Saturday, July 25, 2009

Mengenai Perzinahan, Quran 24.4 bilang:

[24.4] Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera

Tentu saja, para ahli hukum islam hanya akan menerima kesaksian empat lelaki. Para saksi ini harus menyatakan bahwa mereka telah benar2 “melihat secara langsung si tertuduh melakukan perbuatan yang dituduhkan, yakni perzinahan.” Sekali tuduhan zinah dibuat, si penuduh tsb ada kemungkinan mendapat hukuman jika dia tidak bisa mendatangkan kesaksian yang diperlukan. Kesaksian yang sama juga diperlukan dalam situasi berikut. Jika seorang lelaki masuk paksa kekamar seorang wanita dan memperkosa, misal enam orang wanita, dia tidak bisa dihukum karena tidak ada saksi lelaki yang menyaksikannya.

Tentu saja korban-korban perkosaan akan ragu untuk menuduh sipemerkosa dihadapan hukum, karena dia bisa balik jadi dihukum jika tidak bisa menghadapkan empat orang saksi lelaki yang menyaksikan langsung perkosaan itu. “Jika perkataan wanita saja dianggap cukup untuk kasus-kasus demikian,” Hakim Zharoor ul Haq dari Pakistan menerangkan, “maka tidak akan ada lelaki yang aman.”

Situasi yang tidak adil ini sungguh-sungguh memuakkan tapi tetap saja bagi hukum islam ini adalah satu cara untuk menghindari skandal sosial mengenai larangan-larangan seksual yang penting. Para wanita merasakan masalah perzinahan ini sangat mengekang mereka, pertamanya; seperti Quran 4.15 bilang:

Q 4.15 Kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.

Tapi belakangan ayat ini dibatalkan dan hukum rajam dipakai sebagai ganti hukuman untuk zinah pertama dan seratus cambukan bagi zinah kedua. Jika lelaki akan dirajam sampai mati dia dibawa ketempat yang tandus, lalu ditimpuk oleh saksi pertama, kemudian oleh sang hakim lalu oleh publik. Jika wanita dirajam, dia ditempatkan dalam sebuah lubang sedalam pinggang – Nabi sendiri yang memerintahkan prosedur ini. Sah-sah saja bagi seorang lelaki untuk membunuh istrinya dan kekasihnya jika dia menangkap basah mereka melakukan zinah.

Dalam kasus dimana seorang lelaki mencurigai istrinya zinah atau menyangkal keabsahan dari anaknya, kesaksian si lelaki berharga sama dengan empat lelaki. Surat 24.6:

[24.6] Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.

[24.7] Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.

[24.8] Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta,

[24.9] dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.

“Jika seorang lelaki menuduh isterinya tetapi tidak memiliki saksi2 kecuali dirinya sendiri, ia harus bersumpah 4 kali demi nama Allah bahwa tuduhannya benar, menantang azab Allah jika ia berbohong. Namun jika isterinya bersumpah 4 kali demi nama Allah bahwa tuduhan suaminya palsu dan menantang azab Allah jika ia (si suami) benar, maka ia tidak akan dihukum.

Kebalikan dari yang tersirat diatas, ini bukanlah sebuah contoh dari keadilan dalam Quran atau kesetaraan gender. Si Wanita benar lolos dari rajaman tapi dia tetap saja ditolak dan kehilangan hak hartanya dan hak nafkahnya, apapun hasil dari pengadilan tsb. Seorang wanita tidak punya hak untuk menuduh si suami dengan tuduhan yang serupa. Akhirnya, bagi muslim agar sebuah perkawinan menjadi sah harus ada banyak saksi. Bagi ulama, dua lelaki cukup sebagai saksi tapi dua atau tiga atau seribu wanita tidaklah cukup.

Mengenai hak waris, Quran bilang bahwa anak lelaki mewarisi dua kali dari anak perempuan:

[4.11] Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

[4.12] Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

Untuk membenarkan ketidakadilan ini, para penulis muslim bersandar pada fakta bahwa si wanita menerima mahar/mas kawin dan punya hak untuk mendapat biaya hidup dari si suami. Juga menurut hukum islam si ibu sama sekali tidak berkewajiban untuk memberikan apapun pada anak2 siwanita, dan jika si wanita mengeluarkan uang untuk anak2nya, ini, mengutip Bousquet, “diganti olehnya dari sisuami jika sisuami kembali mendapat keberuntungan yang lebih baik seperti kasus2 orang berzakat lain. Dg demikian tidak ada gunanya suami dan istri bersama menanggung biaya rumah tangga; beban ini hanya untuk sisuami saja. Tidak ada lagi urusan keuangan diantara mereka.”[25]

Poin yang terakhir yang diacu oleh Bousquet ini menegaskan aspek negatif dari perkawinan muslim – yaitu, tiadanya ‘hubungan’ antar ‘pasangan’ seperti dalam kekristenan. Sementara mengenai Mahar/Mas kawin, hanya sebagai rekonfirmasi kepemilikan silelaki atas diri siperempuan dalam hal seks dan perceraian. Lebih jauh lagi, dalam kenyataannya siwanita tidak memakai mas kawin itu untuk dia sendiri. Kebiasaan yang lazim adalah memakai mas kawin itu untuk memperbaiki rumah atau siwanita mempersembahkan pada ayahnya.

Menurut Malekites, sang wanita berkewajiban hukum memakai mas kawin untuk memperbaiki rumah. Hukum islam juga memberi hak pada pelindungnya untuk membatalkan perkawinan – bahkan jika siwanita sudah akil baliq juga – jika dia pikir mas kawinnya kurang. Dg demikian mas kawin, bukannya menjadi tanda dari kemerdekaan si wanita, tapi malah menambah simbol2 diperbudaknya siwanita.

Wanita punya hak untuk dinafkahi tapi ini juga hanya mempertegas ketergantungannya pada si suami, ini menekankan posisinya yg semakin lemah. Menurut ahli hukum islam, sang suami tidak wajib membayar biaya medis si istri jika sakit. Kemandirian finansial wanita tentu saja menjadi langkah pertama kebebasan wanita muslim dan dg demikian tidaklah heran ini dilihat sebagai ancaman bagi dominasi lelaki. Wanita muslim sekarang wajib mendapat tanggung jawab yang sama dalam hal merawat orang tuanya.

Artikel 158 dari hukum Syria menyatakan “sang anak – lelaki atau perempuan – wajib bertanggung jawab terhadap orang tuanya.” Melahirkan anak wanita masih dianggap sebagai malapetaka dalam masyarakat muslim. Sistem waris hanya menambah penderitaan siwanita dan ketergantungannya pada lelaki. Jika si wanita adalah anak satu2nya dia menerima hanya setengah dari warisan ayahnya; setengahnya lagi jatuh keanggota lelaki dari keluarga si ayah. Jika ada dua atau lebih anak perempuannya, mereka mewarisi 2/3. Ini mendorong para orang tua untuk lebih menyukai anak lelaki daripada perempuan agar mereka bisa meninggalkan lebih banyak harta warisan didalam keluarga mereka sendiri.

Q 43.17 “Yet when a new-born girl is announced to one of them his countenance darkens and he is filled with gloom

(terjemahan versi Depag: Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih.)

Terjemahan versi gue:

“Padahal ketika anak perempuan lahir diumumkan pada mereka, jadilah mukanya hitam pekat dan dipenuhi rasa sedih”

Situasi ini tambah parah lagi ketika siwanita kehilangan suami – dia hanya menerima seperempat dari warisan sang suami. Jika sang suami meninggalkan lebih dari satu istri, semua istrinya wajib saling berbagi diantara mereka, seperempat atau seperdelapan dari harta warisan.

Hak untuk membalas dendam[26] juga diakui oleh Islam. Surah 2.178 menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.” Dari ayat ini jelas bahwa laki2 dan wanita tidak berstatus legal sama. Ulama memutuskan bahwa dalam kasus2 penganiayaan uang ganti ruginya (dalam bahasa arabnya “diya”) untuk wanita adalah setengah daripada lelaki. untuk kaum Malek, diya untuk seorang wanita atau lelaki yahudi/kristen sama dengan setengah dari pria muslim – apa itu penganiayaan ataupun pembunuhan. Ulama juga memutuskan bahwa siapapun yang menyebabkan keguguran harus membayar diya; diya bagi bayi lelaki muslim dua kali dari bayi perempuan.

Otoritas pria atas wanita dan kepatuhan wanita pada lelaki ditegaskan dalam Quran (surah 4.34 dan 2.228).

Ahli hukum islam[27] sepakat bahwa lelaki lebih hebat dari perempuan dalam hal berpikir, pengetahuan dan kekuatan. Dan karena lelaki yang bertanggung jawab finansial untuk keluarga, tanpa dapat dibantah lagi, secara alami lelakilah yang harus punya kuasa total atas siwanita. Ahli hukum yang sama, tentu saja, sama sekali mengabaikan kondisi sosial yang berubah dimana si wanita mungkin menyumbangkan gajinya untuk menambah penghasilan keluarga – kuasa atas wanita tetap menjadi perintah “Ilahi” dan sebuah hal yang ‘alami’ atau ‘sudah selazimnya’. Para pemikir muslim terus menerus mengurung wanita dirumah – meninggalkan rumah dilarang Tuhan dan melanggar prinsip2 islam. Dikurung dirumah para wanita lantas jadi tidak punya pengalaman didunia luar! Dilemma atau cuma logika islamik belaka? Berikut contoh dari logika menakjubkan ini:

[Dengan keluar rumah seorang wanita] punya risiko bertemu bahaya yang bertentangan dengan kualitas spiritual kewanitaan yang dia menjelma didalam dirinya dan yang mana dia akan penuhi melalui kebaikan2 dalam hidupnya. Keluar rumah berlawanan dengan kehendak Tuhan dan dikutuk dalam islam. Tugas2 rumah tangganya terbatas dg demikian pengalaman yang dia dapatkan [juga terbatas]; sedangkan tugas2 lelaki ada diluar rumah, mencakup wawasan yang lebih luas; pengalaman dan hubungan2nya jauh lebih besar dan bervariasi.

Hak2 wanita disebuntukan dalam surah 2.228. Keunggulan pria meski demikian tidak pernah dilupakan. Wanita punya hak untuk dinafkahi, yaitu makanan, rumah dan pakaian. Dan itu, menurut Miss Khamis sudahlah sangat cukup – apa lagi yang bisa dipinta oleh seorang wanita? Kewajiban2 yang bertentangan dengan hak2 wanita adalah masalah lain lagi. Ahli hukum lain seperti berpikir bahwa muslimah harus menyibukkan diri dengan tugas rumah tangganya, mengutip hadis terkenal yang meriwayatkan bahwa sang Nabi memerintahkan anak perempuannya Fatima untuk diam saja dirumah dan mengerjakan tugas2 rumah tangganya dan suaminya Ali mengerjakan tugas2 kewajiban diluar rumah. Ahli lain berpendapat bahwa tugasnya bukanlah menyibukkan diri dengan rumah, “Kewajiban utamanya adalah tinggal didalam rumah untuk memuaskan hasrat seksual sang suami.” Al-Ghazali dalam buku “Proof of Islam,” merangkum sbb:

[Lelaki menikah] dg tujuan untuk menghilangkan pikiran akan masalah2 dirumah: dapur, bersih2, seks. Lelaki, misal dia mampu hidup tanpa seks, tidak akan mampu hidup sendirian. Jika dia melakukan semua tugas rumah sendiri, dia tidak akan mampu lagi mengabdikan diri dalam kerja intelektual atau pengetahuan. Istri yang saleh yang membuat dirinya berguna dirumah adalah teman yang menolong suaminya.. sekaligus yang memuaskan hasrat2 seksualnya.[28]

Diatas itu semua, wanita yang saleh adalah yang patuh dan kepatuhannya dengan kuat dihubungkan dengan kepatuhan pada Tuhan. Menurut hadis, wanita yang mendirikan sholat lima waktu, puasa, menjaga kesucian dan mematuhi suami akan masuk surga. Ahli hukum muslim lebih jauh memastikan wanita patuh bahwa pahala mereka “akan sama dengan para muslim yang berperang untuk mempertahankan dan menyebarkan iman islam.” Hadis2 yg memerintahkan sang istri untuk patuh banyak sekali:

- Jika diberikan padaku untuk memerintahkan seseorang bersujud dihadapan selain Tuhan, pastilah kuperintahkan para wanita untuk bersujud dihadapan suami2 mereka.. Seorang wanita tidak dapat memenuhi kewajiban2nya terhadap Tuhan tanpa lebih dulu menyempurnakan kewajiban2 mereka pada sang suami.

- Wanita yang meninggal dan suaminya puas padanya akan masuk surga.

- Wanita saleh adalah wanita yang timbul rasa senang setiap kali suaminya memandang dia; dan yang mematuhinya segera ketika suami memerintahkan dia dan yang menjaga kesuciannya dan harta miliknya ketika sang suami tidak ada.

Sang istri bisa menolak melakukan pekerjaan Rumah Tangganya – itu haknya – tapi dengan melakukan itu dia menjadi tidak patuh pada sang suami dan akibatnya pada Tuhan juga. Seperti Simone de Beauvoir[29] katakan,

Lelaki menikmati keuntungan besar karena punya Tuhan yang berpihak pada mereka lewat perintah2 yang dituliskannya dan karena lelaki menjalankan hak kuasanya atas wanita, ini sungguh sangat beruntung karena mendapat otoritas yang diberikan oleh Yang Maha Tinggi. Bagi orang Yahudi, Mohammedan dan kristen, misalnya, lelaki adalah tuan dan itu disahkan oleh kitab tuhan; Rasa takut pada Tuhan dengan demikian akan menekan kehendak untuk berontak dalam diri wanita. Orang bisa menumpuk kepercayaannya. Wanita menuruti sikap respek dan kesetiaan didalam jagat raya maskulin.

Jika dia menolak patuh pada suaminya, sang suami bisa mengajukan keluhan pada hakim yang dengan mudahnya menemukan sang wanita salah dan memerintahkan untuk patuh. Jika dia menolak tunduk pada putusan itu, Undang-undang hukum pidana Mesir dan Libya, artikel 212 menyatakan[30] bahwa “penghakiman bisa diterapkan dengan cara kekerasan jika situasi menuntut demikian. Rumah bisa dijaga dengan paksa jika perlu sesuai instruksi hakim.” Hukum ini didasarkan pada larangan islam agar wanita tidak boleh keluar rumah. Islam telah memberi pria alat untuk menghukum istrinya jika dia tetap tidak patuh (lihat surah 4.34 diatas). Sang istri tentunya tidak punya hak untuk menegur sang suami; lelaki diperingatkan agar jangan mendengarkan istri: “Ketidak bahagiaan datang pada mereka yang jadi budak wanita,” kata hadis. Hadis lain mengatakan, “Ambil posisi yang berpihak melawan wanita; ada kebaikan dalam posisi demikian.” Tapi hadis lain mengatakan, “Ketika seorang lelaki mulai mematuhi setiap kehendak wanita, Tuhan langsung melemparnya keneraka.” Menurut para teolog[31] sang suami punya hak untuk melakukan hukuman fisik pada istrinya jika dia:

1. Menolak mempercantik dirinya bagi sang suami;
2. Menolak memenuhi kebutuhan seksualnya;
3. Meninggalkan rumah tanpa ijin atau tanpa alasan sah menurut hukum; atau
4. Mengabaikan kewajiban2 agamanya.

Sebuah hadis disebuntukan dikatakan oleh sang nabi; “Gantung cambuk dimana istrimu bisa melihatnya.” Terdapat sejumlah hadis lain yang bertentangan dengan ini. Dalam hadis2 itu, Muhammad dengan tegas melarang lelaki untuk memukul istrinya – yang mana ini bertentangan dengan ayat dalam Quran itu sendiri (4:34), yang merupakan Hukum Allah tertinggi, yang mengijinkan pemukulan tsb.

Apa yang bisa menolong seorang wanita terhadap suami yang sulit? Quran menyatakan secara samar tentang “Perjanjian” bersama (Surah 4.128 “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”) Bagi teolog modern, meski sang suami itu kejam, penuntut atau sulit, tetap sang istri yang harus beradaptasi, berubah dan menyesuaikan dengan kehendak2 sang suami.

Kerudung[32]

Kata arab “Hijab” kadang diterjemahkan sebagai ‘kerudung’, tapi bisa berarti apapun yang mencegah sesuatu terlihat – cadar, gorden bahkan dinding dan hymen (selaput dara). Akar dari kata kerja “hajaba” artinya “untuk menyembunyikan”. Perluasannya hijab dipakai untuk mengartikan sesuatu yang terpisah, membatasi, menetapkan rintangan. Akhirnya hijab jadi punya kesan larangan moral. Quran juga memakai dua kata lain, ‘djilbab’ dan ‘Khibar’. Yang pertama juga diterjemahkan sebagai kerudung, tapi kadang juga sebagai pakaian luar bahkan kadang sebagai jubah. Khibar juga diterjemahkan sebagai kerudung tapi juga sebagai syal, selendang. Jika kita kesampingkan tatanan bahasa2 ini, kita juga boleh menyebut nama2 pakaian lain yang digunakan untuk menutupi muslimah disebagian atau seluruh dunia islam. Di Maroko, Aljazair dan Tunisia disebut haik, safsari, akhnif dan adjar. Di Mesir, Israel, Syria, Irak dan diantara kaum Bedouin disebut abaya, tarna, izar, milhafa, khabara, chambar, niqab, litham dan burka; di Iran, bourda, tchador, pitcha dan rouband; di Turki, yatchmek, yalek, harmaniya dan entari; di india dan Pakistan, burka.

Dalam perjuangan bagi kebebasan muslimah, kerudung telah menjadi sebuah perlambang perbudakan mereka. Tahun 1923 Presiden dari Persatuan Feminis Mesir, Ms. Houda Cha’araroui dan koleganya bersikap menantang dengan membuang kerudung mereka kelaut. Juga tahun 1927 ada kampanye “de-hijabisasi” oleh kaum komunis Turkestan. Tidak kurang dari 87.000 wanita Uzbekistan didepan umum menanggalkan “kerudung hitam” mereka, sekitar 300 orang dari mereka terbunuh oleh sang kepala keluarga karena dianggap mengkhianati islam. Tahun 1928, pada saat perayaan kemerdekaan, Shah dari Afghanistan memerintahkan istrinya untuk membuka kerudung dimuka umum. Tapi sang shah harus mundur dari proyeknya tentang emansipasi wanita karena terlibat skandal publik. Dia sendiri merasa wajib untuk mengabdikan dirinya untuk emansipasi itu. Tahun 1936 Reza Shah Iran melarang cadar dengan sebuah dekrit khusus. Jelas penduduk saat itu belum siap untuk melepas tradisi mereka jadi setelah terjadi protes besar-besaran tahun 1941 dia harus menarik dekritnya.

Hijab ini juga dipaksakan dalam Quran (lihat surah 33.53, 33.59 dan 33.32-33) dan juga:

[24.31] Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Kerudung dan perintah untuk tinggal dirumah bagi muslimah ada menyatu dalam islam; karena jelas bahwa wanita Bedouin menikmati kebebasan yang cukup, menemani suami2 mereka dalam perjalanan jauh dan kadang mereka tidak tergantikan. Tapi semua ini diubah ketika Islam mulai menjadi fenomena kaum urban dan kontak dengan peradaban yang lebih berkembang dimana kebiasaan2nya diadopsi para muslim. Kerudung diadopsi orang arab dari orang2 Persia, dan kewajiban para wanita untuk tinggal dirumah saja adalah tradisi yang dicontek dari Byzantin, yang juga mencontek dari kebiasaan kuno Yunani.

Tentunya, para teolog muslim punya penjelasan yang sama sekali berbeda mengenai asal muasal hijab ini. Menurut mereka ini diterapkan pada wanita oleh Tuhan untuk menyenangkan satu orang, yakni Omar ibn al-Khallab. Mereka mengacu pada sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Umar satu hari berkata pada sang nabi: “orang saleh dan mata keranjang mudah sekali masuk rumahmu dan melihat istri2mu. Kenapa tidak kau perintahkan ibu2 semua orang percaya itu untuk menutupi diri mereka?” dan Muhammad otomatis menerima wahyu yang ayatnya sudah kita kutip tadi. Menurut versi lain, diriwayatkan oleh Aisha, Umar tidak sengaja menyentuh tangannya dan minta maaf sambil berkata bahwa kalau saja dia punya kuasa tak seorangpun akan bisa melirik dia (Aisha). Tapi periwayatan yg lain lagi ada ditulis di al-Tabari.

Fungsi sesungguhnya dari Hijab adalah untuk menutupi Aurat yang tidak berhak untuk kita lihat. Aurat artinya adalah bagian tubuh yg memalukan dan dalam bagian itu kita menyembunyikan harga diri dan martabat. Sedang para wanita, keseluruhan tubuh mereka merupakan Aurat.[33] Menurut ahli muslim, aurat lelaki terdiri dari bagian tubuh antara puser dan lutut dan harus ditutupi kecuali dihadapan istri atau selir. Mengenai aurat wanita, sepertinya tak ada yang sepakat atau sependapat. Menurut Hanafi, wanita dapat membuka wajah dan tangannya, sepanjang hal itu tidak menyebabkan atau memancing godaan, rayuan atau perselisihan. Sedang tiga sekte Sunni lainnya berpendapat wanita hanya boleh membuka wajah dan tangan jika keadaan darurat saja – perlu perawatan medis misalnya. Sikap kaum Liberal terhadap kaum Hanafi sepertinya jelas dan tidak sungguh2[34] – pada kenyataannya, wanita cukup tersenyum dan terlihat cantik dihadapan para Ulama jika ingin aturan kerudung ini lebih diperketat lagi (jadi ditutup mukanya memakai cadar!).

Quran 24.60 berkata, “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Mereka yang ingin membiarkan wajah dan tangan wanita terlihat bersandarkan pada hadis yang diriwayatkan Aisha: “Asma, anak Abu Bakar (saudari Aisha) suatu hari ada dihadapan sang nabi tanpa cadar. Nabi berkata padanya – ‘Asma, wanita dewasa harusnya hanya menunjukkan ini.’” Dan sang Nabi menunjuk wajah dan tangan Asma.

Sementara ahli islam lain saling bertentangan satu sama lain dalam hal ini. Ada yang berkeras bahwa bahkan tumit wanitapun harusnya tertutup, menyebuntukan hadis tertentu yang mendukung argumen mereka. Tidak saja ini menjadi lambang tunduknya wanita tapi juga menjadi lambang dari tidak percayanya sang wanita pada ayah, saudara atau suami; dan disaat yang sama ada rasa kepemilikan dari kaum pria: bagi saudara dan ayahnya siwanita hanyalah barang toko yang tidak boleh terkotori; dan bagi suami siwanita hanya objek untuk dipakai dirumah lalu dengan hati-hati dibungkus kembali dan disimpan, jangan sampai orang lain melihat dan iri. Pertanyaan2 tentang Hijab ini terus memainkan peran penting dalam debat2 modern dan menjadi lebih penting nilai akademisnya. Seorang wartawan New York Times menjelaskan situasi bulan April 1992 di Iran:

Perjuangan yang paling jelas mengenai hak2 Wanita masih diperjuangkan lewat cara mereka berpakaian. Selama revolusi 13 tahun, mungkin tidak ada isu lain yang telah diperdebatkan dengan begitu ramainya seperti pemakaian Hijab. “Riset membuktikan bahwa rambut wanita punya semacam cahaya yang bisa menggoda lelaki,” kata Abol-Hassan Banisadr Presiden iran pertama setelah Revolusi saat Islamic Republik baru berdiri. Tahun2 berikutnya para wanita dihina, ditangkap, didenda bahkan ada yang dicambuk karena tidak memakai hijab atau hijabnya kurang patut. Setelah cadar ini, pakaian yang nomor dua diterima adalah rappoush (pakaian longgar) yang dipakai dengan memakai syal.

Apakah wanita punya hak untuk keluar rumah?[35] Hijab juga berlaku bagi para wanita yg sembunyi didalam dinding2 rumahnya sendiri. Quran jelas akan hal ini dalam surah 33.33, memerintahkan istri2 sang nabi untuk tinggal dirumah. Bagi para reformis ini hanya berlaku bagi istri sang nabi saja; bagi konservatif ini berlaku bagi semua muslimah. Ghawji, seorang konservatif secara sistematis menetapkan kondisi2 yg mengijinkan wanita keluar rumah, ia mendapatkan ini setelah mengkaji dari Quran dan Hadis.

1. Dia boleh keluar rumah jika benar2 perlu.
2. Harus diijinkan oleh suami atau pelindungnya.
3. Dia harus memakai pakaian yang menutupi dengan benar, termasuk wajah, untuk menghindari tergodanya kaum lelaki yg dia lalui; dia harus berjalan dengan kepala tunduk tanpa melihat kiri kanan (Quran 24.31).
4. Tidak boleh pakai parfum. Nabi berkata: “Wanita yang memakai parfum dan liwat dihadapan lelaki adalah pezinah.”
5. Wanita jangan berjalan dijalan diantara kaum pria. Nabi mengamati terjadi kebingungan ketika bubar mesjid, dan berkata: “Kalian para wanita tidak berhak berjalan diantara kaum lelaki – berjalan dipinggir jalan.”
6. Wanita harus berjalan dengan menahan pandangan harus sederhana. (sruah 24.31)
7. Jika berbicara dengan orang asing, suaranya harus tetap normal (Surah 33.32).
8. Didalam toko atau kantor harus menghindar berduaan diruangan tertutup dengan lelaki. Nabi berkata: “Jika lelaki dan wanita berduaan di satu ruangan tertutup maka setan akan ikut campur dan berlaku jahat.”
9. Wanita tidak boleh berjabatan tangan dengan lelaki.
10. Bahkan dirumah teman wanitanya, dia tidak boleh membuka kerudungnya untuk menjaga kalau2 ada lelaki bersembunyi dirumah temannya itu. Nabi berkata: “Wanita yang membuka kerudung selain dirumahnya sendiri atau dirumah suaminya dijauhkan dari lindungan Tuhan.”
11. Sang istri tidak boleh bepergian lebih dari 30 km tanpa ditemani suami atau kerabat.
12. Wanita tidak boleh meniru menjadi lelaki.

Ahli hukum islam telah merinci secara mendetil apa yang harus dipakai oleh seorang wanita yang keluar rumah. Dia boleh memakai apapun yang dia suka sepanjang mengikuti kondisi2 berikut:

1. Pakaiannya harus menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan.
2. Pakaiannya tidak boleh berlebihan atau yg mahal2
3. Tidak boleh transparant, harus tebal
4. Tidak boleh ketat menempel ditubuhnya.
5. Tidak boleh pakai parfum
6. Tidak boleh meniru pakaian lelaki
7. Tidak boleh meniru pakaian kafir.
8. Tidak boleh mahal2 atau terlihat glamor.

Para ahli ini mengutip hadis yang melarang wanita memakai parfum, memakai wig, make up atau yang mengganggu hal2 alaminya. Penulis yang sama yang juga mengutuk pemakaian make-up karena mengganggu penciptaan Allah tidak melihat adanya kontradiksi dalam hal pemotongan klitoris wanita, mereka melihatnya sebagai tindakan saleh yg harus didorong. Menurut hadis yang terkenal, jika kau “tinggalkan wanita tanpa pakaian, mereka kan tetap diam dirumah.”

Berkat usaha2 berani para reformis, wanita akhirnya memenangkan hak untuk sekolah. Tak mampu membendung gelombang gerakan feminis dan dihadapkan pada kondisi fait accompli, kaum konservatif sekarang mengaku bahwa Islam tidak pernah mengekang hak2 wanita ini, dan bahwa itu adalah kewajiban setiap muslim untuk belajar. Universitas al-Azhar, benteng keistimewaan kaum pria, membuka pintunya bagi wanita ditahun 1961. Klaim2 yang mengaku membela wanita ini tentu saja palsu semua.[36]

Hadis yg melarang pendidikan wanita ada banyak: “Cegah mereka menulis;” “Jangan tambahkan kejahatan pada ketidak bahagiaan” sudah menjadi norma mereka. Tentu saja jika dari awal Islam dengan tulus menyetujui wanita untuk sekolah, kenapa para muslimah tetap buta huruf dan bodoh selama berabad-abad? Jika dia harus tinggal dirumah, dilarang bicara dengan orang asing, bagaimana dia bisa mendapatkan pelajaran? Intinya, kebanyakan pemikir muslim modern mengajukan pendidikan religius untuk wanita, dengan beberapa kursus tentang menjahit, menyulam dan mengurus rumah. Para pemikir ini mendasarkan pemikirannya ada hadis dimana sang nabi berkata, “Jangan mengajar wanita menulis; ajar mereka menenun dan surah al-Nur.” Pesannya jelas – wanita tidak boleh keluar dari wilayahnya. Wanita diciptakan tuhan untuk menjadi istri dan ibu; dg demikian, petualangan dibidang Kimia Murni, Astronomi atau Geometri bertentangan dengan kodratnya, keperluannya dan keperluan keluarganya.

Harusnya jelas dari sekarang[37] bahwa dengan bekerja, muslimah secara otomatis melanggar banyak hukum2 islam tentang wanita dan keluarga. Dalam Islam hanya pria yang bekerja, mencari uang dan menghabiskannya dan bertanggung jawab atas nafkah istri. Pemikir reformis lain berkeras bahwa setiap muslimah punya hak untuk bekerja. Tapi lewat penelaahan lebih dekat kita bisa melihat bahwa yang dimaksud mereka dengan ‘kerja’ adalah sesuatu yang terbatas: mengajar wanita lagi, perawat merawat wanita, dokter untuk wanita. Menurut doktor2 terpelajar, wanita bisa melakukan pekerjaan apa saja kecuali:

1. Yang tidak sesuai dengan imannya – seperti membersihkan WC, memancing dll
2. Yang tidak sesuai dengan kodrat wanitanya – penjaga tiket, polisi, penari dll
3. Yang tidak bisa mereka tangani secara fisik, contoh kerja pabrik
4. Yang memakai kuda atau sepeda
dan tentu saja yang butuh akal – tidak boleh jadi hakim atau imam.
5. Pemikir lain melarang wanita menjadi aktris, pramugari atau sales. Argumen2 yang sering dipakai mengenai batasan pekerjaan wanita adalah:

1. Kodrati wanita; dia dibuat untuk tinggal dirumah, mengurus seksual suami dan membesarkan anak
2. Kekuatan akalnya terbatas
3. Psikologisnya lemah karena adanya mens, hamil dan melahirkan.

Para pemikir ini ketakutan jika wanita meninggalkan rumah mereka akan langsung masuk kedalam dosa. Mereka mengurangi semua kontak antara pria dan wanita untuk seks. Jadi pekerjaan yang mungkin bisa dianggap sebagai konfirmasi akan adanya wanita, akan keberadaan pribadi wanita akan martabat dan harga dirinya, akan kebebasan pribadinya, yg ada dimata para pemikir muslim tidak lain hanyalah kemunduran dan penurunan martabat dan kehormatan.

Meski banyak penghalang dipasang dihadapan wanita, muslimah mampu meninggalkan rumah mereka untuk mendapatkan sekolah, bekerja dan meniti karir untuk mereka pribadi; dg demikian mereka telah menegaskan klaim bagi hak2 mereka sebagai bagian dari masyarakat. Contohnya, tahun 1952 feminis Mesir berkumpul dan menuntut hak untuk memberi suara (memilih) dalam pemilu dan untuk menjadi anggota parleman. Para ulama Universitas al-Azhar berpawai dibulan juni 1952 menggaungkan fatwa yg didukung quran serta hadis yang menyatakan bahwa islam mengutuk usaha2 wanita untuk mendapatkan posisi sebagai anggota parlemen. Para doktor terpelajar ini menunjuk bahwa[38]:

1. Wanita tidak memiliki akal cukup
2. Wanita karena feminitas mereka akan dihadapkan pada bahya yang bisa membuat mereka kehilangan akal dan kesopanan
3. Menurut Abu Bakar, ketika nabi mendengar bahwa orang Persia telah menjadikan anak perempuan dari Chosroes sebagai ratu mereka dia berkata: “Suatu bangsa tidak akan pernah berhasil jika dipimpin oleh wanita.”
4. Kegagalan pasti bagi bangsa yang menempatkan wanita dalam posisi publik
5. Hukum islam menganggap kesaksian wanita berlaku setengah dari lelaki
6. Menurut Quran “lelaki menjadi penentu bagi sang wanita jika melihat fakta bahwa Tuhan memilih lelaki daripada wanita.
7. Tuhan memerintahkan kaum pria untuk hadir pada sholat jum’at dan melakukan perang suci tapi tidak pada wanita
8. Posisi publik dalam hukum2 islam hanya bagi kaum pria.

Karena semua alasan2 ini para doktor terpelajar tsb memutuskan bahwa Hukum islam melarang wanita menempati posisi yang bertanggung jawab terhadap publik, dan khususnya anggota parlemen. Meski demikian, para wanita Mesir tetap mendapatkan hak memilih mereka. Di Siria, kaum wanita mendapat hak memilih tahun 1949, meski para ulama menentangnya.

Islam sejara jelas melarang profesi tertentu bagi wanita; Kepala negara, kepala militer, imam dan hakim.

Sistem Guardianship dalam islam[39] lebih jauh membatasi hak2 wnaita. Menurut penganut Malekit, Shafi’I dan Hambali, bahkan seorang wanita yang dewasapun tidak dapat menandatangani pernikahannya sendiri. Pelindungnya yang punya hak. Menurut Hanafi, wanita bisa menandatangani pernikahannya sendiri tapi dengan persetujuan sang pelindung. Tentu saja sang pelindung harus lelaki dan muslim. Jika wanita itu perawan, berapapun umurnya, pelindungnya bisa memaksa dia menikah dengan lelaki pilihan sang pelindung, menurut Malek, Shafi’I dan Hambali. Bahkan hak teoritis untuk memilih suami yang siwanita setujui oleh Hanafi dianggap sebagai menyesatkan. Secara teoritis, ketika mencapai puber, wanita tidak bisa lagi dipaksa menikah tanpa persetujuannya; tapi karena mayoritas wanita dipaksa menikah sebelum puber, hak untuk memilih ini tetap menjadi angan-angan belaka. Misal jika dia sudah puber, dibawah aturan Hanafi dia cukup mengatakan ya atau tidak saja pada orang yang dipilih sang pelindungnya. Tidak ada cerita dia keluar rumah dan mendapatkan jodohnya sendiri. Sang pelindunglah yang akan memilihkan untuknya, dan kualitas calon suami ini bisa dituliskan dalam beberapa baris saja sementara kualitas calon istri bisa menghabiskan belasan baris.

Dalam kasus apapun, kapan dan bagaimana bisa muslimah keluar dan bertemu pria idamannya jika melihat semua batasan yang dipaksakan padanya oleh Islam seperti yang dijelaskan dalam bab ini – larangan keluar rumah, larangan bicara dengan lelaki? Pernikahan anak-anak terus dipraktekan, dan fakta bahwa sang nabi sendiri menikahi Aisha ketika dia berumur 6 tahun dan sang Nabi 53 tahun (tua bangka) mendorong masyarakat muslim untuk meneruskan kebiasaan yang melanggar kesusilaan ini. Seperti Bousquet tuliskan ditahun 1950, ia memperhatikan di Afrika Utara umumnya dan Aljazair khususnya, bahkan setelah satu abad diperintah Perancispun, pernikahan dengan anak2 kecil masih berlanjut, sering menghasilkan kecelakaan yang berakibat kematian.

Dalam semua kasua muslimah tidak diijinkan menikahi non muslim. Lelaki muslim bisa kapanpun memisahkan diri dari istri2nya, dapat menceraikan istrinya tanpa formalitas, tanpa penjelasan dan tanpa kompensasi. Cukup sang suami mengucapkan kata “Kau kuceraikan” dan selesai. Perceraian itu bisa rujuk dengan jangka waktu 3 bulan. Jika sisuami mengucapkan kata itu sebanyak tiga kali, maka perceraian itu tidak bisa dirujukkan kembali (talak tiga). Dalam kasus yang terakhir, istri yang diceraikan tidak dapat kembali pada suaminya (rujuk) kecuali setelah menikah lagi dengan lelaki lain, ‘disetubuhi’ dan dicerai oleh sang suami baru itu. Cerai tergantung sepenuhnya pada kehendak dan perubahan pikiran sang suami – dia boleh menceraikan sang istri tanpa sang istri berlaku salah sekalipun, atau tanpa melakukan sebab apapun. Sang ibu mendapat hak untuk mengurus anak, tapi jika dia menikah kembali otomatis dia kehilangan hak asuh anak2 dari pernikahan sebelumnya.

Dalam kasus dimana sang suami mendapat hak asuh anak, jika dia menikah kembali juga tetap tidak kehilangan hak asuhnya. Dg demikian sang wanita dihadapkan dengan pilihan menikah kembali dan kehilangan anak2nya atau mempertahankan anak2nya dan tidak menikah. Ini tentunya berujung pada rasa ketidak amanan bagi sang wanita. Perceraian sangat sering terjadi dinegara arab; bukannya mempertahankan empat istri sekaligus – yang sebenarnya mahal ongkosnya – seorang pria bisa langsung mengganti istinya beberapa kali seperti yang direkomendasikan oleh Si hebat al-Ghazali. Jika si wanita meminta cerai, silelaki boleh setuju jika dia dibayar atau mendapat kompensasi lain. Dalam kasus ini sang wanita tidak berhak untuk mendapatkan kembali maharnya. Sangsi Quran akan perceraian seperti ini: 2.229 “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.”

Pembatalan perkawinan berarti sang wanita kehilangan hak dari maharnya dan harus mengembalikan apa yang sudah dia terima selama ini. Wanita yang dicerai punya hak untuk menikah kembali tapi “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru (mens).” 2.228

Terakhir, saya akan mengakhirinya dengan daftar dari apa yang wanita derita dibawah islam karena ‘kesalahannya’ dulu di taman Eden. Wanita dilarang untuk:

1. Menjadi kepala negara
2. Jadi hakim
3. Jadi imam
4. Jadi pelindung
5. Meninggalkan rumah tanpa ijin pelindung atau suami
6. Bicara dengan lelaki asing/tidak dikenal
7. Berjabatan tangan
8. Memakai make-up atau parfum diluar rumah
9. Membuka wajah karena bisa menggoda
10. Bepergian sendirian
11. Mendapat warisan yg sama dengan lelaki
12. Menjadi saksi kasus hudud dan kesaksiannya hanya berharga setengah dari lelaki
13. Melakukan ritual agama ketika mens
14. Memilih dimana dia tinggal sebelum menjadi tua atau jelek
15. Menikah tanpa ijin pelindungnya
16. Menikahi non muslim
17. Menceraikan suami.

Ukuran dari derajat peradaban masyarakat adalah lewat posisi wanitanya, yang mana dalam hal ini islam terukur sangatlah buruk. Dengan meminjam kata John Stuart Mill, “Saya yakin bahwa pengaturan sosial yang merendahkan satu jenis kelamin lewat hukum adalah jahat dengan sendirinya dan membentuk satu penghalang utama yang menentang kemajuan manusia; saya yakin harus diberikan kesetaraan yang sempurna.”

Kasus Sejarah: Wanita di Pakistan

Menjadi wanita di Pakistan adalah hal mengerikan

-Wanita Pakistan, dikeluarkan dari pekerjaannya di Hotel tahun 1990 karena berjabatan tangan dengan seorang lelaki.[40]

Saya katakan, negeri ini disodomi oleh agama

-Pebisnis Pakistan, bekas perwira angkatan Udara[41]

Peringatkan para wanita ini. Kami akan menyobek-nyobek mereka. Kami akan memberi hukuman sedemikian mengerikan hingga tak seorangpun nanti berani bersuara menentang islam lagi.

-Mullah Pakistan mengenai penolakan para Wanita di Rawalpindi.[42]

Saat ini, di Pakistan, rasa hormat terhadap wanita sudah tidak ada lagi, dan kejahatan terhadap mereka meningkat secara drastis. Mereka mengklaim telah mengislamisasi kami. Bagaimana bisa kau mengislamisasi orang yang sudah jadi muslim? Sejak Zia memberikan kuasanya pada para Mullah seakan setiap lelaki merasa dapat memegang setiap wanita dan menyobek-nyobeknya.

Ms Farkander Iqbal, Deputy Police Superintendent, Lahore, Pakistan[43]

Salah satu ironi terbentuknya Pakistan tahun 1947 sebagai sebuah kampung halaman bagi para muslim india adalah pendirinya, Muhammad Ali Jinnah, sama sekali bukan orang yang saleh. Malah, di negara Republik Islam Pakistan yang sekarang ini, Jinnah pastilah dicambuk dimuka umum: selama tahun2nya tinggal di Inggris, Jinnah telah punya kesenangan minum wiski dan makan babi. Juga sekarang sudah jelas diketahui bahwa Jinnah membayangkan untuk menciptakan sebuah negara sekular; dia mengatakan ini dalam salah satu pidato terakhirnya:

Kalian bebas; bebas untuk pergi kekuil, bebas ke mesjid atau tempat2 pemujaan lain di Pakistan.. Kalian boleh masuk agama apapun atau kasta atau dalil apapun – itu tidak ada hubungannya dengan negara.. Kami memulai dengan prinsip fundamental ini bahwa kita adalah warganegara dan warganegara yang setara dari satu negara.. sekarang saya pikir kita harus mempertahankan gagasan kita didepan dan kalian akan melihat bahwa kelak nanti pengikut Hindu tidak akan menjadi orang hindu dan muslim tidak akan menjadi muslim, tidak bukan dalam arti religius, karena itu adalah kepercayaan pribadi masing2 individu, tapi dalam arti politis sebagai warganegara ini.[44]

Penebalan oleh saya.

Ketika ditanya oleh seorang wartawan bulan Juli 1947 apakah Pakistan akan menjadi negara agama, Jinnah menjawab, “Kau mengajukan pertanyaan yang absurd. Saya tidak tahu apa negara teokratis itu maksudnya.” Kenapa, kalau begitu, Pakistan menjadi perlu? M.J. Akbar berpendapat dengan meyakinkan bahwa Pakistan tidaklah dituntut oleh massa muslim India; tapi diciptakan oleh persekutuan para Mullah dan tuan tanah yang berkuasa. “Sementara para tuan tanah dan para kapitalis membiarkan para ulama menjadikan Pakistan sebagai negara agama, para ulama menjamin para tuan tanah hak2 milik dan kapitalis untuk mengontrol ekonomi tanpa terkekang. Teokrasi dan kapitalisme/sistem tuan tanah adalah dua pilar dari Pakistan dan BanglaDesh.”[45]

Setelah kematian Jinnah tahun 1948, Perdana Mentri Liaquat Ali Khan menyiapkan sebuah undang-undang yang juga pada intinya sekular. Ini sama sekali tidak diterima oleh para Mullah, yang mulai berbusa-busa ketika mendengar kata demokrasi. Dibawah tekanan mereka, undang2 demokrasi ini ditarik. Lalu tahun 1951, Liaquat Ali Khan terbunuh oleh penembak tak dikenal, yang banyak orang percaya adalah suruhan para Mullah.

Tahun 1971, setelah bertahun-tahun dibawah pemerintahan Militer, Zulfikar Ali Bhutto mengambil alih sebagai administrator Hukum Perang dan tahun 1972 menjadi Perdana Menteri. Meski Bhutto juga intinya berpikiran sekuler, dia bukanlah seorang demokrat. Dia juga harus bernyanyi pada para Mullah; melarang perjudian dan alkohol, meski terkenal suka wiski; dan mengumumkan bahwa sekte Ahmadiyah bukanlah muslim. Tahun 1977, Jenderal Zia ul-Haq mengambil alih lewat kup militer dan mengumumkan proses islamisasi kurang cepat berlangsung. Para Mullah akhirnya punya seseorang yang siap untuk mendengarkan mereka.

Zia menerapkan hukum militer, penyensoran total dan mulai menciptakan negara teokrasi, percaya bahwa Pakistan harusnya membawa “semangat islam.” Dia melarang para wanita mengikuti kegiatan atletik dan memaksakan puasa dibulan Ramadhan dibawah todongan senjata.

Dia secara terbuka mengakui bahwa ada kontradiksi antara Islam dan Demokrasi. Zia mengenalkan hukum islam yang mendiskriminasi wanita. Hukum yang paling terkenalnya adalah Zina dan Hudud, yang mendatangkan hukuman amputasi tangan bagi pencuri dan rajam sampai mati untuk zina yang dilakukan orang2 yang sudah menikah. Istilah Zina itu termasuk adultery (zinah antara 2 orang yang sudah menikah), fornication (zinah dengan orang yang sudah menikah) dan perkosaan, bahkan pelacuran. Fornication dihukum maksimum 100 cambukan dimuka umum dan 10 tahun penjara.

Dalam prakteknya, hukum2 ini malah melindungi para pemerkosa, bagi seorang wanita yang diperkosa sering mereka yg malah dituduh adultery atau fornication. untuk membuktikan zinah, empat lelaki muslim yang punya reputasi baik harus menjadi saksi bahwa penetrasi seks memang terjadi. Lebih jauh lagi,dalam menjaga praktek islam yang baik, hukum2 ini lebih menghargai kesaksian kaum lelaki daripada kaum wanita.

Efek gabungan dari ini adalah sangat tidak mungkin bagi seorang wanita bisa berhasil menuduh lelaki dalam tindakan perkosaan; malah, dia sendiri, sikorban perkosaan, akan dituduh melakukan hubungan seks tidak senonoh, sementara sipemerkosa bisa bebas. Jika perkosaan itu menyebabkan kehamilan, otomatis dianggap sebagai tindakan adultery atau fornication yang dituduhkan pada siwanita bukannya membuktikan bahwa perkosaan memang telah terjadi.

Ini contoh kasusnya.[46]

Disebuah kota utara propinsi Punjab, seorang wanita dan dua anak gadisnya ditelanjangi, dipukuli dan diperkosa beramai-ramai dimuka umum, tapi polisi menolak mengkasuskan hal ini.

Seorang gadis 13 tahun diculik dan diperkosa oleh ‘teman keluarga’. Ketika ayahnya membawa tuduhan perkosaan kepengadilan, malah sigadis yang dipenjara dan dituduh berbuat zinah. Sang ayah bisa melepaskan sigadis dengan menyogok polisi. Anak yang trauma itu dipukuli dengan sadis karena mengotori kehormatan keluarga.

Seorang janda 50 tahun (ada laporan yg menyebut usianya 60 thn), Ahmedi Begum,[47] memutuskan menyewakan sebagian ruangan rumahnya di kota Lahore kepada dua orang wanita berkerudung. Ketika dia sedang menunjukkan kamar yang mau disewakan itu kepada mereka, polisi mendobrak masuk dan menangkap dua wanita serta keponakan Ahmedi, yang hanya berdiri disana. Ahmedi Begum mendatangi kantor polisi dengan menantu untuk bertanya mengenai ponakan dan dua wanita itu. Polisi malah menangkapnya juga. Perhiasannya diambil dan dipaksa masuk kesatu ruangan. Didalam ruangan itu, polisi lain menelanjangi dua wanita sebelumnya, dan mulai memperkosa mereka dihadapan Ahmedi dan menantunya. Ahmedi menutupi matanya, tapi para polisi memaksa dia untuk menonton.

Setelah mengalami berbagai siksaan memalukan, Ahmedi sendiri ditelanjangi dan diperkosa beramai-ramai. Mereka lalu menyeretnya keluar dimana dia kembali dipukuli. Salah satu polisi melumuri pentungannya dengan sambal dan memasukkan kedalam dubur Ahmedi, hingga robek. Ahmedi berteriak kesakitan dan pingsan, bangun2 masih dipenjara, dituduh berbuat zina. Kasusnya ditangani oleh pengacara HAM. Dia lalu dilepaskan dengan jaminan setelah tiga bulan dipenjara, tapi tidak pernah diadili selama tiga tahun kedepan juga. Sementara itu anak menantunya menceraikan anak perempuannya karena malu.

Apa ini merupakan kasus khusus? Sayangnya tidak. Komisi HAM di Pakistan bilang dalam laporan bulanannya bahwa di Pakistan, seorang wanita diperkosa tiap tiga jam dan satu dari dua korban perkosaan itu dipenjara.

Menurut Women’s Action Forum, sebuah organisasi hak asasi wanita, 72% dari semua wanita yang ditahan polisi di Pakistan dianiaya secara fisik dan seksual. 75% wanita dipenjara karena tuduhan Zinah. Banyak para wanita ini tetap dipenjara menunggu hasil pengadilan yang bisa bertahun-tahun keluarnya.

Dengan kata lain, tuduhan Zinah biasanya diterapkan oleh lelaki yang ingin menyingkirkan istrinya, yang seketika itu juga bisa ditangkap dan menunggu dalam penjara, kadang selama bertahun2. Sebelum dikenalkan aturan hukum ini, jumlah total wanita yang dipenjara adalah 70 orang; jumlah itu sekarang menjadi lebih dari 3.000 orang. Kebanyakan karena tuduhan Zina atau Hudud.[48]

Safia Bibi berumur 16 tahun, buta, diperkosa oleh majikan dan anaknya. Ia menjadi hamil dan belakangan melahirkan anak haram. Meski ayahnya menuntut dua orang itu, mereka dibebaskan karena tidak ada saksi yang menyaksikan perkosaan berlangsung, empat saksi dibutuhkan (semua lelaki). Tapi kehamilan Safia menjadi bukti terjadinya zinah dan otomatis dia dihukum tiga tahun masa tahanan, lima belas cambukan dan denda seribu rupee. Sang hakim bilang dia sudah meringankan hukumannya mengingat dia masih kecil dan buta. Untungnya tekanan masyarakat berujung pada dicabutnya hukuman tsb.

Sejak program islamisasi Zia berjalan, jumlah serangan terhadap wanita meningkat. Dalam segala hal kaum wanita makin memburuk keadaannya dibawah hukum islam. Dengan undang2 Syariah tahun 1991, posisi mereka makin menukik lagi, itupun jika diibaratkan mereka belum ada didasar jurang. Seperti yang dinyatakan oleh seorang feminis, “Undang-undang Syariah adalah alat untuk mengatur wanita dan membatasi mereka bukannya mendatangkan keadilan. Ini adalah sebuah undang2 yang memfasilitasi penganiayaan terhadap wanita tapi mengabaikan korupsi dan membiarkan kekerasan terhadap wanita.”[49]

Media barat secara naif percaya bahwa pemilihan Benazir Bhutto menjadi Perdana Mentri Pakistan November 1988 akan merevolusionalisasi peran wanita bukan saja di Pakistan, tapi diseluruh dunia islam. Dibawah hukum islam tentunya, wanita tidak bisa jadi pemimpin negara, dan Pakistan telah menjadi Republik Islam dibawah konstitusi baru ditahun 1956. Dg begitu, Benazir Bhutto telah melawan para Mullah dan menang. Tapi pemerintahannya hanya bertahan sekitar 20 bulan saja, selama 20 bulan itu Nawaz Sharif, yang kemudian menjadi PM diawal 1990, dikatakan telah mendorong para Mullah untuk menentang wanita menjadi pemimpin negara islam. Pemerintahan Benazir disingkirkan dengan tuduhan korupsi, dan suaminya dipenjara tahun 1990.

Kaum wanita muslim telah menderita sebelum pemilihan Benazir, dan tidak ada yang berubah. Benazir telah menjadi calo dari lobby2 agama, para Mullah, orang2 yang berkeras bahwa wanita tidak bisa memegang kekuasaan dalam negara islam, dan berulang-ulang menunda tindakan2 positif dalam hal posisi wanita. Seorang wanita anggota oposisi di National Assembly tahun 1990 menyatakan, “Benazir Bhutto tidak menunjukkan komitmen akan apapun selain dari hasratnya untuk berkuasa.”[50] Benazir Bhutto telah menunjukkan dirinya sangat kurang radikal dari yang diharapkan media2 barat. Dia setuju dinikahkan dengan seorang pria yang baru dia kenal tujuh hari, dan dia terus menerus memakai kerudung tradisional. Pada konferensi di Kairo tentang Populasi (September 1994), dia malah memihak kaum muslim konservatif. “Kami pikir kami telah memilih seorang Cory (Aquino), tapi kelihatannya kami malah mendapatkan Imelda (Marcos),” kata anggota National Assembly dengan kecewa.[51]

Statistik mengenai wanita Pakistan menunjukkan gambar yang muram. Pakistan adalah satu dari empat negara didunia yang jangka hidup wanitanya sekitar 51 tahun, lebih rendah dari prianya (52 th); rata-rata kemungkinan hidup wanita bagi semua negara miskin adalah 61 tahun. Sejumlah besar wanita Pakistan meninggal dalam kehamilan atau kelahiran, enam dari setiap 1000 kelahiran. Meski fakta bahwa Kontrasepsi tidak pernah dilarang oleh islam ortodoks, dibawah Zia Dewan Ideologi Islamik Pakistan mengumumkan Keluarga Berencana sebagai tidak Islami. Para Mullah mengutuk keluarga berencana sebagai konspirasi barat untuk mengebiri islam. Hasilnya, tingkat fertilitas rata-rata per wanita di Pakistan adalah 6.9. Pakistan juga ada di 10 negara terbawah dalam hal keikutsertaan wanita disekolah. Ada yang menyebuntukan buta huruf para wanita didaerah pedesaan rendah sekali sekitar 2 persen (Economist, 5 Maret 1994). Economist menyatakan, “Sebagian kesalahan untuk ini ada pada usaha2 dari mendiang Presiden Zia ul Haq untuk menciptakan Republik Islam.. Zia memutar mundur waktu. Undang2 1984 contohnya, menghargai kesaksian wanita setengah dari kesaksian pria.” (Economist, 13 Jan 1990).

Tentunya bagian terbesar dari kesalahan ini ada pada sikap yang ditanamkan oleh Islam, yang selalu memandang wanita lebih rendah dari pria. Kelahiran seorang bayi wanita menjadi acara duka cita. Ratusan bayi wanita dibuang diparit2, tempat sampah atau pelataran, setiap tahun. Sebuah organisasi yang bekerja di Karachi untuk menyelamatkan anak2 ini telah menghitung sekitar lima ratus bayi ditelantarkan dalam setahun di Karachi saja, dan 99 persen diantaranya adalah wanita.[52]

Saat pernikahan, keluarga mempelai perempuan menyediakan mahar. Banyak keluarga berada dalam tekanan sosial udk menyediakan mahar yg mahal, yang menjadi beban menyesakan bagi kebanyakan mereka. Cenderung terjadi perjanjian sebelum pernikahan antara keluarga yang akan menikahkan mengenai jumlah mahar. Tapi meski ada perjanjian demikian, banyak wanita muda yang baru menikah dijadikan subjek untuk tekanan – bahkan pukulan – untuk meminta orang tua mereka mahar yang lebih banyak. Jika hal ini tidak bisa terjadi, sang wanita muda itu dibakar sampai mati. Tahun 1991 saja ada lebih dari dua ribu kematian karena mahar ini. Sedikit sekali dari kasus itu yang diselidiki oleh polisi, dan kebanyakan ditulis sebagai kecelakaan didapur.

Dua saudari muda dibawa ke Rumah Sakit[53] dimana dokter mendiagnosa sebuah infeksi tulang karena kekurangan sinar matahari. Ayah sang gadis melarang mereka keluar rumah. Pengurungan ini kadang menjadi kejadian yang aneh dan tragis, seperti kasus muslimah2 yang dikenal sebagai Para Pengantin Quran, yang dipaksa oleh para keluarganya untuk menikahi Quran.

Pada keluarga feodal yg besar, keluarga pemilik tanah, khususnya di provinsi Sind, para wanita hanya boleh menikah dengan keluarga lagi – kebanyakan menikahi sepupu – untuk memastikan harta milik keluarga tetap milik keluarga. Perkawinan dengan orang luar akan berujung pada pembagian harta milik ketika sang wanita mewarisi bagian dari warisannya. Jika keluarga itu kehabisan sepupu lelaki, si wanita muda dipaksa untuk menikahi Kitab Quran dalam sebuah upacara yang persis seperti pernikahan sesungguhnya kecuali tidak ada mempelai pria. Sang mempelai wnaita memakai pakaian pengantin, tamu diundang, makanan dan pesta berlangsung. Pada upacaranya sendiri, sang mempelai diperintahkan untuk menaruh tangannya diatas Quran dan dia dinikahkan dengan Kitab Suci tsb. Sisa hidupnya dihabiskan dalam kurungan dari dunia luar. Dia tidak boleh bertemu lelaki – bahkan televisi juga dilarang. Para mempelai ini diharapkan untuk mengabdikan sisa hidupnya mempelajari Quran atau membuat hasil karya seni. Kekosongan hidup demikian memakan korban, banyak istri Quran menjadi sakit jiwa. Diperkirakan ada tiga ribu istri Quran di Sindu, Salah seorang menyatakan “Aku berharap dilahirkan ketika orang2 Arab suka mengubur anak2 perempuan. Bahkan itupun akan lebih baik dari siksaan yang kuterima sekarang.”

Jinnah sama sekali tidak sadar betapa benar perkataan dia ketika dia berpidato tahun 1944:[54] “Tidak ada negara bisa dibangun menuju kejayaan kecuali kaum wanita ada disisimu. Kita menjadi korban dari kebiasaan jahat. Merupakan kejahatan kemanusiaan wanita kita dikurung dalam ruangan rumah sebagai tahanan.”

Meski terdapat pandangan sekular dari pendirinya, Jinnah. Pakistan telah terseret kearah negara teokratis. Politisi Pakistan secara pengecut menyerah pada tuntutan para Mullah. Ketakutan akan kaum Fundamentalis hanya mendorong para fundamentalis itu lebih jauh. Sulit bagi Barat yang umumnya sekular untuk menyadari kekuatan apa yang bisa orang2 ini gunakan terhadap massa, mendorong mereka melakukan tindakan mengerikan yang bisa dibayangkan, semuanya dalam nama Aulloh. Contohnya, segerombolan orang di Karachi yg secara histeris dimanipulasi seorang Mullah, telah merajam mati seorang bayi dengan dugaan bayi itu anak haram jadi tidak bisa ditoleransi. Gerombolan lain memotong tangan seorang lelaki karena sang Mullah yang memimpin mereka bilang dia itu pencuri; tidak ada bukti, tidak ada pengadilan, hanya berdasarkan perkataan sang Mullah belaka. Benazir Bhutto telah bergerak untuk menenangkan pihak kanan religius. Kita kutip perkataannya yang diucapkan tahun 1992 ketika dia belum lagi berkuasa:

Apakah Pakistan menginginkan sebuah demokrasi dimana HAM diharigai dan dimana pandangan2 pencerahan islam berlaku? Atau apakah cukup puas dengan pemerintahan yang didominasi oleh para fundamentalis? Dan otoritas mana yang harus melegislasi – parleman atau pengadilan federal yg mengeluarkan undang2 Syariah? Dalam ketiadaan jawaban dari pertanyaan2 ini, situasi menjadi membingungkan sekarang, dan kebingungan akan menghasilkan anarki. (Le Monde, 4 Maret 1992)

Tapi kita tidak perlu mendapat gambaran yang sama sekali pesimistik. Wanita Pakistan telah menunjukkan diri mereka sangat berani, dan makin banyak berjuang demi hak2 mereka dengan pertolongan organisasi2 yang tidak kalah beraninya seperti Women’s Action Forum (WAF) dan War Against Rape. WAF dibentuk tahun 1981 ketika para wanita berpawai dijalan memprotes peraturan Hudud, dan mendemonstrasikan solidaritas mereka untuk pasangan yang baru saja dijatuhi hukum rajam karena zinah. Tahun 1983 para wanita mengorganisasi demonstrasi pertama melawan hukum darurat perang.

—————-
[25] Bousquet, G.H. L’Ethique sexuelle de l’Islam. Paris, 1966.
[26] Ascha, Ghassan. Du Status inferieur de la Femme en Islam. Paris, 1989, hal.76f
[27] Ibid., hal.89
[28] Ibid., hal.95-96
[29] De Beauvoir, Simone. The Second Sex. London, 1988. Hal. 632
[30] Ascha, Ghassan. Du Status inferieur de la Femme en Islam. Paris, 1989, hal.100-101
[31] Ibid., hal.108
[32] Ibid., hal.123f
[33] Zeghidour, Slimane. La Voile et la ranniere. Paris, 1990. Hal.34
[34] Ascha, Ghassan. Du Status inferieur de la Femme en Islam. Paris, 1989, hal.100-101
[35] Ibid., hal.132f.
[36] Ibid., hal.146
[37] Ibid., hal.161f
[38] Ibid., hal.174
[39] Ibid., hal.185f
[40] Dikutip oleh Schork, Schork, Kurt. “Pakistan’s Women in Despair.” Dalam Guardian Weekly, September 23, 1990.
[41] Dikutip oleh Kureishi. Kureishi, Hanif. My Beautiful Laundrette and the Rainbow Sign. London, 1986.
[42] Ibid., hal.22
[43] Dikutip oleh Goodwin, hal 72. Goodwin, Jan. Price of Honor. Boston, 1994
[44] Dikutip dalam Wolpert Stanley, Jinnah of Pakistan, Oxford, 1984, hal.339-340
[45] Akbar, M.J. India: The Siege Within. London, 1985
[46] Schork, Kurt. “Pakistan’s Women in Despair.” Dalam Guardian Weekly, September 23, 1990
[47] Goodwin, Jan. Price of Honor. Boston, 1994 Hal.72
[48] Schork, Kurt. “Pakistan’s Women in Despair.” Dalam Guardian Weekly, September 23, 1990
[49] Goodwin, Jan. Price of Honor. Boston, 1994 Hal.61
[50] Schork, Kurt. “Pakistan’s Women in Despair.” Dalam Guardian Weekly, September 23, 1990
[51] Ibid
[52] Goodwin, Jan. Price of Honor. Boston, 1994 Hal.64
[53] Schork, Kurt. “Pakistan’s Women in Despair.” Dalam Guardian Weekly, September 23, 1990
[54] Ahmed R. (ed), Sayings of Quaid-i-Azam (Jinnah), Karachi, 1986, hal.98
_________________
Para Muslim tidaklah bodoh. Mereka bisa melihat bahwa Islam adalah salah. Mereka tahu ayat2 Quran bertentangan satu sama lain. Mereka tahu Islam bertentangan dengan kecerdasan manusia dan tidak masuk akal, tapi mereka begitu terjebak di dalamnya sehingga mereka tidak bisa meninggalkannya. Mereka memaksa diri mereka untuk percaya, karena tanpa itu, mereka bagaikan tersesat.
- Ali Sina

No comments:

Post a Comment