Oleh Robert Spencer dan Phyllis Chesler
TAHUKAH ANDA:
- Seorang pria Muslim di Iran memenggal kepala putrinya yang berusia 7 tahun karena ia mencurigai putrinya telah diperkosa oleh pamannya sendiri?1
- Banyak anak perempuan Muslim yang disunat – dengan atau tanpa pembiusan – untuk menghancurkan seksualitas mereka dan menjadikan mereka “murni”?2
- Pemukulan terhadap istri dan anak perempuan adalah sesuatu yang rutin dilakukan dalam dunia Muslim. Sebagai contoh, lebih dari 90% istri orang Pakistan telah dihajar, dipukuli, atau mengalami pelecehan seksual – hanya karena kesalahan-kesalahan seperti memasak makanan yang kurang dapat memuaskan, atau karena tidak dapat melahirkan anak laki- laki?3
- Di Iran, umur yang sah untuk menikah adalah 9 tahun, dan di kamp pengungsi di Afghanistan sebenarnya semua anak perempuan yang duduk di kelas dua SD sudah menikah?4
- Para wanita yang diperkosa di negara-negara Muslim seringkali akhirnya mengalami penghukuman sedangkan si pemerkosa melenggang bebas?5
- Yang harus dilakukan seorang pria untuk menceraikan istrinya hanyalah berkata,”saya menceraikanmu” sebanyak tiga kali – lalu saat itu juga wanita itu menjadi janda tanpa ada yang mendukung dan juga harus kehilangan anak-anaknya, karena biasanya anak-anaknya diambil oleh suaminya?6
Fakta-fakta
ini menunjukkan bahwa peperangan kita bukanlah hanya soal bom dan
pembajakan pesawat terbang. Namun peperangan kita juga menyangkut soal
penindasan terhadap kaum wanita — dan seringkali dengan menggunakan
cara-cara yang mengerikan. Penindasan ini juga bukanlah merupakan
insiden yang merupakan produk sampingan dari terorisme. Hukum Islam –
syariah – yang diperjuangkan oleh para teroris agar diberlakukan di atas
muka bumi memandatkan ditetapkannya diskriminasi terhadap kaum wanita.
Pembedaan perlakuan terhadap jender dalam Islam jauh melampaui warga
negara kelas dua. Pembedaan perlakuan jender dimaksudkan untuk
menghancurkan dan menundukkan wanita.
Di Afghanistan, gambaran kaum wanita yang
mengenakan burqa, gaun panjang yang menutupi kepala, wajah dan tubuh
mereka, yang sangat membatasi dan mengaburkan pandangan mereka; menjadi
simbol kehidupan di bawah pemerintahan Taliban. Rejim Muslim radikal
tersebut melarang kaum wanita untuk mendapatkan pendidikan, bahkan
keluar rumah sendirian. Polisi “moral” atau polisi “susila” memukuli
mereka dengan tongkat di jalanan oleh karena pelanggaran- pelanggaran
yang sepele. Penindasan terhadap kaum wanita ada dalam jantung hati
pemerintah dimana mereka tinggal, dan merupakan cara pandang mereka.
Para teroris jihad lainnya akan memaksakan diberlakukannya gaya rejim Taliban bilamana mereka mendapatkan kekuasaan.
Bagi orang Amerika yang hidup dalam
sebuah dunia yang menjunjung tinggi kesetaraan jender, teramat sulit
membayangkan masih ada sebuah kekejaman sistematis seperti itu yang
dijalankan oleh sebuah keyakinan religius. Namun di seluruh dunia
Muslim, kaum wanita mendapatkan pelarangan-pelarangan atas
pergerakan-pergerakan mereka, pilihan-pilihan untuk pernikahan,
kesempatan-kesempatan mereka di dunia kerja, dan masih banyak lagi. Di
Kuwait, Arab Saudi, dan tempat-tempat lainnya, wanita tidak mempunyai
hak untuk memilih dalam pemilu atau memegang jabatan. Berdasarkan
Amnesti Internasional, di Arab Saudi “wanita …yang berjalan sendirian,
atau didampingi oleh pria yang bukan suaminya dan juga bukan kerabat
dekatnya, beresiko untuk ditangkap dengan dugaan pelacuran atau
“pelanggaran-pelanggaran ‘moral’ lainnya”.7 Penindasan
terhadap kaum wanita di negara Muslim juga bukanlah sebuah kecelakaan
sejarah yang bersifat sementara. Menurut Wajeha Al-Huwaider seorang
feminis Saudi, kehidupan banyak kaum wanita Arab sama dengan narapidana.
Namun, seorang wanita Arab yang adalah tawanan di dalam rumahnya
sendiri, sesungguhnya tidak melakukan kejahatan apapun, bukan merupakan
hasil rampasan perang, dan bukanlah anggota pasukan teroris apapun.
Menurut Freidoune Sahebjam seorang Iran yang mengalami pembuangan dan
penulis buku The Stoning of Soraya M, dosa seorang wanita Islam adalah karena ia dilahirkan sebagai perempuan, yang merupakan sebuah “pelanggaran besar” dalam era jihad.
Kaum pria menggunakan Qur’an dan tradisi
serta hukum Islam secara sistematis untuk menciptakan apa yang disebut
oleh seorang pengacara wanita Muslim Mesir Dr. Nawal El-Saadawi sebagai
“sebuah sistem kelas patriarkal dimana kaum pria mendominasi kaum
wanita”.8 Ada anggapan, seperti yang
tertera dalam Qur’an, bahwa “pria mempunyai status yang lebih tinggi
daripada wanita”, dan ini sangat mendarah-daging dalam dunia Islam.9 Dan
tekanan terhadap wanita untuk tunduk dan menerima situasi ini telah ada
sejak berdirinya Islam. Aisha, istri yang paling dikasihi Nabi Muhammad
diantara sekian banyak istrinya, menasehatkan kaum wanita untuk tunduk
tanpa syarat: “Wahai kaum wanita, jika kamu mengetahui hak-hak yang dimiliki suamimu atas kamu, setiap kamu akan menghapus debu dari kaki suami kalian dengan wajahmu”.10
Penindasan terhadap wanita diajarkan oleh
Islam, dan seringkali oleh kitab sucinya, terwujud dalam berbagai cara.
Berikut ini adalah beberapa contoh penindasan yang paling dashyat:
Sunat pada wanita
Di beberapa negara Islam kaum wanita
harus menjalani sunat. Aktivis hak azasi wanita Somalia dan yang
merupakan mantan Muslim Ayaan Hirsi Ali mengemukakan bahwa di negaranya
sendiri klitoris semua anak perempuan telah dipotong, kadangkala saat
mereka masih berusia 5 tahun, dan praktek itu dibenarkan dalam Islam.
Dikatakan bahwa anak-anak perempuan yang tidak disunat akan menjadi
pelacur sedangkan yang disunat akan menjadi suci. Hirsi Ali menceritakan
pengalamannya sendiri ketika ia disunat dalam bukunya yang berjudul Infidel:
“Nenek memegang saya dan mencengkeram
tubuh saya bagian atas… Dua orang wanita lainnya memegangi kaki saya.
Seorang pria, kemungkinan besar ia adalah seorang tukang sunat
tradisional keliling dari klan pandai besi, mengambil sepasang gunting.
Dengan satu tangannya, ia memegangi selangkangan saya dan mulai
memerasnya, seperti ketika nenek memerah susu kambing …
Kemudian gunting itu mengarah ke
selangkangan saya dan pria itu memotong labia dalam dan klitoris saya.
Saya mendengar bunyinya, seperti suara ketika tukang jagal memisahkan
lemak dari daging. Ada rasa sakit yang menikam di selangkangan saya yang
tidak dapat saya gambarkan, dan saya meraung. Kemudian saya dijahit:
sebuah jarum yang panjang dan tumpul dengan ceroboh dimasukkan ke dalam
labia luar saya yang berdarah, saya protes dengan sangat keras,
kata-kata nenek menghiburkan dan menyemangati saya… Ketika proses
menjahit selesai, pria itu memutuskan benang dengan giginya. Itulah yang
saya ingat.
Nampaknya kemudian saya jatuh tertidur,
karena kemudian saya menyadari bahwa kedua kaki saya telah diikat
menjadi satu, untuk mencegah agar saya tidak bergerak sehingga terluka.
Hari sudah gelap dan kandung kemih saya sudah penuh, tapi rasanya sakit
sekali jika buang air kecil. Rasa sakit yang menusuk itu masih terasa,
dan kedua kaki saya bersimbah darah. Saya berkeringat dan menggigil.
Sebelum hari itu berganti nenek telah membujuk saya untuk buang air
kecil walau hanya sedikit. Ketika saya berbaring diam-diam rasa sakit
itu menyiksa saya, namun ketika saya buang air kecil saya kesakitan sama
seperti ketika saya disunat”.11
Sunat bukanlah semata-mata merupakan
kebiasaan Islam. Sunat juga dipraktekkan oleh sejumlah kelompok budaya
dan religius di Afrika dan Asia Selatan. Diantara orang Muslim, sunat
dipraktekkan terutama di Mesir, Sudan, Somalia, dan di negara-negara
Afrika lainnya.
Walaupun kenyataanya ada sedikit
penegasan dalam pengajaran Islam mengenai praktek yang mengerikan ini,
orang Muslim mempraktekkannya oleh karena ajaran agama. Sebuah panduan
sah Islam memaparkan bahwa sunat diberlakukan “baik pada pria maupun
wanita”.12
Bagi Sheikh Muhammad Sayyed Tantawi, Imam
Besar al-Azhar di Kairo, sebuah universitas tertua dan paling bergengsi
di dataran Islam, sunat pada wanita adalah “sebuah praktek terpuji yang
memberi kehormatan kepada wanita”.13 Tantawi
bukanlah orang sembarangan: menurut laporan BBC ia adalah “otoritas
spiritual yang tertinggi bagi hampir sejuta kaum Muslim Sunni”.14 Ketika
menganjurkan sunat pada wanita ia menggunakan pengaruh otoritas
spiritualnya untuk mengabadikan sebuah praktek yang memberikan rasa
sakit seumur hidup kepada wanita dan yang menghalangi akses wanita untuk
mendapatkan kepuasan seksual. Namun barangkali di mata Sheikh Tantawi
rasa sakit itu sepadan dengan hasilnya: banyak pihak otoritas yang
setuju bahwa sunat pada wanita dirancang untuk meniadakan respons
seksual seorang wanita, sehingga ia tidak akan melakukan perzinahan.
Pemukulan terhadap Anak Perempuan, Saudari, dan Istri
Institut Sains Medis di Pakistan telah
mengumumkan bahwa lebih dari 90% para istri di Pakistan dipukuli,
dihajar, atau dilecehkan secara seksual – karena pelanggaran-pelanggaran
seperti masakan yang kurang enak atau karena tidak dapat melahirkan
anak laki-laki.15 Mendominasi kaum
wanita mereka dengan kekejaman adalah sebuah hak prerogatif yang sangat
kuat dipegang oleh pria Muslim. Pada musim semi 2005, ketika Chad,
sebuah negara di Afrika Timur, mencoba untuk menetapkan sebuah hukum
yang baru mengenai keluarga, yang akan memberi sanksi bagi mereka yang
melakukan pemukulan terhadap istri, para ulama Muslim memimpin
perlawanan terhadap peraturan itu yang dinilai sebagai peraturan yang
tidak islami.16 Memukuli anak
perempuan dan saudari sama rutinnya dengan pemukulan terhadap istri dan
secara psikologis “mempengaruhi” para gadis untuk menerima perlakuan
seperti itu ketika mereka beranjak dewasa.
Mengapa hal-hal seperti ini bisa terjadi?
Karena para ulama Islam di seluruh dunia telah menyetujui penyiksaan fisik seperti ini terhadap kaum wanita.
Pada tahun 2004, seorang Imam di Spanyol,
Mohammed Kamal Mustafa, dipandang bersalah karena “menganjurkan
kekerasan atas dasar jender” yang dimuat dalam bukunya Women In Islam, yang mendiskusikan metode-metode dan batasan-batasan dalam memberlakukan “penghukuman fisik” terhadap wanita.17 Namun
umumnya, para pria Muslim berhasil membawa aturan kekejaman dalam agama
ini ketika mereka berimigrasi ke Barat, bahkan ke Amerika Serikat.
Pemimpin Muslim Amerika yang terkemuka Dr. Muzammil H. Siddiqi, mantan
presiden Islamic Society of North America (ISNA), mengatakan bahwa
“dalam beberapa kasus seorang suami dapat menggunakan beberapa tindakan
disiplin yang ringan untuk memperbaiki pelanggaran moral istrinya…Qur’an
berbicara dengan sangat jelas mengenai masalah ini”.18
Sheikh Yousef Qaradhawi, salah seorang
ulama Islam yang paling dihormati dan berpengaruh di dunia telah
menulis: “Jika seorang suami merasakan adanya ketidaktaatan dan
pemberontakan terhadapnya dalam diri istrinya, ia harus berusaha
semampunya untuk memperbaiki tingkah-laku istrinya dengan kata-kata yang
baik, bujukan yang lembut, dan menasehatinya. Jika ini tidak berhasil,
ia harus pisah ranjang dengan istrinya, berusaha membangkitkan sifat
femininnya yang mau bersepakat sehingga kedamaian dapat dipulihkan, dan
istrinya itu akan berespon pada suaminya dengan cara yang harmonis. Jika
pendekatan ini gagal, maka ia diijinkan untuk memukuli istrinya dengan
ringan, tidak di wajah dan bagian-bagian tubuh sensitif lainnya”.19
Mengapa mereka mengatakan hal-hal semacam itu?
Karena ijin untuk memukuli seorang istri berakar di dalam kitab suci Islam yaitu Qur’an dan tradisi Islam.
Qur’an berkata: “Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian dari mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka…”20
Pernah dikatakan bahwa “wanita yang telah
mengeraskan hati terhadap suaminya”, kata nabi Muhammad “mengijinkan
suminya untuk memukulinya”.21 Ia tidak senang terhadap kaum wanita yang mengeluh, bukan dengan suami mereka yang telah melakukan tindak kekerasan.
Muhammad bahkan menghajar istri
kesayangannya, Aisha. Suatu malam ketika ia keluar, Aisha diam-diam
membuntutinya. Ketika nabi mengetahui apa yang telah dilakukannya, Aisha
menceritakan, “Ia menghajar saya di dada sehingga saya kesakitan, dan
kemudian berkata ‘Apa menurutmu Allah dan Rasul-Nya akan bertindak tidak
adil padamu?”22
Kemudahan Untuk Menceraikan (bagi pria) Dan Poligami
Pada bulan Maret 2007 terjadi sebuah
musibah kebakaran rumah yang tragis, yang memakan korban seorang wanita
dengan ke-9 anaknya di sebuah jajaran perumahan di Bronx. Peristiwa ini
menguak praktek poligami Islam di Amerika Serikat. Moussa Magassa si
pemilik rumah dan ayah dari 5 anak yang meninggal, memiliki 2 orang
istri (mereka berdua selamat dari kobaran api). New York Times melaporkan
bahwa “arus imigrasi ke New York dan kota-kota lain di Amerika berasal
dari tempat-tempat dimana poligami adalah praktek yang sah dan tersebar
luas, terutama dari negara-negara Afrika Barat seperti Mali, dimana
survey demografinya menunjukkan bahwa 43% wanita disana menjalani
pernikahan yang poligamis”.23
Poligami – yang tidak memanusiakan wanita
dan merendahkan wanita hingga hanya berstatus sebagai komoditas, dan
sejak lama telah dipandang sebagai praktek yang melanggar hukum di
Amerika Serikat – menjadi bagian dari gaya hidup baru para imigran yang
hidup di Barat. Mufti Barkatullah, seorang imam senior di London,
menyatakan bahwa pada tahun 2004 ada sekitar 4000 keluarga poligamis di
Inggris Raya. Dr. Ghayasuddin Siddiqui dari Parlemen Muslim di Inggris,
memberikan perkiraan yang lebih rendah yang masih tetap mengindikasikan
bahwa praktek ini telah tersebar dengan luas: “saya bertemu dengan
seorang pria yang mempunyai 5 istri dan saya memperkirakan ada sekitar
2000 pria yang mempunyai pernikahan yang poligamis di Inggris.
Diantaranya, ada 1000 pria yang mempunyai banyak istri disini dan 1000
yang lainnya mempunyai seorang istri disini dan beberapa istri di
negara-negara yang berbeda”. Pada akhir tahun 2004 pemerintah Inggris
memikirkan apakah praktek yang tidak terelakkan ini akan diterima atau
tidak, bahkan berpikir untuk mensahkannya dan kemudian memungut pajak
dari mereka yang berpoligami.24
Jika poligami mempunyai akarnya dalam
kitab suci Islam (“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat..”25)
maka demikian pula dengan perceraian. Seorang pria Muslim dapat
menceraikan istrinya yang mana saja hanya dengan berkata “saya
menceraikanmu” atau “kamu sudah diceraikan”.26 Qur’an
hanya menetapkan agar si pria menunggu dalam jangka waktu yang tepat
agar ia yakin bahwa istrinya tidak sedang hamil ketika diceraikan.27 Jika
pasangan yang bercerai itu mempunyai anak, maka (hak asuh) anak jatuh
ke tangan suami (ayah anak itu), dan ia tidak mempunyai kewajiban untuk
mendukung istrinya secara finansial atau dukungan apapun juga.28
Oleh karena kaum pria dapat dengan
mudahnya menceraikan, seringkali mereka menceraikan istrinya secara
tidak terduga. Kadangkala mereka kemudian berpikiran lain dan ingin
rujuk atau menikah lagi. Tapi berdasarkan Qur’an dan hukum Islam, jika
seorang pria telah menceraikan istrinya, “ia tidak dapat menikahinya
lagi hingga istrinya itu telah menikahi orang lain dan pria itu
menceraikannya”.29 Praktek ini
bahkan ditetapkan oleh Muhammad sendiri sebagai pihak yang berotoritas
dalam Islam. Suatu ketika seorang wanita yang telah diceraikan suaminya
datang padanya, wanita itu telah menikah dengan pria lain, dan sekarang
ingin menikah lagi dengan suaminya yang pertama – sebab suaminya yang
kedua menderita impotensi. Muhammad tidak kurang akal, dan mengatakan
padanya bahwa ia tidak dapat kembali kepada suaminya yang pertama
“kecuali kamu sudah melakukan hubungan seksual yang komplet dengan
suamimu sekarang dan ia menikmati sebuah hubungan seksual yang komplet
denganmu”.30 Pernyataan ini
dijunjung dalam hukum Islam, dan telah menimbulkan fenomena “suami-suami
sementara”. Pria- pria ini “menikahi” wanita tersebut untuk dapat
melakukan hubungan seksual dalam semalam sehingga wanita itu dapat
kembali ke keluarganya dan kepada suaminya yang telah menceraikannya
karena merasa jengkel.
Islam Syiah, aliran Islam yang dominan di
Iran, mengijinkan sebuah bentuk lain dari “pernikahan sementara”. Ini
tidak sama dengan pernikahan yang harus dijalani wanita yang telah
diceraikan agar ia dapat kembali ke keluarganya. Namun lebih merupakan
ijin bagi pria untuk mendapatkan pendampingan seksual dari wanita untuk
jangka waktu yang pendek. Dalam pernikahan sementara atau mut’a, pasangan
itu menandatangani sebuah persetujuan yang aneh dalam segala hal dan
bahwa pernikahan itu mempunyai batasan waktu. Ada sebuah tradisi dari
Muhammad yang mengatakan bahwa sebuah pernikahan sementara “harus
berumur 3 malam, dan jika mereka ingin meneruskannya, mereka dapat
melakukannya, dan jika mereka ingin berpisah, maka mereka pun dapat
melakukannya”.31 Namun, banyak pernikahan semacam itu tidak sampai berumur 3 malam.
Para istri sementara, yang kemudian
menjadi pelacur sebagai dampak dari aturan religius, cenderung berkumpul
di kota-kota suci Syiah, dimana mereka dapat menawarkan diri untuk
mendampingi para santri yang kesepian. Salah seorang santri menceritakan
pengalamannya untuk menjalani sebuah pernikahan sementara pada awal
abad ke-20:
“…Untungnya, wanita itu ada di rumah dan
saya menikahinya untuk sementara waktu. Setelah saya menuntaskan hasrat
saya dan mendapatkan kenikmatan dari apa yang saya dapatkan secara sah,
saya memberikan wanita itu qeran (sebuah koin)… Jelaslah jika seorang taladeh (pelajar) tidak mempunyai masalah dengan bagian bawah tubuhnya maka ia lebih bahagia daripada seorang raja”.32
Perbudakan Seksual dan Rumah-tangga Terhadap Kaum Wanita
Seorang Saudi bernama Homaidan Al-Turki
dihukum penjara selama 27 tahun pada September 2006 karena memelihara
seorang wanita sebagai budak dan melecehkannya secara seksual di
rumahnya di Colorado. Al-Turki mengklaim bahwa ia adalah korban dari
prasangka anti-Muslim.
Ia berkata kepada hakim: “Yang Mulia,
saya ada disini bukan untuk meminta maaf, karena saya tidak dapat
meminta maaf atas hal-hal yang tidak saya lakukan dan kejahatan yang
tidak saya lakukan. Negara ini telah mengkriminalkan tindakan-tindakan
dasar Muslim. Menyerang tingkah- laku tradisional Muslim merupakan
dakwaan yang harus diperhatikan”.33
Pada bulan berikutnya, sepasang orang
Mesir yang tinggal di Selatan California menerima denda dan tuntutan
pemenjaraan, lalu diikuti dengan deportasi, karena dituduh bersalah
telah menyekap seorang anak perempuan berusia 10 tahun sebagai budak
seks.34 Pada Januari 2007, seorang
Atase Kedutaan Kuwait di Washington dan istrinya didakwa menyekap 3
pekerja rumah-tangga Kristiani dari India dalam kondisi perbudakan di
rumah mereka di Virginia. Salah seorang dari ke-3 wanita itu
mengungkapkan: “Saya yakin saya tidak mempunyai pilihan lain selain
terus bekerja untuk mereka walaupun mereka memukuli saya dan
memperlakukan saya lebih buruk daripada budak”.35
Perbudakan seksual sangat mungkin terjadi
karena perbudakan itu sendiri masih eksis di dunia Muslim. Arab Saudi
hanya menghapuskan perbudakan pada 1962; Yemen dan Oman tidak
mengikutinya hingga 1970. Perbudakan dewasa ini dipraktekkan secara
terbuka di dua negara Muslim, Sudan dan Mauritania. Berdasarkan praktek
dalam sejarah, para pedagang budak Muslim di Sudan umumnya memperbudak
orang non-Muslim, dan terutama orang Kristen. Berdasarkan Coalition
Against Slavery in Mauritania and Sudan (CASMAS), yaitu sebuah
pergerakan hak-hak azasi manusia dan abolisionis yang didirikan pada
1995, “Pemerintahan Khartoum yang ada sekarang ingin membawa kaum
non-Muslim Hitam Selatan bersesuaian dengan hukum syariah,
dipaparkan dan ditafsirkan oleh para ulama konservatif Muslim. Kaum
animis Hitam dan orang Kristen Selatan mengingat saat penggerebekan
budak oleh orang Arab datang dari Utara dan Timur bagi mereka yang
menolak pemerintahan religius Muslim dan adanya ekspansi ekonomi, budaya
dan keagamaan di balik (perdagangan budak) itu”.36 Penggagas
anti perbudakan Mauritania Boubacar Messaoud menjelaskan bahwa “Itu
seperti memiliki kambing atau domba. Jika seorang wanita adalah budak,
maka keturunannya pun adalah budak”.37
Sementara itu, Pakistan yang merupakan
“negara asal dan juga negara transit bagi perdagangan wanita untuk
pekerja rumah-tangga, memberlakukan pernikahan dan pelacuran. Perbudakan
jenis ini diorganisir oleh jaringan kerja kriminal yang menjangkau Asia
Selatan. Beberapa wanita, baik lokal atau yang diperdagangkan, akan
dibunuh jika mereka menolak untuk mencari uang melalui pelacuran”.38
Menurut pengacara Karima Bennoune, sejak
1992 dan seterusnya, kaum pria fundamentalis Aljazair telah melakukan
serangkaian “kejahatan terorisme” terhadap kaum wanita Aljazair.
Bennoune mengemukakan adanya “penculikan dan pemerkosaan berulangkali
terhadap gadis- gadis muda sebagai budak-budak seks untuk kaum
fundamentalis bersenjata. Para gadis itu juga harus memasak dan
membersihkan (rumah) untuk para pejuang Tuhan…Seorang gadis yang berusia
17 tahun diperkosa berulangkali sampai ia hamil. Ia diculik dari
jalanan dan ditawan bersama gadis-gadis muda lainnya, salah satunya
ditembak di kepala dan dibunuh ketika berusaha untuk melarikan diri”.39 Kelompok-kelompok jihad Irak
pada 2007, menurut Michael E. O’Hanlon dan Kenneth M. Pollack dari
Brookings Institution, “berusaha untuk memberlakukan hukum syariah,
bersikap brutal terhadap kaum awam Irak agar mereka mematuhinya,
membunuh para pemimpin lokal yang penting dan memaksa para wanita muda
untuk menikahi kaum loyalis mereka”.40
Tingkah-laku seperti itu sesuai dengan
Muhammad dan orang Muslim mula-mula, yang setelah berperang secara rutin
mengambil para janda dari pejuang-pejuan yang telah mereka bunuh untuk
dijadikan tawanan.41
Qur’an mengarahkan kaum pria Muslim untuk
“menikahi wanita menurut pilihanmu, dua atau tiga atau empat; tetapi
jika kamu takut tidak dapat berlaku adil (terhadap mereka), maka satu
saja, atau (seorang tawanan) yang dimiliki tangan kananmu…42 (penekanan ditambahkan).
Pernikahan Anak-anak
UNICEF melaporkan bahwa lebih dari
separoh anak perempuan di Afghanistan dan Bangladesh sudah menikah
sebelum mereka berusia 18 tahun.43 Pada
awal 2002, para peneliti di kamp-kamp pengungsi di Afghanistan dan
Pakistan menemukan bahwa separoh dari gadis-gadis disana telah menikah
pada usia 13 tahun. Dalam sebuah kamp pengungsi di Afghanistan,
kebanyakan dua dari tiga anak perempuan kelas dua SD yang sudah menikah
atau ditunangkan, dan sebenarnya semua anak perempuan setelah kelas 2 SD
sudah menikah. Seorang anak perempuan berusia 10 tahun ditunangkan
dengan seorang laki-laki berusia 60 tahun.44 Limapuluh
persen dari gadis-gadis Afghanistan di bawah 16 tahun, dan kebanyakan
pada usia 9 tahun, menikah karena telah dijodohkan.45 Pada
awal 2005 seorang pria Saudi yang berusia 60-an menarik perhatian dunia
internasional karena menikah sebanyak 58 kali; pengantin wanitanya yang
terbaru berusia 14 tahun yang dinikahinya pada musim semi 2004.46
Pernikahan anak-anak terdapat dalam hukum dan kebiasaan. Pada 2001 majalah Time melaporkan:
“Di Iran usia yang sah bagi seorang anak
perempuan untuk menikah adalah 9 tahun, dan 14 tahun untuk anak
laki-laki. Hukum ini kadangkala dieksploitasi oleh para pedofil yang
menikahi gadis-gadis muda yang miskin dari berbagai propinsi, memakai
mereka, lalu meninggalkan mereka. Pada tahun 2000 Parlemen Iran
memutuskan untuk menaikkan batas usia minimum bagi para gadis menjadi 14
tahun, tapi tahun ini, sebuah dewan legislatif yang didominasi oleh
para ulama tradisional memveto gerakan itu. Usaha kaum konservatif untuk
meniadakan usia minimum sah di Yemen yaitu 15 tahun untuk anak
perempuan telah gagal, namun para ahli mengatakan bahwa itupun sudah
jarang dilakukan.47 Ayatollah Khomeini di Iran menikahi seorang anak perempuan berusia 10 tahun ketika ia berusia 28 tahun.48 Khomeini
menyebut pernikahan dengan seorang anak perempuan yang belum memasuki
masa puber sebagai “sebuah berkat ilahi”, menasehatkan orang-orang
beriman untuk: “Melakukan semampumu untuk memastikan bahwa anak-anak
perempuanmu tidak melihat darah pertama mereka (mendapat haid pertama –
Red) di rumahmu”.49
Pada awal 2007, kemarau parah di
Afghanistan mengakibatkan beberapa orang Afghan menjual anak-anak
perempuan mereka untuk dinikahi – termasuk anak-anak perempuan yang baru
berusia 8 tahun – agar dapat membeli makanan. Seorang ibu Afghan
menjelaskan: “Saya terpaksa menjual anak-anak perempuan saya karena
kekeringan ini. Kami tidak mempunyai cukup makanan dan uang dari
pernikahan ini membuat kami dapat membeli makanan. Tiga bulan yang lalu
anak perempuan saya yang berusia 15 tahun menikah”.50 Gadis-gadis lain telah dijual untuk melunasi hutang-hutang opium. Seorang gadis Afghan bernama Saliha menceritakan:
“Saya berusia 13 tahun ketika ayah saya
menikahkan saya dengan seorang pria berusia 20 tahun, karena ayahnya
telah memberikan pinjaman kepada orang-tua saya dan orang-tua saya tidak
sanggup mengembalikannya atau membayarnya dengan sejumlah opium”.51
Dengan adanya pernikahan anak-anak,
kekerasan dalam rumah-tangga semakin meningkat. Seorang ahli mengatakan
kepada kami, “Di Mesir 29% orang dewasa yang telah menikah telah
dipukuli oleh suami mereka; diantaranya, 41% dipukuli selama masa
kehamilan. Sebuah studi di Jordan mengindikasikan bahwa 26% dari kasus
kekerasan rumah-tangga yang dilaporkan dilakukan terhadap para wanita
yang berusia di bawah 18 tahun”.52
Sangat sulit bagi para reformis untuk
menentang pernikahan anak-anak karena hal itu sesuai dengan teladan Nabi
Muhammad sendiri: “Nabi menulis (kontrak pernikahan) dengan
Aisha ketika ia masih berusia 6 tahun dan melakukan hubungan suami-istri
dengannya ketika ia berusia 9 tahun dan Aisha tinggal bersamanya selama
9 tahun (yaitu sampai kematiannya)”.53 Qur’an
memasukkan pernikahan anak-anak dalam arahannya mengenai perceraian.
Ketika berbicara mengenai periode menunggu yang harus dijalani untuk
menentukan apakah wanita itu sedang hamil atau tidak, Qur’an berkata:
“Jika kamu ragu berkenaan dengan para istrimu yang terhenti haidnya,
ketahuilah bahwa waktu menunggu mereka adalah 3 bulan. Hal yang sama
juga berlaku terhadap mereka yang belum mendapat menstruasi” (penekanan ditambahkan).54 Dengan
perkataan lain, disini Allah menggambarkan sebuah skenario dalam mana
seorang perempuan yang belum memasuki masa puber bukan saja sudah
menikah, namun juga diceraikan oleh suaminya.
Cadar dan Jilbab
Pada Februari 2007, Zilla Huma Usman,
Menteri Kesejahteraan Sosial Pakistan di propinsi Punjab, ditembak mati
oleh seorang Muslim karena tidak memakai kerudung. Si pembunuh, Mohammad
Sarwar, mengatakan: “Saya tidak menyesal. Saya hanya mematuhi perintah
Allah. Saya akan membunuh semua wanita yang tidak mengikuti jalan yang
benar, jika saya telah dibebaskan”.55
Di Aljazair, “sebagaimana di Iran,
wanita-wanita Aljazair yang mandiri, terpelajar, dan tidak berjilbab
dipandang sebagai target militer dan semakin banyak yang ditembak jika
mereka terlihat”. Pengacara Karima Bennoune mengatakan: “Kaum pria
Aljazair memanggul senjata, kaum wanita Aljazair mengenakan kerudung.
Seperti yang dikatakan oleh seorang wanita: ‘Rasa takut lebih besar
daripada keinginan kami untuk bebas’”.56 Di
kota suci Muslim, Mekkah, pada Maret 2002, limabelas gadis remaja
meninggal dalam kobaran api di sekolah mereka ketika polisi religius
Saudi, Muttawa, tidak mengijinkan mereka keluar dari bangunan
itu. Mengapa? Karena dalam lingkungan sekolah khusus untuk putri itu,
mereka telah menanggalkan pakaian serba tertutup yang harus dikenakan
kaum wanita Saudi bila bertemu dengan pria. Mereka belum mengenakan
pakaian itu lagi saat mereka berusaha menyelamatkan diri dari kobaran
api. Muttawa lebih suka mereka mati daripada melanggar hukum
Islam, dan mereka bertikai dengan polisi dan pemadam kebakaran yang
berusaha membuka pintu-pintu sekolah untuk menyelamatkan gadis-gadis
itu.57 Oleh karena pemikiran seperti
ini, di seluruh dunia Muslim kaum wanita mengalami pelarangan dan
pembatasan atas pergerakan mereka, pilihan-pilihan mereka untuk menikah,
kesempatan-kesempatan mereka di dunia kerja, dan lebih banyak lagi.
Qur’an bahkan memerintahkan agar warisan seorang anak laki-laki haruslah
dua kali lipat lebih besar daripada anak perempuan: “(maka) Allah
mengarahkan kamu sehubungan dengan (warisan) anak-anakmu: untuk
laki-laki, sebanyak bagian dua perempuan”. (4:11)
Perkosaan
Pada Maret 2007, seorang wanita Saudi
berusia 19 tahun dihukum 90 kali cambukan. Apakah kejahatannya? Seorang
pria mengancam akan memberitahu ayahnya kalau mereka mempunyai hubungan,
kecuali ia bersedia untuk menemui pria itu sendirian. Ketika ia
menurutinya, gadis itu diculik dan diperkosa berulangkali, dan kemudian
saudaranya memukulinya karena perkosaan itu mempermalukan keluarga.
Alih-alih memberikan keadilan padanya, pengadilan Saudi memberinya
hukuman cambuk sebanyak 90 kali karena ia telah menemui seorang pria
yang bukan kerabatnya seorang diri.58
Ini bukanlah kasus yang tersembunyi.
“Pada 2004, seorang gadis berusia 16 tahun, Atefeh Rajabi, digantung di
alun-alun Iran. Apakah kejahatannya? Rajabi dituduh melakukan perzinahan
– yang kemungkinan besar, ia sebenarnya diperkosa. Pemerkosanya tidak
dihukum. Rajabi mengatakan pada mullah/hakim, Haji Rezaii, bahwa ia
harus menghukum para pria yang menjadi pelaku perkosaan dan bukannya
menghukum si korban”. Hakim itu kemudian menghukum dan secara pribadi
menggantung Rajabi, sebagai tambahan atas kejahatannya, hakim mengatakan
bahwa ia mempunyai ‘lidah yang tajam’”.59
Pada 2004 majalah Time melaporkan
bahwa di Irak, “seorang gadis berusia 16 tahun bernama Rana diperkosa
oleh tetangganya pada akhir April di kota Nasiriyah. Ketika keluarganya
mendapati bahwa ia tidak perawan lagi, saudaranya memutuskan untuk
membunuhnya. Seorang sepupu yang mengetahui rencana itu membawa Rana ke
sebuah markas militer Italia yang tidak jauh dari kota; kemudian ia
dipindahkan ke Baghdad dan akhirnya ke sebuah lokasi rahasia lebih jauh
lagi ke utara. Setelah melarikan diri dari keluarganya, ia tidak pernah
lagi pulang ke rumah”.
Baru-baru ini beberapa kasus penting di
Nigeria juga berkisar di seputar tuduhan perkosaan yang diubah oleh
pihak otoritas Islam menjadi dakwaan perzinahan.60 Sebagai
contoh, seorang gadis Nigeria berusia 17 tahun bernama Bariya Ibrahim
Magazu, dihukum 100 kali cambukan dengan tuduhan perzinahan setelah
kehamilannya diketahui. Ia menuduh beberapa pria yang kemungkinan adalah
ayah dari bayi yang dikandungnya itu; ketika mereka semua menyangkali
bahwa mereka mempunyai hubungan dengannya, ia menerima tambahan 18 kali
cambukan karena telah mengucapkan kesaksian palsu.61 Hukum
Islam meremehkan keabsahan kesaksian seorang wanita, terutama berkenaan
dengan kasus imoralitas seksual. Dan para pemikir sah teori Islam
bahkan telah membatasinya lebih jauh lagi, dalam panduan legal Muslim
dikatakan, untuk “kasus-kasus yang melibatkan properti, atau transaksi
properti, seperti penjualan”.62 Dalam
wilayah yudisial lainnya hanya pria yang boleh bersaksi. Oleh karena
itu sangatlah mustahil untuk membuktikan adanya perkosaan di
negara-negara yang menjalankan ketentuan syariah ini. Jika tidak
ditemukan saksi-saksi pria yang dibutuhkan untuk menyatakannya tidak
bersalah (4 pria yang bersaksi bahwa mereka melihat kejadian perkara
itu, berdasarkan Qur’an), tuntutan perkosaan atas si korban akan menjadi
dakwaan perzinahan. Itu menegaskan kenyataan pedih bahwa sebanyak 75%
wanita yang berada dalam penjara di Pakistan menjadi narapidana karena
telah diperkosa. Kejahatan mereka adalah karena mereka telah diperkosa.63
Penting sekali untuk menyadari bahwa
sikap dan tindakan seperti itu yang merupakan karakter dari sikap
apartheid jender Islam yang telah berpenetrasi di Barat. Ada sejumlah
laporan mengenai kaum pria Muslim yang memperkosa para wanita di
Skandinavia dan Australia. Perbuatan mereka yang biadab itu telah
dibenarkan oleh para imam. Pada bulan September 2006, rohaniwan Muslim
Australia yang paling senior Sheik Taj al-Din al-Hilali, dalam sebuah
referensi yang jelas terhadap gang pemerkosa Sidney yang sangat
terkenal, mengatakan dalam kotbahnya: “Wanita itu sendiri yang
melepaskan pakaian mereka, memendekkan pakaian mereka, bersikap genit,
mengenakan make-up dan bedak dan membawa diri mereka ke jalanan. Allah
melindungi kita untuk tidak membuang-buang waktu. “Jika saya melihat
kejahatan pemerkosaan seperti itu – atau penculikan atau kekerasan demi
kehormatan – Saya akan mendisiplinkan pria dan memerintahkan supaya
wanita ditangkap dan dipenjarakan seumur hidup. Jika ia tidak membiarkan
dagingnya untuk tidak tertutupi, bahkan kucing sendiri pun tidak akan
mencurinya.”
Apa yang harus kita mengerti dari
statemen itu: Setiap aksi yang bersifat independen oleh seorang Arab
atau seorang gadis Muslim atau wanita, dipahami pada hakekatnya sebagai
aksi yang bersifat “seksual”, “immoral” dan “memalukan”. Jika ia ingin
sekolah di Akademi, menolak untuk menikah dengan sepupunya yang paling
tua, memilih sebuah hubungan berdasarkan cinta, mencoba membangun
hubungan dengan kekasih pilihannya, meninggalkan agamanya, berpaling ke
agama yang lain – maka ia menempatkan dirinya dalam bahaya bahwa ia bisa
saja dibunuh oleh massa yang terdiri dari kaum pria yang membenci
wanita.
Pembunuhan Demi Kehormatan
Tidak ada sanksi dalam Quran atau hukum
Islam untuk pembunuhan demi kehormatan. Namun demikian, praktek ini pada
kenyataannya didorong oleh budaya malu/kehormatan yang diciptakan oleh
Islam. Sebuah pelanggaran hukum terhadap kitab undang-undang hukum moral
dalam banyak negara Muslim dipandang bukan sebagai sebuah dosa oleh
individu yang melakukannya, tetapi sebagai sebuah noda terhadap keluarga
individual ini, yang mana anggota-anggotanya seringkali merasa adalah
sebuah kewajiban untuk membunuhnya sebagai cara untuk memulihkan
kehormatan mereka.
Pada tahun 2003, bahkan Parlemen Yordania
yang relatif cukup moderat membatalkan sebuah ketentuan yang didisain
untuk memperkeras hukuman bagi pembunuhan yang dilakukan demi
kehormatan. Menurut Al Jazeera, “Para Islamis dan kaum
konservatif berkata bahwa hukum- hukum itu telah melanggar
tradisi-tradisi keagamaan dan akan menghancurkan keluarga-keluarga dan
nilai-nilai.”64
Berdasarkan laporan Chichago Tribune,”Pada
tanggal 31 Mei, 1994, Kifaya Husayn, seorang gadis Yordania berusia 16
tahun, telah dicambuk di atas kursi oleh saudara laki-lakinya yang
berusia 32 tahun. Ia memberinya air untuk diminum dan menyuruhnya
mengucapkan sebuah doa Islamik.
Kemudian ia menggorok lehernya. Segera
setelah itu, ia berlari ke jalan raya, melambai- lambaikan pisau yang
penuh dengan darah dan berseru,”Saya telah membunuh saudara perempuan
saya untuk membersihkan kehormatan saya.” Apa kejahatan Kifaya? Ia telah
diperkosa oleh saudara laki-lakinya yang lain yang berusia 21 tahun.
Hakim dan jurinya? Pamannya sendiri, yang meyakinkan saudara laki-laki
Kifaya yang paling tua bahwa Kifaya telah sangat mempermalukan keluarga
sehingga ia tidak layak lagi untuk dibiarkan hidup.” Pengadilan yang
mengadili saudara laki-laki Kifaya Husayn memperlihatkan seberapa besar
mereka menilai nyawa saudara perempuan pria ini: Ia dipenjara selama
lima belas tahun yang kemudian hukumannya dikurangi menjadi tujuh tahun.
Menurut majalah Time, pada bulan
September 2003 di Irak “Ali Jasib Mushiji, 17 tahun, menembak ibu dan
saudara laki-lakinya (dari lain bapak), sebab ia menduga mereka memiliki
hubungan asmara dan membunuh saudara perempuannya yang berusia 4 tahun,
sebab ia menduga anak ini adalah hasil hubungan gelap mereka. Saat
duduk di sel penjara di kawasan kumuh Sadr City di Baghdad, ia berkata
bahwa ia menghapuskan keluarganya untuk membersihkan perasaan malu.
Laporan yang sama juga mencatat bahwa
“November lalu, Qadisiyah Misad, usia 16 tahun, lari dari rumah
keluarganya di Baghdad dengan tidak mengenakan rok. Dalam beberapa hari,
salah satu dari saudara laki-laki gadis ini serta seorang keponakannya
mengetahui tempat persembunyiannya di sebuah jalanan kota dan memaksanya
pulang ke rumah. Menurut Essam Wafik al-Jadr, hakim yang mengadili
perkara ini, salah seorang dari saudara laki-laki Misad memaksa saudara
perempuannya yang masih remaja ini untuk berdiri di sudut ruang tamu;
kemudian ia mengambil pistol dan menembakkan beberapa peluru ke arahnya.
“Orangtua mereka meminta saudara laki-lakinya untuk membunuhnya,” kata
al-Jadr, yang mempelajari pembunuhan itu ketika tubuh Misad dibalikkan
di rumah mati di kota Baghdad. Ia memutuskan mendakwa saudara laki-laki
Misad untuk sebuah pembunuhan demi kehormatan. Hukumannya sangat tidak
sesuai dengan kejahatan yang dilakukan: Saudara laki-laki Misad hanya
dihukum penjara selama satu tahun, dan al-Jadr bahkan masih belum yakin
bahwa ia masih ada di kurungan, karena ia masih bisa mendapatkan
pembebasan bersyarat selama beberapa bulan sejak hukumannya dijatuhkan.
Dan juga: “Bulan lalu seorang ahli
koroner Baghdad melaporkan kematian Mouna Adnan Habib, usia 32 tahun,
ibu dari dua orang anak, yang jenazahnya telah dikirim ke rumah mati
yang ada di kota dengan lima peluru di dadanya. Tangan kiri Habib telah
dipotong – sebuah praktek yang biasa dilakukan dalam kasus pembunuhan
demi kehormatan, dimana para pria mengamputasi tangan kiri wanita atau
jari telunjuk untuk memperlihatkan bukti kepada para pemimpin suku dan
keluarga lainnya bahwa perbuatan itu telah dilakukan. Dalam kasus Habib,
anggota keluarganya menduga bahwa ia selingkuh. “Mereka beberapa kali
melihatnya berbicara dengan seorang pria,” kata al-Jadr, yang salah
seorang stafnya menginvestigasi kasus ini. Polisi lokal memberitahukan
al-Jadr bahwa mereka meyakini Habib telah dibunuh oleh sepupunya dan
bukan oleh suaminya; tetapi mereka tidak bisa menemukan pria itu, yang
mereka katakan belum terlihat sejak ia pulang ke rumah keluarganya.” 65 “Pembunuhan demi kehormatan” ini adalah hal yang sangat biasa terjadi di seluruh dunia Muslim.
Pada tahun 2001, di Gujar Khan, Pakistan,
suami Zahida Perveen menyerangnya, mencungkil kedua matanya, hidungnya,
dan telinganya. Kesalahannya adalah bahwa ia diduga melakukan
perzinahan. Suaminya kemudian ditangkap, tetapi saudara-saudara
laki-laki pria ini menyalaminya dan mengatakan bahwa wanita itu “layak
mendapatkan perlakuan seperti itu”, dan bahwa “seorang pria harus
melakukan apa yang harus ia lakukan.” ….Pada tahun 2005, di Gaza, lima
anggota Hamas sambil mengenakan topeng…menembak sampai mati Yusra
Azzumi, seorang wanita Palestina berusia dua puluh tahun, melecehkan
mayat gadis ini, dan memukuli dengan kejam kedua saudara laki-lakinya,
Rami, dan tunangannya, Ziad Zaranda, yang akan menikah dalam beberapa
hari kedepan. Kelompok yang menunjuk diri mereka sebagai Penegak
Moralitas menduga Yusra (ia sendiri adalah seorang anggota Hamas) telah
melakukan “perbuatan tidak bermoral.” 66 Seorang
wanita Arab Palestina, Rofayda Qaoud, menjadi hamil pada tahun 2003
setelah saudara-saudara laki-lakinya memperkosanya. Ibunya kemudian
menuntut agar ia membunuh dirinya sendiri, dan kemudian ibunya sendiri
membunuhnya ketika gadis itu menolak. Menurut laporan sebuah surat
kabar: “mempersenjatai diri dengan sebuah kantung plastik, silet dan
tongkat kayu, Qaoud memasuki ruang tidur anak perempuannya itu di akhir
Januari 2007.
“Malam ini engkau mati, Rofayda,” katanya
kepada gadis itu, sebelum memasukkan kantung plastik itu ke kepala
Rofayda. Kemudian, Qaoud menyilet pergelangan tangan Rofayda,
mengabaikan permohonannya yang berkata “Jangan, Ibu jangan!” Setelah
anak gadisnya itu lemas, Qaoud menghantam kepalanya dengan tongkat.
Membunuh anak keenamnya itu memerlukan waktu 20 menit, kata Qaoud dengan
berlinang air mata, kepada seorang pengunjung, sambil terus-menerus
menghisap rokoknya. “Ia terlebih dahulu membunuh saya sebelum saya
membunuhnya.” “Ini adalah satu-satunya cara yang bisa saya lakukan untuk
melindungi kehormatan keluarga.” 67
Sama seperti praktek-praktek kejam lain
yang dilakukan kepada kaum wanita, pembunuhan demi mempertahankan
kehormatan juga bermigrasi ke Barat. Sebagai contoh, pada tanggal 8
Januari, 1999, di Cleveland, Ohio, seorang wanita Palestina, Methel
Dayem, dibunuh oleh kedua sepupu laki-lakinya, yang mana jaksa penuntut
mengistilahkannya sebagai “pembunuhan demi kehormatan.” Kejahatannya? Ia
menolak untuk menikah dengan sepupu paling tua, berketetapan untuk
meneruskan studinya di perguruan tinggi, mengendarai mobilnya sendiri,
dan dianggap sebagai seorang yang “sangat independen”. Fakta bahwa
dakwaan itu menggunakan istilah “pembunuhan demi kehormatan” menyebabkan
komunitas Muslim menyerang dakwaan itu sebagai “hasutan”, “anti-Arab”
dan “anti-Islam” – yang pada akhirnya membawa pada pemeriksaan terhadap
pengadilan, bukan pemeriksaan oleh para juri. Terlepas dari bukti-bukti
yang sangat banyak, hakim tidak menemukan bahwa pihak penuntut
membuktikan kasus ini tanpa sebuah “keraguan yang dapat diperdebatkan.”
Pada bulan September 2006, di Ottawa,
seorang wanita muda, Khatera Sadiqi, ditembak mati di sebuah pusat
perbelanjaan. Tunangannya, Feroz Mangal, ditembak dengan senjata yang
sama dan berada dalam keadaan koma. Polisi mengumumkan bahwa saudara
laki-laki wanita ini, Hasibullah Sidiqi, menjadi tersangka utama. Ayah
Mangal menjelaskan: “Ia tidak senang dengan pertunangan mereka.”68 Di
Birmingham, Inggris, pada bulan Maret 2006, dua orang pria muda
membakar sebuah rumah. Mereka melakukannya karena salah seorang saudara
perempuan mereka, seorang gadis berusia 15 tahun bernama Meherun Khanum,
berpacaran dengan seorang pria muda bernama Abdul Hamid, dan saudara
laki-laki gadis ini tidak menyetujuinya. Mereka yang ada dalam rumah
keluar melalui jendela, kecuali adik perempuan Abdul Hamid yang berusia
enam tahun Alisha, yang tubuhnya terkena luka bakar yang parah dan mati
beberapa saat setelah kejadian itu. Pria Muslim yang masih muda yang
terlibat atas serangan ini kemudian melarikan diri ke Bangladesh.69
Pada tanggal 7 Februari 2005, Hatin
Surucu berjalan ke halte bis di jalan utama Oberlandgarten di Berlin.
Beberapa menit kemudian, berondongan pistol menghantamnya; ia mati
kehabisan darah. Seorang pengemudi bis menemukan tubuhnya dan memanggil
polisi. Ketiga saudara laki-laki Hatin, usia delapan belas hingga dua
puluh lima tahun, ditangkap dan dikenai dakwaan atas pembunuhan itu.
Mereka melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa mereka tidak
bersalah. Sementara tulisan ini dibuat, mereka masih menjalani
pengadilan.
Adalah penting untuk mencatat bahwa di
satu SMU di Berlin, di sebuah kelas diskusi mengenai pembunuhan itu,
para pelajar remaja pria keturunan Turki mengatakan bahwa Hatin
“satu-satunya yang harus dipersalahkan” dan bahwa ia “layak mendapatkan
apa yang harus ia dapatkan – pelacur yang hidup seperti seorang Jerman.”
70
Kesimpulan
Mutilasi kelamin wanita, penyiksaan
terhadap anak perempuan dan isteri, pernikahan dibawah umur dan melalui
perjodohan, poligami, purdah, kemudahan untuk bercerai bagi para pria,
perbudakan seksual dan domestik terhadap kaum wanita, peraturan mengenai
kerudung, perkosaan rutin dan perkosaan yang dilakukan oleh gang serta
pembunuhan demi kehormatan – tak ada satu pun dari yang disebut di atas
sebagai hal yang unik untuk Islam.
Namun tak ada ideology atau agama lain,
dengan sanksi-sanksi yang membenarkan hal-hal seperti itu seperti yang
dilakukan oleh Islam. Para wanita dalam masyarakat Islamik setiap hari
menderita hinaan-hinaan seperti ini, kekerasan terhadap hak-hak
kemanusiaan mereka, serta tindakan-tindakan kekerasan. Sejumlah
pelecehan terhadap hak-hak azasi kemanusiaan seperti ini yang terjadi di
Barat, telah dibawa ke pengadilan, kendati para pengacara
“multi-kulturalisme” memperdebatkan apakah hal itu layak dilakukan.
Dalam dunia Arab dan jihadik Islamik pelecehan-pelecehan seperti itu
dipandang sebagai “normal” dan dipandang sebagai ekspresi identitas
“kultural.” Lebih dari itu, mereka dihubungkan dengan mentalitas para
teroris. Sebagaimana yang ditulis oleh Christina Hoff Sommers,”Setelah
semuanya itu, penindasan terhadap kaum wanita bukanlah sebuah gambaran
insidentil dari masyarakat yang mendorong perkembangan terorisme. Ini
adalah sebuah sistem kontrol sosial yang oleh para jihadis, mereka bahkan sampai berperang untuk memaksa agar hal-hal itu dijalankan di seluruh dunia.
Jika para feminis Barat dan pendukung
kaum wanita secara progresif memperjuangkan dengan sungguh-sungguh apa
yang mereka katakan sebagai kebebasan kaum wanita dan independensi, maka
mereka harus menentang sistem apartheid Islamik berdasarkan jenis
kelamin. Tetapi agar hal ini terjadi, para feminis Barat harus
pertama-tama memahami bahwa kebanyakan yang telah diajarkan kepada
mereka – dan yang saat ini sedang diajarkan –mengenai negara-negara
dunia ketiga, mengenai Islam, dan mengenai rasisme adalah hal yang palsu
atau sangat bias.
Sebagai contoh, apartheid Islamik
berdasarkan jenis kelamin tidak muncul oleh karena imperialisme Barat,
kolonialisme atau rasisme. Ini aslinya bersumber dari Islam baik secara
teologis maupun historis. Hal yang sama mengenai apartheid religius
Islamik juga benar, yang disebut praktek dimana negara-negara Muslim
tidak bertoleransi dengan praktek-praktek agama lain selain Islam, yang
mana Islam secara aktif menganiaya, berusaha merubah agama mereka,
memberikan kewajiban untuk membayar pajak, membuang, atau membunuh
orang-orang Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Zoroastrian, dan lain
sebagainya.
Para feminis Barat juga seharusnya
menantang mitos ‘Islamofobia’ yang tersebar di Amerika Serikat dan di
Barat. Ini adalah sesuatu yang dikarang-karang; tetapi kebencian Islamik
terhadap orang Yahudi, Kristen dan para wanita benar-benar eksis namun
disangkali, diminimalisir dan dirasionalisasikan. Para feminis harus
mengakhiri obsesi mereka yang tidak alamiah dengan apa yang disebut
“pendudukan” Palestina dan fokus pada pendudukan terhadap tubuh para
wanita di seluruh dunia Muslim. Jika mereka peduli dengan nasib kaum
wanita, maka mereka harus menghadapi isu-isu yang menunjukkan apartheid
Islamik berdasarkan jenis kelamin dan mempengaruhi sekurangnya setengah
milyar kaum wanita di dunia Islam.
Para feminis Barat harus mengakui bahwa kebencian terhadap kaum wanita dalam Islam dan jihad bukan
“disebabkan” oleh kebijakan luar negeri Amerika tetapi melalui para
tiran yang bertumbuh dalam rumah-rumah Muslim di seluruh dunia Islam,
dan melalui adat-istiadat yang mana kebencian terhadap wanita dan
apartheid Islamik berdasarkan jenis kelamin dibenarkan sebagai hal yang
tidak bertentangan dengan aturan agama, aturan wilayah maupun aturan
kesukuan.
Para feminis menyadari bahwa mereka akan
menjadi semakin tidak relevan jika mereka tidak menghancurkan obsesi
narsisistik dengan problem-problem remeh-temeh yang mereka temukan dalam
masyarakat Amerika dan memandang kepada dunia Muslim dimana kaum wanita
ditindas dengan kejam dalam kehidupan mereka setiap hari. Cristina Hoff
Sommers sekali lagi mengatakan: “Para wanita yang menyusun berdirinya
feminisme Amerika hari ini ditentukan untuk memainkan sedikit peran
dalam pertempuran bagi hak-hak kaum wanita Muslim. Disibukkan dengan
penindasan yang mereka imajinasikan, mereka bisa sedikit menolong orang
lain—khususnya keluarga –yang menjadi pusat dari para feminis Islamik….
Kepicikan moral mereka menyebabkan banyak dari mereka berpendapat bahwa
menolong para wanita Muslim sebagai tindakan ‘kolonialis’ atau sebagai
bagian dari sebuah ‘misi menghegemoni masyarakat.’” Hal ini
mendiskualifikasikan mereka sebagai para peserta dalam peperangan moral
ini.
Para feminis dan pendukung kemajuan bagi
kaum wanita harus membuang konsep seperti misalnya “relativisme
multi-kultural” yang telah mengambil alih studi dan disiplin yang
berkaitan dengan wanita. Aktivis pendukung kaum wanita dan para pemikir
harus memegang sebuah standard tunggal mengenai hak asasi manusia bagi
semua orang – bukan hanya bagi masyarakat di Barat atau negara-negara
lainnya, terlebih lagi bagi dunia Islam yang menerapkan standar barbar.
Para feminis Barat harus memahami bahwa
sama seperti para wanita dimana pun, wanita-wanita Arab dan Muslim telah
menginternalisasikan pandangan budaya mereka. Dan karena itu, mereka
membenarkan praktek-praktek dimana mereka menjadi korban, yaitu
pemukulan bagi para istri, purdah, poligami, keharusan mengenakan
kerudung, dan di atas semuanya itu, mutilasi terhadap kelamin kaum
wanita. Di Amerika, pada tahun 1960an, kebanyakan wanita menyangkali
bahwa mereka telah mengalami perlakuan diskriminasi secara ekonomi atau,
jika pendapat mereka salah, mereka berketetapan hal itu bukanlah sebuah
masalah. Mereka menyalahkan diri mereka sepenuhnya jika mereka
dilecehkan secara seksual, diperkosa atau dipukuli. Hanya setelah
bertahun-tahun mendapatkan pendidikan dan berjuang untuk bisa
mengeluarkan mereka dari pandangan yang keliru seperti itu, maka sikap
kaum wanita (juga pria) di Amerika mulai berubah. Jika para feminis
Barat tidak berketetapan hati untuk melakukan perjuangan yang sama bagi
para wanita di dunia Islam, maka mereka bersalah sebab telah bersikap
munafik.
Akhirnya, para feminis Barat harus
mendukung orang-orang Muslim yang tidak sepakat, baik pria maupun
wanita, yang telah membiarkan nyawa mereka berada dalam bahaya dalam
sebuah peperangan untuk hak-hak kaum wanita di bawah Islam. Hari ini,
feminisme sayap kiri telah melakukan hal yang cukup berlawanan saat
memasuki sebuah persekutuan dengan para Islamis – menghadapi kaum wanita
dan menghadapi prinsip-prinsip feminisme mereka. Para feminis harus
mengadopsi standar universal mengenai hak asasi manusia dan membuang
sikap loyalitas mereka terhadap sebuah relativisme multi-kultural yang
membenarkan, bahkan menganggapnya sebagai hal yang romantis, barbarisme
pribumi, terorisme totalitarian dan penganiayaan terhadap kaum wanita,
minoritas keagamaan, homoseksual dan intelektual-intelektual. Menolak
melakukan penghakiman antara peradaban dan kemunduran, antara
rasionalisme yang telah dicerahkan dan fundamentalisme teokratis akan
membahayakan kita dan akan menenggelamkan lebih dalam lagi korban-korban
tirani Islam dalam keputusasaan mereka.
CATATAN KAKI
1 Phyllis Chesler, The Death of Feminism: What’s Next in the Struggle for Women’s Freedom,2005, pp.11-12.
2 Ayaan Hirsi Ali, Infidel, Pp. 31-3.
3 See Amnesty International, “Media briefing: Violence against women in Pakistan,” April 17,2002, http://web.amnesty.org/ai.nsf/Index/ASA330102002?OpenDocument&of=THEMES\WOMEN.
4 Lisa Beyer, “The Women of Islam,” Time, November 25, 2001; Andrew Bushell, “Child
Marriage in Afghanistan and Pakistan,” America, March 11, 2002, p. 12.
5 See Sisters in Islam, “Rape, Zina, and Incest,” April 6, 2000, http://www.muslimtents.com/sistersin-islam/resources/sdefini.htm.
6 Ahmed ibn Naqib al-Misri, Reliance of the Traveller [‘Umdat al-Salik]: A Classic Manual
of Islamic Sacred Law, translated by Nuh Ha Mim Keller. Amana Publications, 1999, n3.2;m11.10 (1).
7 Amnesty
International, “Saudi Arabia: End Secrecy End Suffering: Women,”
http://www. amnesty.org/ailib/intcam/saudi/briefing/4.html. Al-Huweidar,
Wajiha. “Arab Feminists on Women’s Rights: Cats and Dogs in the
Developed World have More Rights than Women in the Arab and Muslim
World,”
“Covert
Animosity and Open Discrimination Against Women Prevail in Arab
Countries,” MEMRI, special dispatch no. 890, April 12, 2005, http://www.
memri.org/bin/opener_latest.cgi?ID=SD89005, accessed 4/13/2005.
Freidoune Sahebjam, The Stoning of Soraya M, (New York: Arcade
Publishing, 1994).
8 Quoted in quoted in Muhammad Ali Al-Hashimi, The Ideal Muslimah: The True Islamic Personality of the Muslim Woman as Defined in the Qur’an and Sunnah, International Islamic Publishing House, 1998, http://www.usc.edu/dept/MSA/humanrelations/ womeninislam/idealmuslimah/.
9 Koran 2:228.
10 Quoted in al-Hashimi, The Ideal Muslimah.
11 Hirsi Ali, pp. 31-3.
12 ‘Umdat al-Salik, e4.3.
13 Quoted in Geneive Abdo, No God But God: Egypt and the Triumph of Islam, Oxford p. 59.
14 Frank Gardner, “Grand Sheikh condemns suicide bombings,” BBC News, December 4, 2001, www.bbc.co.uk.
15 See Amnesty International, “Media briefing: Violence against women in Pakistan,” April 17, 2002, http://web.amnesty.org/ai.nsf/Index/ASA330102002?OpenDocument&of=THEMES\WOMEN.
16 “Chad Struggles to Pass New Family Law,” VOA News, April 15, 2005.
17 “Muslim author of book advocating wife-beating jailed,” Agence France Presse, January 15, 2004.
18 Steven
Stalinsky and Y. Yehoshua, “Muslim Clerics on the Religious Rulings
Regarding Wife-Beating,” Middle East Media Research Institute Special
Report No. 27,March 22, 2004.
19 Ibid
20 Koran 4:34.
21 Abu Dawud,
Sunan Abu Dawud, English Translation with Explanatory Notes, Ahmad
Hasan, trans., Kitab Bhavan, 1990. Book 11, no. 2141.
22 Sahih Muslim, book 4, no. 2127.
23 Nina Bernstein, “In Secret, Polygamy Follows Africans to N.Y.,” New York Times, March 23, 2007.
24 Nicholas Hellen, “Muslim second wives may get a tax break,” The Times of London, December 26, 2004.
25 Koran 4:3.
26 ‘Umdat al-Salik, n3.2.
27 ‘Umdat al-Salik, n9.0.
28 ‘Umdat al-Salik, m11.10 (1).
29 Koran 2:230; ‘Umdat al-Salik, n7.7.
30 Sahih Bukhari, vol. 3, book 52, no. 2639.
31 Sahih Bukhari, vol. 7, book 67, no. 5119.
32 Aqa Najafi Quchani, quoted in Baqer Moin, Khomeini: Life of the Ayatollah, St. Martin’s Press, 1999, p. 30.
33 Barbara Ferguson, “Saudi Gets 27 Years to Life for Enslaving Maid,” Arab News, September 1, 2006.
34 “Egyptians who enslaved girl, 10, get U.S. prison,” Reuters, October 24, 2006.
35 “Kuwaiti Diplomat Accused of Domestic Slavery,” ABC News, January 17, 2007.
36 Coalition Against Slavery in Mauritania and Sudan, “Sudan Q & A,” compiled by the American Friends
Service Committee, http://members.aol.com/casmasalc/mauritan.htm, 1998.
37 Pascal Fletcher, “Slavery still exists in Mauritania,” Reuters, March 21, 2007.
38 Amnesty International, “Pakistan: Violence against women on the increase and still no protection,” April 17, 2002, http://web.amnesty.org/ai.nsf/Index/ASA330082002?OpenDocument&of=THEMES\WOMEN.
39 Phyllis Chesler, “What is Justice for a Rape Victim?,” On The Issues, Winter 1995.
40 Michael E. O’Hanlon and Kenneth M. Pollack, “A War We Just Might Win,” New York Times, July 30, 2007.
41 See, among many examples, Bukhari vol. 3, bk. 34, no. 432.
42 Koran 4:3.
43 “Child marriage ‘violates rights,’” BBC News, March 7, 2001.
44 Andrew Bushell, “Child Marriage in Afghanistan and Pakistan,” America, March 11, 2002, p. 12.
45 “Afghanistan: Child marriage rate still high – minister,” IRIN, July 13, 2004.
46 “Saudi man with 58 wives stirs polygamy debate,” Associated Press, January 1, 2005.
47 Lisa Beyer, “The Women of Islam,” Time, November 25, 2001.
48 Amir Taheri, The Spirit of Allah: Khomeini and the Islamic Revolution, Adler and Adler, 1986, 90-91.
49 Taheri, p. 35.
50 Peter Beaumont, “Starving Afghans sell girls of eight as brides,” The Observer, January 7, 2007.
51 “Afghanistan: Girls and women traded for opium debts,” Reuters, January 25, 2007.
52 Andrew Bushell, “Child Marriage in Afghanistan and Pakistan,” America, March 11, 2002, p. 12.
53 Sahih Bukhari, vol. 7, book 62, no. 88.
54 Koran 65:4.
55 Devika Bhat and Zahid Hussain, “Female Pakistani minister shot dead for ‘breaking Islamic dress code,’” Times Online, February 20, 2007.
56 Phyllis Chesler, “What is Justice for a Rape Victim?,” On The Issues, Winter 1995.
57 See Christopher Dickey and Rod Nordland, “The Fire That Won’t Die Out,” Newsweek July 22, 2002, pp. 34-37.
58 “Gang-rape victim faces lashes,” Agence France-Presse, March 6, 2007.
59 Chesler, The Death of Feminism: What’s Next in the Struggle for Women’s Freedom, p.12.
60 See Stephen Faris, “In Nigeria, A Mother Faces Execution,” www.africana.com, January 7,2002.
61 Ibid
62 ‘Umdat al-Salik, o24.8.
63 See Sisters in Islam, “Rape, Zina, and Incest,” April 6, 2000, http://www.muslimtents.com/sistersinislam/resources/sdefini.htm
64 “Jordan quashes ‘honour crimes’ law,” Al-Jazeera, September 7, 2003.
65 Vivienne Walt, “Marked Women,” Time, July 19, 2004.
66 Chesler, The Death of Feminism, pp.11-12.
67 Soraya
Sarhaddi Nelson, “Mother kills raped daughter to restore ‘honor,’”
Knight Ridder Newspapers, November 17, 2003. Chesler, The Death of Feminism, pp.173-174.
68 Jon Willing, “Brother suspect in killing,” Ottawa Sun, September 22, 2006.
69 “Jailed For Honour Killing,” SkyNews, November 2, 2006. Chesler, The Death of Feminism, pp.161-162.
70 Jody K. Biehl, “The Whore Lived Like a German,” Spiegel Online, March 2, 2005.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bostom, Andrew. The Legacy of Jihad (Prometheus 2005).
Bostom, Andrew. The Legacy of Islamic Anti-Semitism: From Sacred Texts to Solemn History (Prometheus 2007).
Bat Ye’or. Islam and Dhimmitude: Where Civilizations Collide (Farleigh Dickinson University Press 2001.)
Bat Ye’or. The Euro-Arab Axis ( Farleigh Dickinson University Press 2005).
Bawer, Bruce. While Europe Slept (Doubleday 2006)
Chesler, Phyllis. “Gender Apartheid”, Playboy, November 1, 2005.
Chesler, Phyllis. The Death of Feminism. What’s Next in the Struggle for Women’s Freedom (Palgrave Macmillan 2006).
Chesler, Phyllis. “How My Eyes Were Opened to the Barbarity of Islam”, Times of London, March 7, 2007.
Darwish, Nonie. Now They Call Me Infidel: Why I Renounced Jihad for America, Israel, and the War on Terror (Sentinel 2006)
Emerson, Steven. American Jihad: The Terrorists Living Among Us (Free Press 2003).
Emerson, Steven. Jihad Incorporated: A Guide to Militant Islam in the U.S. (Prometheus 2006).
Fallaci, Oriana. The Rage and the Pride (Rizzoli 2002).
Fallaci, Oriana. The Force of Reason (Rizzoli 2002).
Fregosi, Paul. Jihad in the West: Muslim Conquests from the 7th to the 21st Centuries (Prometheus 1998).
Gabriel, Brigitte. Because They Hate: A Survivor of Islamic Terror Warns America (St. Martin’s 2006.)
Hirsi Ali, Ayaan. Infidel (Free Press 2007).
Ibn Warraq. Leaving Islam: Apostates Speak Out: Apostates Speak Out by (Prometheus 2003)
Karsh, Efraim. Islamic Imperialism: A History (Yale University Press 2006).
Phillips, Melanie Londonistan (Encounter Books 2006).
Spencer, Robert. Islam Unveiled (Encounter Books 2003).
Spencer, Robert. Onward Muslim Soldiers (Regnery 2003).
Spencer, Robert. The Myth of Islamic Tolerance (Prometheus 2005).
Spencer, Robert. The Politically Incorrect Guide to Islam (and the Crusades) (Regnery 2005).
Spencer, Robert. Religion of Peace? (Regnery 2007).
Spencer, Robert. The Truth About Muhammad (Regnery 2006).
THE TERRORISM AWARENESS PROJECT
ah,nggk tuh...kalian aja kaum kapitalis yg ingin menjelekan islam,,,,pahamilah islam akan terus berjaya,
ReplyDelete