wanita. Bahkan para pengiringnya, enam diantaranya telah menawarkan diri mereka kepada sang nabi, namun hanya empat yang diinginkan.5
1. Khadijah bint Khuwailid
Istri pertama Muhammad adalah Khadijah, anak dari Khuwailid. Dia adalah wanita yang cukup dikenal di Mekah, janda kaya yang mewarisi kekayannya dari suaminya. Ketika dinikahi Muhammad, umurnya 40-an dan Muhammad berumur 25 tahunan. Alasan pernikahan mereka cukup jelas. Muhammad miskin, dan pamannya, Abu Talib, menjadi walinya setelah kematian kakeknya, lebih miskin. Dengan alasan ini, Muhammad tidak dapat menikah, walaupun dia terlambat 5 tahunan dari lazimnya orang yang menikah pada umur 20 tahun. Pernikahan Muhammad dengan Khadijah dilakukan dengan mediasi dari Naufal, paman dari Khadijah dengan beberapa persyaratan pra-nikah termasuk menikah di dalam gereja. Pamannya, Abu Talib, sepakat terhadap persyaratan-persyaratan tersebut dan mengatakan “Terpujilah Allah yang mengambil kesusahaan kita dan menghilangkan kekhawatiran kita.” maksudnya bebas dari kemiskinan!
Ketika saya memasuki SMA, guru-guru agama selalu mengatakan bahwa Muhammad menikah dengan banyak wanita, untuk menguatkan Islam, untuk memperkayanya dengan darah suku yang baru dan untuk menguatkan hubungan antara kaum Muslim. Sangat jelas bagi saya dan murid lainnya bahwa guru-guru itu berbohong; dan asal bunyi saja! Mereka hanya mengulang apa yang dikatakan pendahulu-pendahulu mereka. Namun, kita mempelajari (dan akan diperlihatkan disini) bahwa tidak ada satupun pernikahan Muhammad yang sesuai dengan kesaksian guru-guru itu. Bahkan sebaliknya, semua pernikahan itu didasarkan pada keinginan pribadi dan hanya untuk memenuhi nafsunya, entah itu untuk uang, sebagaimana dengan Khadijah atau untuk kepuasan birahi seks. Apakah karakter demikian pantas disebut nabi besar?!!!
Dr. Aisha Abdul Rahman (dikenal dengan nama bint Al-Shati’) mengatakan dalam bukunya, The Wives of the Prophet (Istri-Istri Sang Nabi): “Muhammad menemukan di dalam Khadijah, belas kasih seorang ibu yang tidak dia dapatkan pada masa kecilnya.”6 Ini tentu masuk akal, tetapi juga mengingat akan kemiskinannya. Empat orang anak perempuan lahir dari pernikahan pertamanya dengan Khadijah.
2. Aisyah bint Abu Bakar
Semua ahli sejarah Muslim sepakat bahwa Muhammad langsung menikah setelah kematian Khadijah.7 Ahli sejarah Muslim lain yang melaporkan fakta tersebut juga menyepakati bahwa Khawlah, anak perempuan Hakim Al-Silmiya bertanya kepada Muhammad: “Apakah engkau ingin menikahi seorang perawan atau seorang bukan perawan?” Khawlah mengatakan kepadanya: “Seorang perawan adalah Aisyah dan seorang bukan perawan adalah Sawda bint Zam’a; ambillah siapapun yang engkau inginkan.” Sang nabi menjawab, “Saya akan menikahi keduanya. Katakan kepada mereka.” Khawlah melakukannya dan Muhammad menikahi keduanya.8
Pengarang-pengarang lainnya agaknya telah membuat suatu kesalahan disini. Kenyataannya, Khawlah tidak menyebutkan Aisyah, melainkan mengatakan: “anak perempuan dari kawanmu Abu Bakar,” yang merujuk kepada anak perempuannya yang paling tua, Asma’ umur 18 tahun, dan bukan Aisyah. Tidak logis bagi Khawlah untuk merujuk kepada Aisyah yang baru berumur 6 tahun.
Tetapi Muhammad sendiri yang memilih untuk menikahi Aisyah yang berumur enam tahun daripada Asma’, kakak perempuannya!
Muhammad menikahi Aisyah ketika dia berumur 6 tahun, namun dia tidak melakukan hubungan badan dengannya hingga dia berumur 9. Dimanakah ada aturan moral di dunia ini yang mengizinkan seorang anak perempuan berumur 6 tahun untuk menikahi seorang laki-laki yang berumur lebih dari 50 tahun? Jika sesuatu seperti ini terjadi dalam sebuah masyarakat dengan hukum yang beradab, orang tersebut – bila ia waras – akan dilempar ke dalam penjara. Saya berharap cerita tersebut tidak benar, namun sayangnya, semua referensi Islam memastikan keaslian dan kebenarannya! Bagaimana Allah bisa sedemikian masa-bodo dan tidak adilnya, mengingat ulama Muslim membenarkannya: “Allah memilih dan menuntun dia dalam pernikahan - pernikahan tersebut?”
Kita membutuhkan sebuah jawaban yang datang dari hati nurani dan datang dari Kebenaran, bukan dari fanatisme buta, ketakutan dan harga diri.
*[Wahyu yang berkata “Aku hanya manusia biasa seperti kamu”, kembali diuji ketika Muhammad meninggal dan sekaligus menjadikan semua istrinya janda yang tidak boleh menikah lagi.]
Tatkala itu Aisyah baru berumur sekitar 18 tahun. Namun, janda muda ini, diharamkan untuk menikah lagi. Mantan Istri-istri sang nabi tidak diizinkan untuk menikah atau berpacaran lagi, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Mengapa Allah melakukan ini? Adakah keadilan dan kasih sayang di dalam perintah itu? Saya tak tahu lagi bagaimana melanjutkan diskusi tentang nasib Aisyah, yang masa kanak-kanaknya sudah dikorbankan, dan kini masa janda mudanya masih dicekal!
[Kita teringat satu tantangan dalam website “ex-Muslim” Faith Freedom International, yang berkata: “Saya bersumpah akan kembali ke Islam jika ada Muslim di situs ini yang merelakan puteri mereka yang berumur 9 tahun untuk berbagi ranjang dengan saya sesuai dengan apa yang dicontohkan (sunnah) oleh Muhammad.]
3. Zainab bint Jahsy
Pernikahan ketiga Muhammad adalah sebuah tragedi moral terbesar, yang hanya berisi nafsu seks dan birahi belaka. Selagi Anda membaca, coba tanyakan pada diri Anda sendiri, “Dimanakah pertalian dan penguatan suku dalam sebuah perkawinan ini?” “Adakah hubungan antara pernikahan ini dengan kenabian?”
Khadijah, istri pertama dari Muhammad, membeli seorang budak bernama Zayd Ibn Haritha yang kemudian diberikannya sebagai hadiah kepada suaminya, untuk menjadi pelayannya. Namun setelah Muhammad mendapat panggilan kenabian, dia membebaskan Zayd dan mengadopsinya sebagai anak di muka umum, dimana dia berkata, “Zayd adalah anakku, saya mewarisinya dan dia mewarisiku.” Setelah itu, dia kemudian dikenal dengan sebutan “Zayd, anak dari Muhammad.” Singkat cerita, akhirnya, Zainab menikahi Zayd atas desakan Muhammad. Namun yang terjadi kemudian sangatlah aneh, mengejutkan dan menjijikkan.
Suatu hari Muhammad pergi untuk mengunjungi anak angkatnya, Zayd. Ketika dia memasuki rumah Zayd, dia sedang tidak ada di rumah. Muhammad melihat Zainab setengah telanjang dibalik tirai ketika dia sedang berpakaian. Muhammad menginginkannya, namun dia takut untuk masuk. Sebelum dia pergi, dia berkata kepadanya., “Terpujilah Allah yang dapat merubah hati seseorang.” Zainab senang dan kemudian memberitahukan kunjungan tersebut dan pernyataan Muhammad pada suaminya. Zayd langsung menemui Muhammad dan bertanya: “Apakah engkau menginginkan aku menceraikannya untukmu?” Muhammad menjawab: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” Pada awalnya merupakan sikap yang masih mulia dari Muhammad. Namun, yang terisi dalam hati dan jiwa Muhammad sangat berbeda dengan apa yang dikatakan mulutnya, karena dia benar-benar menginginkannya sebagaimana yang dicatat oleh Al-Zamkhashri: “Penampilan luar dari Muhammad berbeda dengan apa yang ada di dalamnya.”9 Singkatnya, di luar, terlihat bahwa Muhammad tidak ingin Zayd menceraikan Zainab, namun keinginannya berlawanan: karena Muhammad jatuh cinta kepada Zainab, ketika dia melihatnya setengah telanjang.10
Al-Qur’an menyatakan kepada kita bahwa Muhammad jatuh cinta dan menginginkan Zainab menjadi istrinya. Tetapi dia ragu terhadap perkataan orang tentang dirinya, mengambil istri dari anak angkatnya. Namun Allahnya Muhammad mendatanginya untuk memarahinya atas keragu-raguannya. Anehnya, justru Allah yang menginginkan wanita itu untuk meninggalkan suaminya dan melanggar semua norma moralitas, agar Muhammad bisa mendapatkannya. Ini jelas terlihat dalam Al-Qur’an:
“Dan, ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zayd telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya, Kami kawinkan kamu dengan dia…”11
Waktu tidak berlangsung lama antara Surat 33:36 (ketika Allah lewat Muhammad meyakinkan Zayd sebagai laki-laki mukmin untuk tetap dalam pernikahan yang dia walikan) dan Surat 33:37, dimana Allah berbalik memerintahkan Zayd untuk meninggalkan Zainab sehingga sang nabi itu dapat menikahinya. Apa yang mengakibatkan Allahnya sang nabi itu untuk merubah pikirannya? Apakah tuhan itu sebuah mainan di tangan Muhammad, sehingga sebuat ayat baru akan turun untuk meniadakan ayat yang datang sebelumnya?
*[Sungguh aneh, bahwa tuhannya Muhammad tidak merekonsiliasikan dan tidak mampu menolong kelangsungan keluarga Zayd-Zainab. Dan Muhammad tidak tampak membantu mendoakan pemulihan keluarga ini lewat kuasa Tuhan. Sebaliknya, Allah yang satu ini – seperti manusia saja – hanya merasa perlu buru-buru menggantikan kehancuran rumah tangga tersebut (yang adalah keluarga dari anak angkatnya Rasul Allah) dengan menetapkan perkawinan yang baru untuk Muhammad?] Macam apakah tuhannya yang satu ini?
Dalam bukunya, The Life of Muhammad, Dr. Haykal menolak cerita tentang Zayd dan Zainab ini. Dia mendeskripsikannya sebagai sesuatu yang memalukan dan dia menuduh kaum misionaris dan peneliti Barat mengada-adakannya untuk menjatuhkan Islam dan nabinya. Ketika saya masih seorang Muslim, saya berharap Dr. Haykal benar dan semua cerita merendahkan terhadap Muhammad memang kebohongan belaka. Namun, kita harus menatap fakta pahitnya dan membaca jawaban Dr. bint Al-Shati’, seorang ulama Muslim yang cukup terkenal, yang menyatakan kebenaran apa adanya:
“Cerita tentang Muhammad, sang Rasul, yang mengagumi Zainab … dan bagaimana dia meninggalkan rumah Zainab dengan berkata, “Terpujilah Allah yang merubah hati seseorang”, diceritakan kepada kita oleh pendahulu-pendahulu yang baik seperti Imam Al-Tabari dalam buku sejarahnya dan oleh Abu Ja’far Ibn Habib Al-Nabeh dan yang dikasihi Al-Tabari, dan tetangga Allah, Al-Zamkhashri. Orang-orang tersebut mengkisahkan cerita ini sebelum dunia mendengarkan Perang Salib, penginjilan, dan misionaris Barat. ... Mengapa kita harus menyangkal bahwa sang Rasul adalah manusia yang melihat Zainab dan mengaguminya... Muhammad tidak pernah menyatakan dirinya sempurna, tanpa nafsu manusia. Sebagaimana dia bergairah ketika melihat Aisyah daripada istri-istrinya yang lain, dia mengatakan, “Allah, jangan salahkan aku karena tidak memiliki apa yang engkau miliki (kemampuan menahan diri).”12
Semua kisah diatas adalah fakta, dibenarkan oleh para tokoh Muslim, bukan rekayasa misionaris Barat seperti dituduhkan oleh Haykal.
*[Bahkan pihak Muslim pulalah yang ingin menyembunyikannya atau – seperti halnya Ibn Kathir – menghapusnya dari khazanah Islam karena dianggap tidak sehat, “kami ingin menghapus beberapa halaman dari kisah tersebut, sebab tidak sehat, dan kami tidak akan sebut lagi”. (Ibn. Kathir, Tafsir, vol.3, p.491)]
Apakah seharusnya kita masing-masing memiliki tuhan dan “jibril” kita sendiri-sendiri agar kita dapat melakukan apa yang kita mau, dan menolak apa yang tidak kita inginkan, dengan berkedok bahwa tuhan yang memerintahkannya lewat “jibril” demi membenarkan tindakan kita?
Mari kita bandingan hal ini dengan kehidupan Raja Daud, “Nabi Daud” bagi kaum Muslim. Daud bernafsu atas istri orang lain. Namun betapapun dia disayangi oleh Tuhan, Tuhan tidak membiarkan perselingkuhan tersebut terjadi begitu saja hanya karena Daud adalah seorang nabi dan seorang raja. Sebaliknya, Tuhan menegur dan menghukumnya dengan keras. Ancaman Tuhan berkumandang di seluruh Israel (!) saat Dia berkata kepada Daud: “Oleh sebab itu, pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya, karena engkau telah menghina Aku dan menambil isteri Uria, orang Het itu, untuk menjadi isterimu.” (2 Samuel 12:10).
Daud menjawab dengan ratapan:
“Kasihanilah aku, ya Tuhan, menurut kasih setiaMu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmatMu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku…. Jadikanlah hatiku tahir, ya Tuhan, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” (Mazmur 51:3-5, 12)
Dengan kata lain, Tuhan adalah Tuhan yang suci dan murni yang tidak berkompromi dan berkonsesi dengan dosa. Kesuciannya untuk dosa siapapun, baik itu Daud maupun Muhammad. Tuhan yang Sejati menghukum dosa dan tidak malah memberinya hadiah! Sebaliknya Muhammad melakukan apa saja yang ia mau dan itu absah saja.
Zainab sendiri menjelaskan:
“Setelah bercerai, langsung dan lihatlah, Rasul Allah memasuki rumah saya saat saya sedang tidak berjilbab dan saya bertanya kepadanya, “Apakah akan seperti ini tanpa wali atau saksi?” Dia menjawab kepada saya, “Allah adalah walinya dan “jibril” adalah saksinya.”
Akibat dari pernyataannya, Zainab menyombongkan diri di depan istri-istri Muhammad lainnya dengan mengatakan: “Ayah-ayahmu yang memberikan kamu dalam pernikahan, namun untuk saya, surgalah yang memberikan saya dalam pernikahan dengan Rasul Allah.”13
Namun agar Muhammad bisa keluar dari issue sah tidaknya ia mengawini Zainab, kembali “jibril” siap sedia menurunkan ayat dari tuhannya, menyatakan bahwa dia tidak bukan mengadopsi Zayd seperti yang umum maksudkan. Sehingga, khusus menikahi Zainab sesungguhnya sah: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”14
Ulama terpandang mencatat dalam bukunya, Al-Sira Al-Halabia: “Jika Muhammad bernafsu atas wanita yang sudah menikah, menjadi keharusan bagi suaminya untuk menceraikannya untuk dia (Muhammad).15
[Sedangkan ada seorang Nabi lain yang justru mengatakan dalam otoritas dan kekudusanNya: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”. (Mat.5:27-28)]
Jadi dimanakah alasan-alasan yang dilemparkan para ulama bahwa pernikahan Muhammad hanya semata untuk menguatkan hubungan Islam antar suku? Dimanakah aspek “demi kepentingan Islam”nya?
4. Safiyah bint Huyay
Pernikahan Muhammad ke-4 adalah dengan Safiyah, anak perempuan dari Huyay, seorang Yahudi. Pada waktu itu adalah tahun ke-7 Hijrah,16 ketika Muhammad memerintahkan serangan terhadap suku Khaibar. Pada serangan tersebut, banyak orang Khaibar tewas, banyak harta yang dirampas, dan wanita-wanita yang dijadikan tahanan. Diantara para tahanan tersebut termasuk Safiyah, suaminya, Kinana, dan ayahnya. Muhammad memerintahkan ayahnya dibunuh, dan suaminya disiksa hingga dia mengungkapkan tempat persembunyian uangnya. Setelah dia memberitahu mereka, Muhammad memerintahkan dia dibunuh lalu menikahi istrinya.
Setelah serangan tersebut, Dihya Al-Kalbi, meminta kepada Muhammad atas beberapa tawanan wanita. Muhammad mengatakan: “Pergilah dan ambillah siapapun yang sesuai denganmu.” Dihya mengambil Safiyah, namun kebahagiaannya tidak berlangsung lama karena salah seorang anak buah mengatakan kepada Muhammad: “Wahai, Rasul Allah, apakah engkau memberikan Safiyah kepada Dihya? Hanya engkaulah yang berhak mendapatkannya.” Muhammad mengatakan: “Bawa Dihya dan Safiyah kemari.”
Ketika mereka datang kehadapannya dan dia melihat Safiyah yang cantik, dia berkata kepada Dihya, “Pergi dan ambillah wanita lain.” Dia kemudian memerintahkan pembantu perempuannya untuk menyiapkan Safiyah, sehingga dia dapat bersetubuh dengannya pada malam yang sama. Umm Salamah mendiskripsikan Safiyah demikian: “Saya tidak pernah melihat dalam hidup saya wanita yang lebih cantik dari Safiyah.”17
Ketika Muhammad menikahinya, Safiyah baru berumur 17 tahun, dan masih dalam bulan pertama pernikahannya dengan Kinana. Muhammad berumur enam puluh dua tahun. Dan tiga tahun kemudian Safiyah menjadi seorang janda untuk kedua kalinya, pada saat Muhammad meninggal. Namun, beda dengan janda sebelumnya, kali ini dia tidak diperbolehkan untuk menikah lagi. (Beginikah model perkawinan yang di sunnah-kan Nabinya?) Dan Muslim masih juga mengimani bahwa sang nabi menikahi banyak wanita – sekalipun itu di bawah umur – adalah untuk memperkuat ikatan Islam atau karena nabi berbelas kasihan kepada mereka? Namun pandangan saya sekarang jadi jelas dan saya lebih mengerti, ketika diperhadapkan dengan pernikahan Khadijah, Aisyah, Zainab, dan Safiyah.
5. Juwairiyyah bint Al-Haris
Pernikahan yang ke-5 adalah dengan Juwairiyyah bint Al-Haris. Juwairiyyah berumur 20 tahun ketika Muhammad pada usia 59 menikahinya. (Juwairiyyah dinikahi satu tahun sebelum Safiyah). Aisyah, yang katanya dikenal sebagai “Ibu Orang Beriman” mengkisahkan” ceritanya:
“Ketika Rasul Allah (Muhammad) membagi-bagi tawanan dari anak-anak Mustaliq, Juwairiyyah diberikan kepada Thabit bin Qais.18 Dia adalah seorang wanita berusia dua puluh tahunan dan sangat cantik. Tidak seorangpun yang melihatnya tidak mengaguminya. Ketika saya melihatnya di pintu rumah saya, saya membencinya, karena saya yakin Rasul Allah melihat di dalam dirinya apa yang saya lihat dari kecantikannya.”19
Di manakah pertalian antara kaum Muslim dalam masing-masing pernikahan, terutama pernikahannya dengan seorang Yahudi? Apakah karena belas kasihan sehingga dia (Muhammad) menikahi bani asing, padahal dia telah menyogok Thabit dengan uang supaya dia membiarkannya sendiri? Ini adalah pertanyaan yang saya ajukan kepada kaum Muslim.
6. Umm Salamah
Pernikahan keenam dari Muhammad adalah dengan wanita cantik lainnya yang bernama Umm Salamah. Lagi-lagi Aisyah, korban pertama dari sang nabi besar, mengatakan: “Ketika Rasul Allah menikahi Umm Salamah, saya terpuruk dalam kesedihan besar saat dia membicarakan kecantikannya, namun ketika saya melihatnya, saya melihat apa yang dia gambarkan.”20
Umm Salamah adalah anak perempuan dari saudara perempuan ‘Utsman bin Affan (khalifah yang ketiga). Ketika Muhammad pertama kali melihatnya di rumah ‘Utsman, dia lalu mengingininya. Dua puluh empat jam kemudian, nabi memerintahkan suaminya, Ghassan bin Mughira untuk membawa bendera di depan pada pertempuran berikutnya. Dia mela-kukannya dan dia tewas dalam pertempuran itu. Keesokan harinya, sang nabi besar itu menikahi Umm Salamah. Begitulah cara dia menjadi istrinya.
Aneh memang kehidupan dari sang nabi ini. Sungguh teramat ganjil bilamana semua itu atas perintah Allah demi agama yang diturunkannya! Dan terlebih ganjil lagi bilamana banyak ulama Muslim mengatakan itu adalah belas-kasihan sang Nabi kepada para janda perempuan!
Tuhan macam apa yang tidak mempunyai pekerjaan lain selain dari memastikan kehidupan seks sang nabi terpuaskan? Tuhan macam apa yang akan memastikan seorang suami dibunuh, atau seorang wanita diceraikan agar sang nabi dapat mendapatkan wanita yang dia inginkan? Tuhan saya Yang Maha Benar berada di atas hal-hal ini dan merataplah mereka ketika mereka berdiri di hadapan Tuhan Yang Sejati pada Hari Penghakiman. Apakah umat Muslim pernah memikirkan dengan jujur mengapa kekerasan terjadi dalam lingkaran-lingkaran Islam, yang diyakini sebagai agama pembawa damai dan rahmat bagi alam sejagat ini?
7. Sawdah bin Zam’ah
Ini adalah kisah mengenai pernikahan Muhammad dengan Sawdah bin Zam’ah. Dia adalah satu-satunya istri Muhammad yang tidak cantik. Namun, banyak ahli Muslim menggambarkannya sebagai seseorang yang baik hati dan sangat cantik di dalam.
Ketika Khadijah meninggal, Khawlah bint Hakim mendatangi Muhammad dan dia bertanya kepadanya, “Apakah engkau menginginkan seorang perawan atau janda?” Dia (Muhammad) meminta kedua-duanya. Yang perawan adalah anak perempuan Bakar dan yang bukan perawan adalah Sawdah. Namun dia terkejut setelah mengetahui, pada malam pernikahannya bahwa Sawdah tidak cantik. Muhammad marah dan memarahi Khawlah karena memperkenalkannya dengan dia. Ibn Hajar Asqalani menulis: “Khawlah, guna memperbaiki kesalahannya, menawarkan dirinya kepada dia (Muhammad), dan dia tinggal bersamanya sebagai suami dan istri, dan itu hanya terjadi dua bulan setelah pernikahannya dengan Sawdah.”21
Dr. bint Al-Shati’ mengatakan dalam bukunya:
“Ketika suatu malam dengan Sawdah (dimana dia akan tidur dengannya), sang nabi memberitahunya tentang keputusannya untuk menceraikannya. Dia sangat terkejut mendengar berita itu dan dia merasa seolah-olah dinding-dinding sedang menimpanya. Dia memohon kepadanya, “Tolong, simpan aku, Wahai Rasul Allah.” Dia menjawabnya, “Dengan satu syarat, bahwa kamu memberikan jatah malam-malammu kepada Aisyah.” Daripada menghabiskan malam-malam tersebut dengan Sawdah, dia menghabiskannya dengan Aisyah ditambah dengan malam-malam lain yang sudah dijatahkan baginya. Sawdah sepakat, sambil mengatakan, “Mulai sekarang, saya tidak akan mengingini apa yang diinginkan oleh seorang wanita, karena saya memberikan jatah malam saya kepada Aisyah.” Akibatnya, Muhammad menyimpannya sebagai seorang istri, tetapi tidak lagi mengunjunginya.”22
Hanya dialah istri Muhammad yang tidak cantik secara fisik. Namun, ia adalah yang paling cantik dalam karakter dan moral. Tetapi bagi sang nabi soal karakter, moralitas dan kecantikan jiwa sama sekali tidak disyaratkan. Dia malah mengancam akan menceraikannya, jika dia tidak setuju untuk memberikan jatah malamnya kepada Aisyah. Sawdah yang teramat malang...
8. Umm Habibah (Ramlah) bint Abu-Sufyan
Umm Habibah sebelumnya menikah dengan Ubayd-Allah bin Jahsh. Ubayd-Allah adalah anak dari bibi Muhammad sendiri, dan sekaligus adalah saudara kandung dari Zainab yang dikawini Muhammad seminggu sebelumnya, dan apa yang terjadi dalam acara perkawinan tersebut? Ternyata ia menantang Muhammad dengan berkata kepadanya: “Engkau bukanlah seorang nabi ataupun seorang Rasul Allah. Berhentilah mengatakan demikian. Saya mengimani Al-Masih karena Dia adalah Kebenaran, tetapi engkau adalah orang yang mementingkan diri sendiri.” Ubayd dipaksa untuk pergi dan Muhammad menikahi isterinya. Pada waktu itu, Umm Habibah adalah seorang wanita cantik, berusia dua puluh tiga tahun.23
9. Maryam Qibtiyah (Maria, kristen Mesir)
Kisah Muhammad dengan Maria orang Mesir agak berbeda. Amro bin Al-Aaz membawa sebuah surat dari Muhmmad kepada Al-Muqawqis, penguasa Mesir, dan memerintahkan untuk memeluk Islam. Mengetahui kelemahan Muhammad, agar tidak beresiko, dia memberikannya hadiah berupa dua orang saudara perempuannya yang sangat cantik. Jika bukan karena sebuah ayat Al-Quran yang turun sebelumnya yang melarang menikahi dua orang saudara perempuan, Muhammad mungkin akan melakukannya. Walaupun demikian, dia hampir melanggar ayat Allah itu, dan menikahi mereka berdua, jika bukan karena nasihat ayah mertuanya, Umar, yang menegurnya. Muhammad puas dengan Maria, mengunjunginya dan menghabiskan banyak waktu siang dan malam dengannya tanpa bosan-bosan.24
Satu kali Maria ingin bertemu dengan Muhammad, jadi dia pergi untuk menemuinya di rumah istrinya, Hafsah, puteri dari Umar, yang sedang tidak ada di rumah pada waktu itu. Tetapi ketika Hafsah tiba-tiba pulang, dia menemukan Muhammad sedang berhubungan intim dengan Maria di tempat tidurnya sendiri! Dia berkata kepada Muhammad:
“Di dalam rumahku dan di atas tempat tidurku dan pada hari yang ditentukan untukku…” Nabi, yang menerima pewahyuan Allah berkata: “Rahasiakanlah dan jangan katakan siapapun. Jangan katakan kepada Aisyah (karena ia sangat takut terhadap Aisyah). Dia menambahkan: “Saya tidak akan menyentuh Maria lagi. Dan saya nyatakan kepadamu dan ayahmu serta ayah Aisyah, bahwa mereka akan memimpin bangsaku setelah aku. Saya tinggalkan hal itu kepada mereka”. Tetapi Hafsah memberitahu Aisyah dan Muhammad menceraikan Hafsah.25
Ketika kabar mengenai perceraian tersebut terdengar oleh Umar, ayah Hafsah, dia menjadi sangat marah dan nyaris meninggalkan Islam. Ketika Muhammad mendengar reaksi Umar, dia mengambil kembali Hafsah dengan sebuah perintah dari “jibril”yang berkata kepadanya: “Hafsah akan menjadi istrimu pada hari pengangkatan.”26 Bagaimana sang nabi besar itu dapat menyelamatkan semua masalah kawin-mawin yang dia ulahi sendiri ini? Seperti biasanya, melalui ayat-ayat suci yang diucapkan sebagai wahyu dari tuhannya. Misalnya, Surat Al-Tahrim turun untuk menegur Muhammad karena ”terlanjur” dalam mengharamkan Maria. Mari kita baca Surat ini, yang menghalalkan kembali sang nabi berhubungan intim dengan Maria: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”27
Dalam surat 66:4-5, Allahnya Muhammad memberitahu istri-istri sang nabi:
“Jika kalian berdua (merujuk kepada Aisyah dan Hafsah) bertobat kepadanya, hatimu memang demikian keinginannya; namun jika kalian saling mendukung melawannya, sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan jibril dan (semua) orang benar diantara mereka yang beriman dan lebih dari itu, para malaikat akan mendukungnya. Jikapun, bila diinginkannya sang nabi untuk menceraikan kamu semua, Allah akan memberikan kepadanya (Muhammad) sebagai gantinya, pendamping-pendamping yang lebih baik darimu.”
Tidakkah itu semua menunjukkan bahwa Muhammad memiliki tuhan yang mendukungnya secara kebablasan?28
*[Coba bayangkan sejenak, untuk menyelesaikan love affair dan kecemburuan akibat ulah Muhammad sendiri, Allah sampai mengerahkan diriNya serta “jibril” dan seluruh umat beriman untuk membela sang nabi, dalam menentang dua wanita tak berdaya, Aisyah dan Hafsah, dengan memberikan ancaman dan ultimatum yang mematikan masa depan mereka.]
Allah berkata: “Jika kamu tidak berhenti menentang rasul Allah, Aku, Tuhannya, akan membuatnya menceraikanmu dan menikahi istri-istri lebih baik darimu.” Apakah Sang Pencipta dari alam semesta ini benar-benar tidak mempunyai pekerjaan yang lebih layak daripada mengurus langsung permasalahan yang amat sepele?
*[Dimanakah hikmat yang telah Allah berikan kepada setiap orang, apalagi kepada nabiNya, untuk private problem solving masing-masing?]
Saya yakini bahwa tuhan dengan kwalitas seperti itu pastilah bukan Tuhan, kecuali jebakan yang saling menipu daya dari atas ke bawah.
Terdapat banyak keganjilan mengenai kehidupan seorang nabi. Tetapi yang lebih ganjil lagi jika melihat umat Muslim yang membaca dan melihat realitas kehidupan Muhammad, namun tetap berjalan di belakang orang tersebut! Mengapa? Saya sudah ungkapkan mengenai “ketakutan terhadap yang menakutkan” yang menguasai dunia (pikiran) Islam. Dalam kenyataannya, banyak orang Muslim mengetahui betul sejarah hidup Muhammad; tetapi terperangkap dalam rethorika, intimidasi, teror dan ketakutan yang menguasai mereka. Kematian adalah hukuman bagi mereka yang meninggalkan Islam.29 Sejarah telah menceritakan kepada kita bahwa Abu Bakar memerintahkan sepuluh ribu orang dibunuh dalam tiga hari karena mereka memilih meninggalkan Islam.
10. Maimunah bint al-Haris
Maimunah mengakhiri bab (topik kawin-mawin) kita yang amat sangat melecehi dan menyakitkan wanita. Saya mengkisahkan kepada Anda, cerita dari Maimunah untuk memperjelas sebuah unsur penting: Muhammad melarang banyak hal untuk orang lain, tetapi dia mengizinkannya untuk dirinya sendiri. Kaum Muslim mengetahui bahwa selama musim haji (Al-Hajj) pernikahan dilarang46a, namun Muhammad justru menikahi Maimunah bint al-Haris pada saat musim haji. Maimunah sedang berada di atas untanya, tetapi ketika dia melihat sang nabi, dia menjatuhkan dirinya dihadapannya dan berkata kepadanya bahwa unta dan semua yang di atasnya adalah milik nabi. Muhammad masih sempat mengingatkan dia bahwa mereka tengah dalam musim haji, namun Maimunah menjawab bahwa dia tidak ingin menunggu.
Apakah mungkin untuk Muhammad untuk menahan diri hingga akhirnya musim haji? Pengalaman masa lalunya membuktikan dua hal: dia tidak dapat menolak kecantikan wanita dan sebuah solusi selalu tersedia untuknya. Sorenya pada hari yang sama, sang nabi berkata kepadanya, “Sebuah ayat diturunkan kepadaku”:
”... dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min ... supaya tidak menjadi kesempitan bagimu...”30
Sehingga Al-Abbas, paman nabi meresmikan, walau ia pernah mengomentari bahwa Muhammad sedang dalam pakaian Haji.31
Terlepas bahwa Muhammad memiliki banyak istri, Rasul Allah ini lagi-lagi tidak dapat menunggu berakhirnya masa datang bulan istri-istrinya. Dia memasuki mereka pada saat mereka sedang datang bulan, walaupun hal demikian diharamkan dalam Surat Al-Baqara.32
Dalam Hadits Sahih Muslim, Vol. I, halaman 590, kaum Muslim mengatakan, mengutip Nawai, bahwa Aisyah berkata:
“Jika salah satu dari kita sedang datang bulan, Rasul Allah memerintahkannya untuk datang kepadanya (Muhammad) untuk berhubungan intim, pada saat dia (istrinya) sedang berada dalam puncak datang bulannya.”
Maimunah berkata: ”Rasul Allah biasa melakukan hubungan intim denganku ketika aku sedang datang bulan.” Umm Salamah mengatakan hal yang sama.33
Bagaimana bisa sang nabi itu dapat melakukan semua hal yang terlarang dalam agama Islam yang disiarkannya? Sangat jelas, kehidupan, tindakan dan perilakunya tidak pernah sesuai dengan model yang Tuhan perintahkan dalam ajaran-ajaran suciNya. Bagaimana mungkin para ulama berseru agar umat Muslim meneladani hidup sang Nabi?! Semoga umat Muslim dapat menggunakan kekuatan penalaran mereka untuk keluar dari bondage yang menjeratnya!
Al-Qur’an menyatakan bahwa Muhammad hanya seorang rasul, walaupun kaum Muslim menganggap dia sebagai seorang nabi agung. Namun dia dianggap seperti orang yang hidup dan mati sama seperti orang lain. Dengan kata lain, Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad tidak memberikannya karakteristik khusus, yang membedakan dirinya dengan manusia lain. Namun sangat aneh dan bertolak belakang, bahwa tiba-tiba Al-Qur’an memang membedakan diri Muhammad, dengan memberikannya lebih banyak hak keistimewaan dan sedikit kewajiban.
Sebagai contoh, Al-Qur’an memberikan kaum Muslim hak untuk menikahi maksimum empat orang istri. Namun Al-Qur’an menyatakan:
“Wahai, Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. Supaya tidak menjadi kesempitan bagimu”2
Allah tidak cukup puas dengan hanya memberikan Muhammad banyak istri, dia juga memberikannya carte blanche (kewenangan penuh) untuk melakukan apapun yang dia inginkan dalam soal kawin-mawin ini. Allah tidak membatasi jumlah wanita yang boleh dinikahinya, sebagaimana yang dia perintahkan ke kaum Muslim lainnya. Namun, dia memberikan dirinya sendiri hak untuk mengambil wanita manapun yang diinginkannya, bahkan yang telah menikah, iapun masih memaksa si suami untuk meceraikan istrinya, ketika sang nabi menginginkan si wanita tersebut.
Salah satu ulama Muslim yang terkenal, Burhan El-Deen Al-Halabi, membahas hak-hak khusus dari Muhammad dalam bukunya yang terkenal, Al-Sira Al-Halabia. Al-Halabi mengatakan:
“Jika Muhammad menginginkan wanita yang belum menikah, dia mempunyai hak untuk memasukinya (menikahinya) tanpa upacara pernikahan dan tanpa saksi atau wali. Persetujuan wanita itu juga tidak diperlukan. Namun, jika wanita tersebut sudah menikah dan Muhammad menunjukkan keinginannya terhadap dirinya, adalah sebuah keharusan bagi suaminya untuk menceraikannya, agar Muhammad dapat menikahinya. Muhammad juga mempunyai hak untuk memberikan wanita yang dinikahinya itu kepada lelaki manapun yang ia pilih, tanpa persetujuan wanita tersebut. Dia bahkan juga dapat menikah pada musim lebaran, sebagaimana yang dia lakukan dengan Maimunah. Dia juga mempunyai hak untuk memilih dari para tawanan, siapapun yang dia inginkan, sebelum pembagian hasil jarahan perang.”3
“Muhammad mengatakan bahwa dirinya adalah manusia biasa, demikian pula Al-Qur’an.” Lantas, bagaimana ia kemudian memberikan dirinya sendiri HAK yang begitu berlebihan? Sangat jauh dari perilaku Tuhan untuk menerima ketidak-adilan seperti itu, atau untuk menyetujui penghinaan seperti ini. Mungkinkah itu perilaku dari sang nabi besar penutup segala nabi? Namun ada Nabi lain (Isa Al-Masih) yang banyak disebut-sebut oleh Muhammad dalam Al-Qur’an justru menyatakan dalam ajarannya: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Matius 5:28) Bagaimana Anda melihat perbedaan yang luar biasa ini?!!!
Mengapa Allah memberikan Muhammad hak untuk bernafsu, menceraikan dan menikah, sedangkan dia tidak memberikan hak-hak tersebut kepada nabi-nabi yang lain? Tuhan yang Sejati tidak akan memberikan pengecualian atas hukum moral-Nya kepada siapapun.
Ingat, Muhammad memberikan dirinya hak untuk menikah tanpa saksi atau upacara pernikahan atau bahkan tanpa persetujuan wanitanya. Padahal di lain pihak menurut syariat Islam, apa yang dia sendiri bentuk merupakan tindakan-tindakan perzinahan! Para penzinah dan perzinahan tersebut akan berakhir dalam “api neraka.”4 Namun Muhammad, yang adalah manusia sama seperti kita menurut pernyataannya sendiri dan Al-Qur’an, dapat menikah bahkan tanpa upacara pernikahan yang disyaratkan olehnya dan tanpa saksi dan wali (lihat kasus pernikahan Zainab, dibawah ini).
Ketika Muhammad ditanyakan mengenai ini, dia berkata “jibril” adalah saksinya. Kasihan “jibril”, tidakkah dia secara tidak adil ditunjuk, dipakai dan disalah-gunakan? Walaupun jika “jibril” dianggap sebagai saksi dalam pernikahan Muhammad, dimanakah saksi kedua yang dipersyaratkan oleh syariat Islam? Mengapa kita tidak melihat tanda tangannya dalam perjanjian pernikahannya? Dimanakah wali yang disyaratkan? Tidakkah persyaratan pernikahan dalam ajaran Islam diperlukan ketika Muhammad menikah? Bagaimana, wahai saudaraku Muslim melihat semua ini?
Allah memberikan Muhammad hak-hak khusus… dan tidak hanya dalam hal pernikahan sah nya saja. Tetapi Muhammad juga mempunyai “hak secara sah” atas semua wanita dalam arti kata yang sesungguhnya dan tidak ada seorang Muslim pun yang dapat membantah! Karena ketika timbul sebuah pertanyaan yang diajukan, maka “Jibril”pun turun dari surga dengan membawa ayat yang membenarkan tindakan-tindakan Muhammad.
Sangat penting untuk menyebutkan bahwa Muhammad berhubungan dengan tiga puluh orang wanita lebih, namun dikatakan bahwa dia menikah secara sah hanya dengan dua puluh tiga wanita. Bahkan para pengiringnya, enam diantaranya telah menawarkan diri mereka kepada sang nabi, namun hanya empat yang diinginkan.5
1. Khadijah bint Khuwailid
Istri pertama Muhammad adalah Khadijah, anak dari Khuwailid. Dia adalah wanita yang cukup dikenal di Mekah, janda kaya yang mewarisi kekayannya dari suaminya. Ketika dinikahi Muhammad, umurnya 40-an dan Muhammad berumur 25 tahunan. Alasan pernikahan mereka cukup jelas. Muhammad miskin, dan pamannya, Abu Talib, menjadi walinya setelah kematian kakeknya, lebih miskin. Dengan alasan ini, Muhammad tidak dapat menikah, walaupun dia terlambat 5 tahunan dari lazimnya orang yang menikah pada umur 20 tahun. Pernikahan Muhammad dengan Khadijah dilakukan dengan mediasi dari Naufal, paman dari Khadijah dengan beberapa persyaratan pra-nikah termasuk menikah di dalam gereja. Pamannya, Abu Talib, sepakat terhadap persyaratan-persyaratan tersebut dan mengatakan “Terpujilah Allah yang mengambil kesusahaan kita dan menghilangkan kekhawatiran kita.” maksudnya bebas dari kemiskinan!
Ketika saya memasuki SMA, guru-guru agama selalu mengatakan bahwa Muhammad menikah dengan banyak wanita, untuk menguatkan Islam, untuk memperkayanya dengan darah suku yang baru dan untuk menguatkan hubungan antara kaum Muslim. Sangat jelas bagi saya dan murid lainnya bahwa guru-guru itu berbohong; dan asal bunyi saja! Mereka hanya mengulang apa yang dikatakan pendahulu-pendahulu mereka. Namun, kita mempelajari (dan akan diperlihatkan disini) bahwa tidak ada satupun pernikahan Muhammad yang sesuai dengan kesaksian guru-guru itu. Bahkan sebaliknya, semua pernikahan itu didasarkan pada keinginan pribadi dan hanya untuk memenuhi nafsunya, entah itu untuk uang, sebagaimana dengan Khadijah atau untuk kepuasan birahi seks. Apakah karakter demikian pantas disebut nabi besar?!!!
Dr. Aisha Abdul Rahman (dikenal dengan nama bint Al-Shati’) mengatakan dalam bukunya, The Wives of the Prophet (Istri-Istri Sang Nabi): “Muhammad menemukan di dalam Khadijah, belas kasih seorang ibu yang tidak dia dapatkan pada masa kecilnya.”6 Ini tentu masuk akal, tetapi juga mengingat akan kemiskinannya. Empat orang anak perempuan lahir dari pernikahan pertamanya dengan Khadijah.
2. Aisyah bint Abu Bakar
Semua ahli sejarah Muslim sepakat bahwa Muhammad langsung menikah setelah kematian Khadijah.7 Ahli sejarah Muslim lain yang melaporkan fakta tersebut juga menyepakati bahwa Khawlah, anak perempuan Hakim Al-Silmiya bertanya kepada Muhammad: “Apakah engkau ingin menikahi seorang perawan atau seorang bukan perawan?” Khawlah mengatakan kepadanya: “Seorang perawan adalah Aisyah dan seorang bukan perawan adalah Sawda bint Zam’a; ambillah siapapun yang engkau inginkan.” Sang nabi menjawab, “Saya akan menikahi keduanya. Katakan kepada mereka.” Khawlah melakukannya dan Muhammad menikahi keduanya.8
Pengarang-pengarang lainnya agaknya telah membuat suatu kesalahan disini. Kenyataannya, Khawlah tidak menyebutkan Aisyah, melainkan mengatakan: “anak perempuan dari kawanmu Abu Bakar,” yang merujuk kepada anak perempuannya yang paling tua, Asma’ umur 18 tahun, dan bukan Aisyah. Tidak logis bagi Khawlah untuk merujuk kepada Aisyah yang baru berumur 6 tahun.
Tetapi Muhammad sendiri yang memilih untuk menikahi Aisyah yang berumur enam tahun daripada Asma’, kakak perempuannya!
Muhammad menikahi Aisyah ketika dia berumur 6 tahun, namun dia tidak melakukan hubungan badan dengannya hingga dia berumur 9. Dimanakah ada aturan moral di dunia ini yang mengizinkan seorang anak perempuan berumur 6 tahun untuk menikahi seorang laki-laki yang berumur lebih dari 50 tahun? Jika sesuatu seperti ini terjadi dalam sebuah masyarakat dengan hukum yang beradab, orang tersebut – bila ia waras – akan dilempar ke dalam penjara. Saya berharap cerita tersebut tidak benar, namun sayangnya, semua referensi Islam memastikan keaslian dan kebenarannya! Bagaimana Allah bisa sedemikian masa-bodo dan tidak adilnya, mengingat ulama Muslim membenarkannya: “Allah memilih dan menuntun dia dalam pernikahan - pernikahan tersebut?”
Kita membutuhkan sebuah jawaban yang datang dari hati nurani dan datang dari Kebenaran, bukan dari fanatisme buta, ketakutan dan harga diri.
*[Wahyu yang berkata “Aku hanya manusia biasa seperti kamu”, kembali diuji ketika Muhammad meninggal dan sekaligus menjadikan semua istrinya janda yang tidak boleh menikah lagi.]
Tatkala itu Aisyah baru berumur sekitar 18 tahun. Namun, janda muda ini, diharamkan untuk menikah lagi. Mantan Istri-istri sang nabi tidak diizinkan untuk menikah atau berpacaran lagi, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Mengapa Allah melakukan ini? Adakah keadilan dan kasih sayang di dalam perintah itu? Saya tak tahu lagi bagaimana melanjutkan diskusi tentang nasib Aisyah, yang masa kanak-kanaknya sudah dikorbankan, dan kini masa janda mudanya masih dicekal!
[Kita teringat satu tantangan dalam website “ex-Muslim” Faith Freedom International, yang berkata: “Saya bersumpah akan kembali ke Islam jika ada Muslim di situs ini yang merelakan puteri mereka yang berumur 9 tahun untuk berbagi ranjang dengan saya sesuai dengan apa yang dicontohkan (sunnah) oleh Muhammad.]
3. Zainab bint Jahsy
Pernikahan ketiga Muhammad adalah sebuah tragedi moral terbesar, yang hanya berisi nafsu seks dan birahi belaka. Selagi Anda membaca, coba tanyakan pada diri Anda sendiri, “Dimanakah pertalian dan penguatan suku dalam sebuah perkawinan ini?” “Adakah hubungan antara pernikahan ini dengan kenabian?”
Khadijah, istri pertama dari Muhammad, membeli seorang budak bernama Zayd Ibn Haritha yang kemudian diberikannya sebagai hadiah kepada suaminya, untuk menjadi pelayannya. Namun setelah Muhammad mendapat panggilan kenabian, dia membebaskan Zayd dan mengadopsinya sebagai anak di muka umum, dimana dia berkata, “Zayd adalah anakku, saya mewarisinya dan dia mewarisiku.” Setelah itu, dia kemudian dikenal dengan sebutan “Zayd, anak dari Muhammad.” Singkat cerita, akhirnya, Zainab menikahi Zayd atas desakan Muhammad. Namun yang terjadi kemudian sangatlah aneh, mengejutkan dan menjijikkan.
Suatu hari Muhammad pergi untuk mengunjungi anak angkatnya, Zayd. Ketika dia memasuki rumah Zayd, dia sedang tidak ada di rumah. Muhammad melihat Zainab setengah telanjang dibalik tirai ketika dia sedang berpakaian. Muhammad menginginkannya, namun dia takut untuk masuk. Sebelum dia pergi, dia berkata kepadanya., “Terpujilah Allah yang dapat merubah hati seseorang.” Zainab senang dan kemudian memberitahukan kunjungan tersebut dan pernyataan Muhammad pada suaminya. Zayd langsung menemui Muhammad dan bertanya: “Apakah engkau menginginkan aku menceraikannya untukmu?” Muhammad menjawab: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” Pada awalnya merupakan sikap yang masih mulia dari Muhammad. Namun, yang terisi dalam hati dan jiwa Muhammad sangat berbeda dengan apa yang dikatakan mulutnya, karena dia benar-benar menginginkannya sebagaimana yang dicatat oleh Al-Zamkhashri: “Penampilan luar dari Muhammad berbeda dengan apa yang ada di dalamnya.”9 Singkatnya, di luar, terlihat bahwa Muhammad tidak ingin Zayd menceraikan Zainab, namun keinginannya berlawanan: karena Muhammad jatuh cinta kepada Zainab, ketika dia melihatnya setengah telanjang.10
Al-Qur’an menyatakan kepada kita bahwa Muhammad jatuh cinta dan menginginkan Zainab menjadi istrinya. Tetapi dia ragu terhadap perkataan orang tentang dirinya, mengambil istri dari anak angkatnya. Namun Allahnya Muhammad mendatanginya untuk memarahinya atas keragu-raguannya. Anehnya, justru Allah yang menginginkan wanita itu untuk meninggalkan suaminya dan melanggar semua norma moralitas, agar Muhammad bisa mendapatkannya. Ini jelas terlihat dalam Al-Qur’an:
“Dan, ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zayd telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya, Kami kawinkan kamu dengan dia…”11
Waktu tidak berlangsung lama antara Surat 33:36 (ketika Allah lewat Muhammad meyakinkan Zayd sebagai laki-laki mukmin untuk tetap dalam pernikahan yang dia walikan) dan Surat 33:37, dimana Allah berbalik memerintahkan Zayd untuk meninggalkan Zainab sehingga sang nabi itu dapat menikahinya. Apa yang mengakibatkan Allahnya sang nabi itu untuk merubah pikirannya? Apakah tuhan itu sebuah mainan di tangan Muhammad, sehingga sebuat ayat baru akan turun untuk meniadakan ayat yang datang sebelumnya?
*[Sungguh aneh, bahwa tuhannya Muhammad tidak merekonsiliasikan dan tidak mampu menolong kelangsungan keluarga Zayd-Zainab. Dan Muhammad tidak tampak membantu mendoakan pemulihan keluarga ini lewat kuasa Tuhan. Sebaliknya, Allah yang satu ini – seperti manusia saja – hanya merasa perlu buru-buru menggantikan kehancuran rumah tangga tersebut (yang adalah keluarga dari anak angkatnya Rasul Allah) dengan menetapkan perkawinan yang baru untuk Muhammad?] Macam apakah tuhannya yang satu ini?
Dalam bukunya, The Life of Muhammad, Dr. Haykal menolak cerita tentang Zayd dan Zainab ini. Dia mendeskripsikannya sebagai sesuatu yang memalukan dan dia menuduh kaum misionaris dan peneliti Barat mengada-adakannya untuk menjatuhkan Islam dan nabinya. Ketika saya masih seorang Muslim, saya berharap Dr. Haykal benar dan semua cerita merendahkan terhadap Muhammad memang kebohongan belaka. Namun, kita harus menatap fakta pahitnya dan membaca jawaban Dr. bint Al-Shati’, seorang ulama Muslim yang cukup terkenal, yang menyatakan kebenaran apa adanya:
“Cerita tentang Muhammad, sang Rasul, yang mengagumi Zainab … dan bagaimana dia meninggalkan rumah Zainab dengan berkata, “Terpujilah Allah yang merubah hati seseorang”, diceritakan kepada kita oleh pendahulu-pendahulu yang baik seperti Imam Al-Tabari dalam buku sejarahnya dan oleh Abu Ja’far Ibn Habib Al-Nabeh dan yang dikasihi Al-Tabari, dan tetangga Allah, Al-Zamkhashri. Orang-orang tersebut mengkisahkan cerita ini sebelum dunia mendengarkan Perang Salib, penginjilan, dan misionaris Barat. ... Mengapa kita harus menyangkal bahwa sang Rasul adalah manusia yang melihat Zainab dan mengaguminya... Muhammad tidak pernah menyatakan dirinya sempurna, tanpa nafsu manusia. Sebagaimana dia bergairah ketika melihat Aisyah daripada istri-istrinya yang lain, dia mengatakan, “Allah, jangan salahkan aku karena tidak memiliki apa yang engkau miliki (kemampuan menahan diri).”12
Semua kisah diatas adalah fakta, dibenarkan oleh para tokoh Muslim, bukan rekayasa misionaris Barat seperti dituduhkan oleh Haykal.
*[Bahkan pihak Muslim pulalah yang ingin menyembunyikannya atau – seperti halnya Ibn Kathir – menghapusnya dari khazanah Islam karena dianggap tidak sehat, “kami ingin menghapus beberapa halaman dari kisah tersebut, sebab tidak sehat, dan kami tidak akan sebut lagi”. (Ibn. Kathir, Tafsir, vol.3, p.491)]
Apakah seharusnya kita masing-masing memiliki tuhan dan “jibril” kita sendiri-sendiri agar kita dapat melakukan apa yang kita mau, dan menolak apa yang tidak kita inginkan, dengan berkedok bahwa tuhan yang memerintahkannya lewat “jibril” demi membenarkan tindakan kita?
Mari kita bandingan hal ini dengan kehidupan Raja Daud, “Nabi Daud” bagi kaum Muslim. Daud bernafsu atas istri orang lain. Namun betapapun dia disayangi oleh Tuhan, Tuhan tidak membiarkan perselingkuhan tersebut terjadi begitu saja hanya karena Daud adalah seorang nabi dan seorang raja. Sebaliknya, Tuhan menegur dan menghukumnya dengan keras. Ancaman Tuhan berkumandang di seluruh Israel (!) saat Dia berkata kepada Daud: “Oleh sebab itu, pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya, karena engkau telah menghina Aku dan menambil isteri Uria, orang Het itu, untuk menjadi isterimu.” (2 Samuel 12:10).
Daud menjawab dengan ratapan:
“Kasihanilah aku, ya Tuhan, menurut kasih setiaMu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmatMu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku…. Jadikanlah hatiku tahir, ya Tuhan, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” (Mazmur 51:3-5, 12)
Dengan kata lain, Tuhan adalah Tuhan yang suci dan murni yang tidak berkompromi dan berkonsesi dengan dosa. Kesuciannya untuk dosa siapapun, baik itu Daud maupun Muhammad. Tuhan yang Sejati menghukum dosa dan tidak malah memberinya hadiah! Sebaliknya Muhammad melakukan apa saja yang ia mau dan itu absah saja.
Zainab sendiri menjelaskan:
“Setelah bercerai, langsung dan lihatlah, Rasul Allah memasuki rumah saya saat saya sedang tidak berjilbab dan saya bertanya kepadanya, “Apakah akan seperti ini tanpa wali atau saksi?” Dia menjawab kepada saya, “Allah adalah walinya dan “jibril” adalah saksinya.”
Akibat dari pernyataannya, Zainab menyombongkan diri di depan istri-istri Muhammad lainnya dengan mengatakan: “Ayah-ayahmu yang memberikan kamu dalam pernikahan, namun untuk saya, surgalah yang memberikan saya dalam pernikahan dengan Rasul Allah.”13
Namun agar Muhammad bisa keluar dari issue sah tidaknya ia mengawini Zainab, kembali “jibril” siap sedia menurunkan ayat dari tuhannya, menyatakan bahwa dia tidak bukan mengadopsi Zayd seperti yang umum maksudkan. Sehingga, khusus menikahi Zainab sesungguhnya sah: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”14
Ulama terpandang mencatat dalam bukunya, Al-Sira Al-Halabia: “Jika Muhammad bernafsu atas wanita yang sudah menikah, menjadi keharusan bagi suaminya untuk menceraikannya untuk dia (Muhammad).15
[Sedangkan ada seorang Nabi lain yang justru mengatakan dalam otoritas dan kekudusanNya: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”. (Mat.5:27-28)]
Jadi dimanakah alasan-alasan yang dilemparkan para ulama bahwa pernikahan Muhammad hanya semata untuk menguatkan hubungan Islam antar suku? Dimanakah aspek “demi kepentingan Islam”nya?
4. Safiyah bint Huyay
Pernikahan Muhammad ke-4 adalah dengan Safiyah, anak perempuan dari Huyay, seorang Yahudi. Pada waktu itu adalah tahun ke-7 Hijrah,16 ketika Muhammad memerintahkan serangan terhadap suku Khaibar. Pada serangan tersebut, banyak orang Khaibar tewas, banyak harta yang dirampas, dan wanita-wanita yang dijadikan tahanan. Diantara para tahanan tersebut termasuk Safiyah, suaminya, Kinana, dan ayahnya. Muhammad memerintahkan ayahnya dibunuh, dan suaminya disiksa hingga dia mengungkapkan tempat persembunyian uangnya. Setelah dia memberitahu mereka, Muhammad memerintahkan dia dibunuh lalu menikahi istrinya.
Setelah serangan tersebut, Dihya Al-Kalbi, meminta kepada Muhammad atas beberapa tawanan wanita. Muhammad mengatakan: “Pergilah dan ambillah siapapun yang sesuai denganmu.” Dihya mengambil Safiyah, namun kebahagiaannya tidak berlangsung lama karena salah seorang anak buah mengatakan kepada Muhammad: “Wahai, Rasul Allah, apakah engkau memberikan Safiyah kepada Dihya? Hanya engkaulah yang berhak mendapatkannya.” Muhammad mengatakan: “Bawa Dihya dan Safiyah kemari.”
Ketika mereka datang kehadapannya dan dia melihat Safiyah yang cantik, dia berkata kepada Dihya, “Pergi dan ambillah wanita lain.” Dia kemudian memerintahkan pembantu perempuannya untuk menyiapkan Safiyah, sehingga dia dapat bersetubuh dengannya pada malam yang sama. Umm Salamah mendiskripsikan Safiyah demikian: “Saya tidak pernah melihat dalam hidup saya wanita yang lebih cantik dari Safiyah.”17
Ketika Muhammad menikahinya, Safiyah baru berumur 17 tahun, dan masih dalam bulan pertama pernikahannya dengan Kinana. Muhammad berumur enam puluh dua tahun. Dan tiga tahun kemudian Safiyah menjadi seorang janda untuk kedua kalinya, pada saat Muhammad meninggal. Namun, beda dengan janda sebelumnya, kali ini dia tidak diperbolehkan untuk menikah lagi. (Beginikah model perkawinan yang di sunnah-kan Nabinya?) Dan Muslim masih juga mengimani bahwa sang nabi menikahi banyak wanita – sekalipun itu di bawah umur – adalah untuk memperkuat ikatan Islam atau karena nabi berbelas kasihan kepada mereka? Namun pandangan saya sekarang jadi jelas dan saya lebih mengerti, ketika diperhadapkan dengan pernikahan Khadijah, Aisyah, Zainab, dan Safiyah.
5. Juwairiyyah bint Al-Haris
Pernikahan yang ke-5 adalah dengan Juwairiyyah bint Al-Haris. Juwairiyyah berumur 20 tahun ketika Muhammad pada usia 59 menikahinya. (Juwairiyyah dinikahi satu tahun sebelum Safiyah). Aisyah, yang katanya dikenal sebagai “Ibu Orang Beriman” mengkisahkan” ceritanya:
“Ketika Rasul Allah (Muhammad) membagi-bagi tawanan dari anak-anak Mustaliq, Juwairiyyah diberikan kepada Thabit bin Qais.18 Dia adalah seorang wanita berusia dua puluh tahunan dan sangat cantik. Tidak seorangpun yang melihatnya tidak mengaguminya. Ketika saya melihatnya di pintu rumah saya, saya membencinya, karena saya yakin Rasul Allah melihat di dalam dirinya apa yang saya lihat dari kecantikannya.”19
Di manakah pertalian antara kaum Muslim dalam masing-masing pernikahan, terutama pernikahannya dengan seorang Yahudi? Apakah karena belas kasihan sehingga dia (Muhammad) menikahi bani asing, padahal dia telah menyogok Thabit dengan uang supaya dia membiarkannya sendiri? Ini adalah pertanyaan yang saya ajukan kepada kaum Muslim.
6. Umm Salamah
Pernikahan keenam dari Muhammad adalah dengan wanita cantik lainnya yang bernama Umm Salamah. Lagi-lagi Aisyah, korban pertama dari sang nabi besar, mengatakan: “Ketika Rasul Allah menikahi Umm Salamah, saya terpuruk dalam kesedihan besar saat dia membicarakan kecantikannya, namun ketika saya melihatnya, saya melihat apa yang dia gambarkan.”20
Umm Salamah adalah anak perempuan dari saudara perempuan ‘Utsman bin Affan (khalifah yang ketiga). Ketika Muhammad pertama kali melihatnya di rumah ‘Utsman, dia lalu mengingininya. Dua puluh empat jam kemudian, nabi memerintahkan suaminya, Ghassan bin Mughira untuk membawa bendera di depan pada pertempuran berikutnya. Dia mela-kukannya dan dia tewas dalam pertempuran itu. Keesokan harinya, sang nabi besar itu menikahi Umm Salamah. Begitulah cara dia menjadi istrinya.
Aneh memang kehidupan dari sang nabi ini. Sungguh teramat ganjil bilamana semua itu atas perintah Allah demi agama yang diturunkannya! Dan terlebih ganjil lagi bilamana banyak ulama Muslim mengatakan itu adalah belas-kasihan sang Nabi kepada para janda perempuan!
Tuhan macam apa yang tidak mempunyai pekerjaan lain selain dari memastikan kehidupan seks sang nabi terpuaskan? Tuhan macam apa yang akan memastikan seorang suami dibunuh, atau seorang wanita diceraikan agar sang nabi dapat mendapatkan wanita yang dia inginkan? Tuhan saya Yang Maha Benar berada di atas hal-hal ini dan merataplah mereka ketika mereka berdiri di hadapan Tuhan Yang Sejati pada Hari Penghakiman. Apakah umat Muslim pernah memikirkan dengan jujur mengapa kekerasan terjadi dalam lingkaran-lingkaran Islam, yang diyakini sebagai agama pembawa damai dan rahmat bagi alam sejagat ini?
7. Sawdah bin Zam’ah
Ini adalah kisah mengenai pernikahan Muhammad dengan Sawdah bin Zam’ah. Dia adalah satu-satunya istri Muhammad yang tidak cantik. Namun, banyak ahli Muslim menggambarkannya sebagai seseorang yang baik hati dan sangat cantik di dalam.
Ketika Khadijah meninggal, Khawlah bint Hakim mendatangi Muhammad dan dia bertanya kepadanya, “Apakah engkau menginginkan seorang perawan atau janda?” Dia (Muhammad) meminta kedua-duanya. Yang perawan adalah anak perempuan Bakar dan yang bukan perawan adalah Sawdah. Namun dia terkejut setelah mengetahui, pada malam pernikahannya bahwa Sawdah tidak cantik. Muhammad marah dan memarahi Khawlah karena memperkenalkannya dengan dia. Ibn Hajar Asqalani menulis: “Khawlah, guna memperbaiki kesalahannya, menawarkan dirinya kepada dia (Muhammad), dan dia tinggal bersamanya sebagai suami dan istri, dan itu hanya terjadi dua bulan setelah pernikahannya dengan Sawdah.”21
Dr. bint Al-Shati’ mengatakan dalam bukunya:
“Ketika suatu malam dengan Sawdah (dimana dia akan tidur dengannya), sang nabi memberitahunya tentang keputusannya untuk menceraikannya. Dia sangat terkejut mendengar berita itu dan dia merasa seolah-olah dinding-dinding sedang menimpanya. Dia memohon kepadanya, “Tolong, simpan aku, Wahai Rasul Allah.” Dia menjawabnya, “Dengan satu syarat, bahwa kamu memberikan jatah malam-malammu kepada Aisyah.” Daripada menghabiskan malam-malam tersebut dengan Sawdah, dia menghabiskannya dengan Aisyah ditambah dengan malam-malam lain yang sudah dijatahkan baginya. Sawdah sepakat, sambil mengatakan, “Mulai sekarang, saya tidak akan mengingini apa yang diinginkan oleh seorang wanita, karena saya memberikan jatah malam saya kepada Aisyah.” Akibatnya, Muhammad menyimpannya sebagai seorang istri, tetapi tidak lagi mengunjunginya.”22
Hanya dialah istri Muhammad yang tidak cantik secara fisik. Namun, ia adalah yang paling cantik dalam karakter dan moral. Tetapi bagi sang nabi soal karakter, moralitas dan kecantikan jiwa sama sekali tidak disyaratkan. Dia malah mengancam akan menceraikannya, jika dia tidak setuju untuk memberikan jatah malamnya kepada Aisyah. Sawdah yang teramat malang...
8. Umm Habibah (Ramlah) bint Abu-Sufyan
Umm Habibah sebelumnya menikah dengan Ubayd-Allah bin Jahsh. Ubayd-Allah adalah anak dari bibi Muhammad sendiri, dan sekaligus adalah saudara kandung dari Zainab yang dikawini Muhammad seminggu sebelumnya, dan apa yang terjadi dalam acara perkawinan tersebut? Ternyata ia menantang Muhammad dengan berkata kepadanya: “Engkau bukanlah seorang nabi ataupun seorang Rasul Allah. Berhentilah mengatakan demikian. Saya mengimani Al-Masih karena Dia adalah Kebenaran, tetapi engkau adalah orang yang mementingkan diri sendiri.” Ubayd dipaksa untuk pergi dan Muhammad menikahi isterinya. Pada waktu itu, Umm Habibah adalah seorang wanita cantik, berusia dua puluh tiga tahun.23
9. Maryam Qibtiyah (Maria, kristen Mesir)
Kisah Muhammad dengan Maria orang Mesir agak berbeda. Amro bin Al-Aaz membawa sebuah surat dari Muhmmad kepada Al-Muqawqis, penguasa Mesir, dan memerintahkan untuk memeluk Islam. Mengetahui kelemahan Muhammad, agar tidak beresiko, dia memberikannya hadiah berupa dua orang saudara perempuannya yang sangat cantik. Jika bukan karena sebuah ayat Al-Quran yang turun sebelumnya yang melarang menikahi dua orang saudara perempuan, Muhammad mungkin akan melakukannya. Walaupun demikian, dia hampir melanggar ayat Allah itu, dan menikahi mereka berdua, jika bukan karena nasihat ayah mertuanya, Umar, yang menegurnya. Muhammad puas dengan Maria, mengunjunginya dan menghabiskan banyak waktu siang dan malam dengannya tanpa bosan-bosan.24
Satu kali Maria ingin bertemu dengan Muhammad, jadi dia pergi untuk menemuinya di rumah istrinya, Hafsah, puteri dari Umar, yang sedang tidak ada di rumah pada waktu itu. Tetapi ketika Hafsah tiba-tiba pulang, dia menemukan Muhammad sedang berhubungan intim dengan Maria di tempat tidurnya sendiri! Dia berkata kepada Muhammad:
“Di dalam rumahku dan di atas tempat tidurku dan pada hari yang ditentukan untukku…” Nabi, yang menerima pewahyuan Allah berkata: “Rahasiakanlah dan jangan katakan siapapun. Jangan katakan kepada Aisyah (karena ia sangat takut terhadap Aisyah). Dia menambahkan: “Saya tidak akan menyentuh Maria lagi. Dan saya nyatakan kepadamu dan ayahmu serta ayah Aisyah, bahwa mereka akan memimpin bangsaku setelah aku. Saya tinggalkan hal itu kepada mereka”. Tetapi Hafsah memberitahu Aisyah dan Muhammad menceraikan Hafsah.25
Ketika kabar mengenai perceraian tersebut terdengar oleh Umar, ayah Hafsah, dia menjadi sangat marah dan nyaris meninggalkan Islam. Ketika Muhammad mendengar reaksi Umar, dia mengambil kembali Hafsah dengan sebuah perintah dari “jibril”yang berkata kepadanya: “Hafsah akan menjadi istrimu pada hari pengangkatan.”26 Bagaimana sang nabi besar itu dapat menyelamatkan semua masalah kawin-mawin yang dia ulahi sendiri ini? Seperti biasanya, melalui ayat-ayat suci yang diucapkan sebagai wahyu dari tuhannya. Misalnya, Surat Al-Tahrim turun untuk menegur Muhammad karena ”terlanjur” dalam mengharamkan Maria. Mari kita baca Surat ini, yang menghalalkan kembali sang nabi berhubungan intim dengan Maria: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”27
Dalam surat 66:4-5, Allahnya Muhammad memberitahu istri-istri sang nabi:
“Jika kalian berdua (merujuk kepada Aisyah dan Hafsah) bertobat kepadanya, hatimu memang demikian keinginannya; namun jika kalian saling mendukung melawannya, sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan jibril dan (semua) orang benar diantara mereka yang beriman dan lebih dari itu, para malaikat akan mendukungnya. Jikapun, bila diinginkannya sang nabi untuk menceraikan kamu semua, Allah akan memberikan kepadanya (Muhammad) sebagai gantinya, pendamping-pendamping yang lebih baik darimu.”
Tidakkah itu semua menunjukkan bahwa Muhammad memiliki tuhan yang mendukungnya secara kebablasan?28
*[Coba bayangkan sejenak, untuk menyelesaikan love affair dan kecemburuan akibat ulah Muhammad sendiri, Allah sampai mengerahkan diriNya serta “jibril” dan seluruh umat beriman untuk membela sang nabi, dalam menentang dua wanita tak berdaya, Aisyah dan Hafsah, dengan memberikan ancaman dan ultimatum yang mematikan masa depan mereka.]
Allah berkata: “Jika kamu tidak berhenti menentang rasul Allah, Aku, Tuhannya, akan membuatnya menceraikanmu dan menikahi istri-istri lebih baik darimu.” Apakah Sang Pencipta dari alam semesta ini benar-benar tidak mempunyai pekerjaan yang lebih layak daripada mengurus langsung permasalahan yang amat sepele?
*[Dimanakah hikmat yang telah Allah berikan kepada setiap orang, apalagi kepada nabiNya, untuk private problem solving masing-masing?]
Saya yakini bahwa tuhan dengan kwalitas seperti itu pastilah bukan Tuhan, kecuali jebakan yang saling menipu daya dari atas ke bawah.
Terdapat banyak keganjilan mengenai kehidupan seorang nabi. Tetapi yang lebih ganjil lagi jika melihat umat Muslim yang membaca dan melihat realitas kehidupan Muhammad, namun tetap berjalan di belakang orang tersebut! Mengapa? Saya sudah ungkapkan mengenai “ketakutan terhadap yang menakutkan” yang menguasai dunia (pikiran) Islam. Dalam kenyataannya, banyak orang Muslim mengetahui betul sejarah hidup Muhammad; tetapi terperangkap dalam rethorika, intimidasi, teror dan ketakutan yang menguasai mereka. Kematian adalah hukuman bagi mereka yang meninggalkan Islam.29 Sejarah telah menceritakan kepada kita bahwa Abu Bakar memerintahkan sepuluh ribu orang dibunuh dalam tiga hari karena mereka memilih meninggalkan Islam.
10. Maimunah bint al-Haris
Maimunah mengakhiri bab (topik kawin-mawin) kita yang amat sangat melecehi dan menyakitkan wanita. Saya mengkisahkan kepada Anda, cerita dari Maimunah untuk memperjelas sebuah unsur penting: Muhammad melarang banyak hal untuk orang lain, tetapi dia mengizinkannya untuk dirinya sendiri. Kaum Muslim mengetahui bahwa selama musim haji (Al-Hajj) pernikahan dilarang46a, namun Muhammad justru menikahi Maimunah bint al-Haris pada saat musim haji. Maimunah sedang berada di atas untanya, tetapi ketika dia melihat sang nabi, dia menjatuhkan dirinya dihadapannya dan berkata kepadanya bahwa unta dan semua yang di atasnya adalah milik nabi. Muhammad masih sempat mengingatkan dia bahwa mereka tengah dalam musim haji, namun Maimunah menjawab bahwa dia tidak ingin menunggu.
Apakah mungkin untuk Muhammad untuk menahan diri hingga akhirnya musim haji? Pengalaman masa lalunya membuktikan dua hal: dia tidak dapat menolak kecantikan wanita dan sebuah solusi selalu tersedia untuknya. Sorenya pada hari yang sama, sang nabi berkata kepadanya, “Sebuah ayat diturunkan kepadaku”:
”... dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min ... supaya tidak menjadi kesempitan bagimu...”30
Sehingga Al-Abbas, paman nabi meresmikan, walau ia pernah mengomentari bahwa Muhammad sedang dalam pakaian Haji.31
Terlepas bahwa Muhammad memiliki banyak istri, Rasul Allah ini lagi-lagi tidak dapat menunggu berakhirnya masa datang bulan istri-istrinya. Dia memasuki mereka pada saat mereka sedang datang bulan, walaupun hal demikian diharamkan dalam Surat Al-Baqara.32
Dalam Hadits Sahih Muslim, Vol. I, halaman 590, kaum Muslim mengatakan, mengutip Nawai, bahwa Aisyah berkata:
“Jika salah satu dari kita sedang datang bulan, Rasul Allah memerintahkannya untuk datang kepadanya (Muhammad) untuk berhubungan intim, pada saat dia (istrinya) sedang berada dalam puncak datang bulannya.”
Maimunah berkata: ”Rasul Allah biasa melakukan hubungan intim denganku ketika aku sedang datang bulan.” Umm Salamah mengatakan hal yang sama.33
Bagaimana bisa sang nabi itu dapat melakukan semua hal yang terlarang dalam agama Islam yang disiarkannya? Sangat jelas, kehidupan, tindakan dan perilakunya tidak pernah sesuai dengan model yang Tuhan perintahkan dalam ajaran-ajaran suciNya. Bagaimana mungkin para ulama berseru agar umat Muslim meneladani hidup sang Nabi?! Semoga umat Muslim dapat menggunakan kekuatan penalaran mereka untuk keluar dari bondage yang menjeratnya!
No comments:
Post a Comment