Wednesday, September 14, 2011

Penindasan Terhadap Wanita Dalam Islam

Oleh  Robert  Spencer  dan  Phyllis  Chesler

TAHUKAH ANDA:
  • Seorang pria Muslim di Iran memenggal kepala putrinya yang berusia 7 tahun karena ia mencurigai putrinya telah diperkosa oleh pamannya sendiri?1
  • Banyak anak perempuan Muslim yang disunat – dengan atau tanpa pembiusan – untuk menghancurkan seksualitas mereka dan menjadikan mereka “murni”?2
  • Pemukulan terhadap istri dan anak perempuan adalah sesuatu yang rutin dilakukan dalam dunia Muslim. Sebagai contoh, lebih dari 90% istri orang Pakistan telah dihajar, dipukuli, atau mengalami pelecehan seksual – hanya karena kesalahan-kesalahan seperti memasak makanan yang kurang dapat memuaskan, atau karena tidak dapat melahirkan anak laki- laki?3
  • Di Iran, umur yang sah untuk menikah adalah 9 tahun, dan di kamp pengungsi di Afghanistan sebenarnya semua anak perempuan yang duduk di kelas dua SD sudah menikah?4
  • Para wanita yang diperkosa di negara-negara Muslim seringkali akhirnya mengalami penghukuman sedangkan si pemerkosa melenggang bebas?5
  • Yang harus dilakukan seorang pria untuk menceraikan istrinya hanyalah berkata,”saya menceraikanmu” sebanyak tiga kali – lalu saat itu juga wanita itu menjadi janda tanpa ada yang mendukung dan juga harus kehilangan anak-anaknya, karena biasanya anak-anaknya diambil oleh suaminya?6

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa peperangan kita bukanlah hanya soal bom dan pembajakan pesawat terbang. Namun peperangan kita juga menyangkut soal penindasan terhadap kaum wanita — dan seringkali dengan menggunakan cara-cara yang mengerikan. Penindasan ini juga bukanlah merupakan insiden yang merupakan produk sampingan dari terorisme. Hukum Islam – syariah – yang diperjuangkan oleh para teroris agar diberlakukan di atas muka bumi memandatkan ditetapkannya diskriminasi terhadap kaum wanita. Pembedaan perlakuan terhadap jender dalam Islam jauh melampaui warga negara kelas dua. Pembedaan perlakuan jender dimaksudkan untuk menghancurkan dan menundukkan wanita.

Di Afghanistan, gambaran kaum wanita yang mengenakan burqa, gaun panjang yang menutupi kepala, wajah dan tubuh mereka, yang sangat membatasi dan mengaburkan pandangan mereka; menjadi simbol kehidupan di bawah pemerintahan Taliban. Rejim Muslim radikal tersebut melarang kaum wanita untuk mendapatkan pendidikan, bahkan keluar rumah sendirian. Polisi “moral” atau polisi “susila” memukuli mereka dengan tongkat di jalanan oleh karena pelanggaran- pelanggaran yang sepele. Penindasan terhadap kaum wanita ada dalam jantung hati pemerintah dimana mereka tinggal, dan merupakan cara pandang mereka. Para teroris jihad lainnya akan memaksakan diberlakukannya gaya rejim Taliban bilamana mereka mendapatkan kekuasaan.

Bagi orang Amerika yang hidup dalam sebuah dunia yang menjunjung tinggi kesetaraan jender, teramat sulit membayangkan masih ada sebuah kekejaman sistematis seperti itu yang dijalankan oleh sebuah keyakinan religius. Namun di seluruh dunia Muslim, kaum wanita mendapatkan pelarangan-pelarangan atas pergerakan-pergerakan mereka, pilihan-pilihan untuk pernikahan, kesempatan-kesempatan mereka di dunia kerja, dan masih banyak lagi. Di Kuwait, Arab Saudi, dan tempat-tempat lainnya, wanita tidak mempunyai hak untuk memilih dalam pemilu atau memegang jabatan. Berdasarkan Amnesti Internasional, di Arab Saudi “wanita …yang berjalan sendirian, atau didampingi oleh pria yang bukan suaminya dan juga bukan kerabat dekatnya, beresiko untuk ditangkap dengan dugaan pelacuran atau “pelanggaran-pelanggaran ‘moral’ lainnya”.7 Penindasan terhadap kaum wanita di negara Muslim juga bukanlah sebuah kecelakaan sejarah yang bersifat sementara. Menurut Wajeha Al-Huwaider seorang feminis Saudi, kehidupan banyak kaum wanita Arab sama dengan narapidana. Namun, seorang wanita Arab yang adalah tawanan di dalam rumahnya sendiri, sesungguhnya tidak melakukan kejahatan apapun, bukan merupakan hasil rampasan perang, dan bukanlah anggota pasukan teroris apapun. Menurut Freidoune Sahebjam seorang Iran yang mengalami pembuangan dan penulis buku The Stoning of Soraya M, dosa seorang wanita Islam adalah karena ia dilahirkan sebagai perempuan, yang merupakan sebuah “pelanggaran besar” dalam era jihad.

Kaum pria menggunakan Qur’an dan tradisi serta hukum Islam secara sistematis untuk menciptakan apa yang disebut oleh seorang pengacara wanita Muslim Mesir Dr. Nawal El-Saadawi sebagai “sebuah sistem kelas patriarkal dimana kaum pria mendominasi kaum wanita”.8 Ada anggapan, seperti yang tertera dalam Qur’an, bahwa “pria mempunyai status yang lebih tinggi daripada wanita”, dan ini sangat mendarah-daging dalam dunia Islam.9 Dan tekanan terhadap wanita untuk tunduk dan menerima situasi ini telah ada sejak berdirinya Islam. Aisha, istri yang paling dikasihi Nabi Muhammad diantara sekian banyak istrinya, menasehatkan kaum wanita untuk tunduk tanpa syarat: “Wahai kaum wanita, jika kamu mengetahui hak-hak yang dimiliki suamimu atas kamu, setiap kamu akan menghapus debu dari kaki suami kalian dengan wajahmu”.10

Penindasan terhadap wanita diajarkan oleh Islam, dan seringkali oleh kitab sucinya, terwujud dalam berbagai cara. Berikut ini adalah beberapa contoh penindasan yang paling dashyat:

Sunat pada wanita

Di beberapa negara Islam kaum wanita harus menjalani sunat. Aktivis hak azasi wanita Somalia dan yang merupakan mantan Muslim Ayaan Hirsi Ali mengemukakan bahwa di negaranya sendiri klitoris semua anak perempuan telah dipotong, kadangkala saat mereka masih berusia 5 tahun, dan praktek itu dibenarkan dalam Islam. Dikatakan bahwa anak-anak perempuan yang tidak disunat akan menjadi pelacur sedangkan yang disunat akan menjadi suci. Hirsi Ali menceritakan pengalamannya sendiri ketika ia disunat dalam bukunya yang berjudul Infidel:
“Nenek memegang saya dan mencengkeram tubuh saya bagian atas… Dua orang wanita lainnya memegangi kaki saya. Seorang pria, kemungkinan besar ia adalah seorang tukang sunat tradisional keliling dari klan pandai besi, mengambil sepasang gunting. Dengan satu tangannya, ia memegangi selangkangan saya dan mulai memerasnya, seperti ketika nenek memerah susu kambing …
Kemudian gunting itu mengarah ke selangkangan saya dan pria itu memotong labia dalam dan klitoris saya. Saya mendengar bunyinya, seperti suara ketika tukang jagal memisahkan lemak dari daging. Ada rasa sakit yang menikam di selangkangan saya yang tidak dapat saya gambarkan, dan saya meraung. Kemudian saya dijahit: sebuah jarum yang panjang dan tumpul dengan ceroboh dimasukkan ke dalam labia luar saya yang berdarah, saya protes dengan sangat keras, kata-kata nenek menghiburkan dan menyemangati saya… Ketika proses menjahit selesai, pria itu memutuskan benang dengan giginya. Itulah yang saya ingat.

Nampaknya kemudian saya jatuh tertidur, karena kemudian saya menyadari bahwa kedua kaki saya telah diikat menjadi satu, untuk mencegah agar saya tidak bergerak sehingga terluka. Hari sudah gelap dan kandung kemih saya sudah penuh, tapi rasanya sakit sekali jika buang air kecil. Rasa sakit yang menusuk itu masih terasa, dan kedua kaki saya bersimbah darah. Saya berkeringat dan menggigil. Sebelum hari itu berganti nenek telah membujuk saya untuk buang air kecil walau hanya sedikit. Ketika saya berbaring diam-diam rasa sakit itu menyiksa saya, namun ketika saya buang air kecil saya kesakitan sama seperti ketika saya disunat”.11

Sunat bukanlah semata-mata merupakan kebiasaan Islam. Sunat juga dipraktekkan oleh sejumlah kelompok budaya dan religius di Afrika dan Asia Selatan. Diantara orang Muslim, sunat dipraktekkan terutama di Mesir, Sudan, Somalia, dan di negara-negara Afrika lainnya.
Walaupun kenyataanya ada sedikit penegasan dalam pengajaran Islam mengenai praktek yang mengerikan ini, orang Muslim mempraktekkannya oleh karena ajaran agama. Sebuah panduan sah Islam memaparkan bahwa sunat diberlakukan “baik pada pria maupun wanita”.12

Bagi Sheikh Muhammad Sayyed Tantawi, Imam Besar al-Azhar di Kairo, sebuah universitas tertua dan paling bergengsi di dataran Islam, sunat pada wanita adalah “sebuah praktek terpuji yang memberi kehormatan kepada wanita”.13 Tantawi bukanlah orang sembarangan: menurut laporan BBC ia adalah “otoritas spiritual yang tertinggi bagi hampir sejuta kaum Muslim Sunni”.14 Ketika menganjurkan sunat pada wanita ia menggunakan pengaruh otoritas spiritualnya untuk mengabadikan sebuah praktek yang memberikan rasa sakit seumur hidup kepada wanita dan yang menghalangi akses wanita untuk mendapatkan kepuasan seksual. Namun barangkali di mata Sheikh Tantawi rasa sakit itu sepadan dengan hasilnya: banyak pihak otoritas yang setuju bahwa sunat pada wanita dirancang untuk meniadakan respons seksual seorang wanita, sehingga ia tidak akan melakukan perzinahan.

Pemukulan terhadap Anak Perempuan, Saudari, dan Istri

Institut Sains Medis di Pakistan telah mengumumkan bahwa lebih dari 90% para istri di Pakistan dipukuli, dihajar, atau dilecehkan secara seksual – karena pelanggaran-pelanggaran seperti masakan yang kurang enak atau karena tidak dapat melahirkan anak laki-laki.15 Mendominasi kaum wanita mereka dengan kekejaman adalah sebuah hak prerogatif yang sangat kuat dipegang oleh pria Muslim. Pada musim semi 2005, ketika Chad, sebuah negara di Afrika Timur, mencoba untuk menetapkan sebuah hukum yang baru mengenai keluarga, yang akan memberi sanksi bagi mereka yang melakukan pemukulan terhadap istri, para ulama Muslim memimpin perlawanan terhadap peraturan itu yang dinilai sebagai peraturan yang tidak islami.16 Memukuli anak perempuan dan saudari sama rutinnya dengan pemukulan terhadap istri dan secara psikologis “mempengaruhi” para gadis untuk menerima perlakuan seperti itu ketika mereka beranjak dewasa.

Mengapa hal-hal seperti ini bisa terjadi?

Karena para ulama Islam di seluruh dunia telah menyetujui penyiksaan fisik seperti ini terhadap kaum wanita.
Pada tahun 2004, seorang Imam di Spanyol, Mohammed Kamal Mustafa, dipandang bersalah karena “menganjurkan kekerasan atas dasar jender” yang dimuat dalam bukunya Women In Islam, yang mendiskusikan metode-metode dan batasan-batasan dalam memberlakukan “penghukuman fisik” terhadap wanita.17 Namun umumnya, para pria Muslim berhasil membawa aturan kekejaman dalam agama ini ketika mereka berimigrasi ke Barat, bahkan ke Amerika Serikat. Pemimpin Muslim Amerika yang terkemuka Dr. Muzammil H. Siddiqi, mantan presiden Islamic Society of North America (ISNA), mengatakan bahwa “dalam beberapa kasus seorang suami dapat menggunakan beberapa tindakan disiplin yang ringan untuk memperbaiki pelanggaran moral istrinya…Qur’an berbicara dengan sangat jelas mengenai masalah ini”.18
Sheikh Yousef Qaradhawi, salah seorang ulama Islam yang paling dihormati dan berpengaruh di dunia telah menulis: “Jika seorang suami merasakan adanya ketidaktaatan dan pemberontakan terhadapnya dalam diri istrinya, ia harus berusaha semampunya untuk memperbaiki tingkah-laku istrinya dengan kata-kata yang baik, bujukan yang lembut, dan menasehatinya. Jika ini tidak berhasil, ia harus pisah ranjang dengan istrinya, berusaha membangkitkan sifat femininnya yang mau bersepakat sehingga kedamaian dapat dipulihkan, dan istrinya itu akan berespon pada suaminya dengan cara yang harmonis. Jika pendekatan ini gagal, maka ia diijinkan untuk memukuli istrinya dengan ringan, tidak di wajah dan bagian-bagian tubuh sensitif lainnya”.19

Mengapa mereka mengatakan hal-hal semacam itu?

Karena ijin untuk memukuli seorang istri berakar di dalam kitab suci Islam yaitu Qur’an dan tradisi Islam.
Qur’an berkata: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian dari mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka…”20
Pernah dikatakan bahwa “wanita yang telah mengeraskan hati terhadap suaminya”, kata nabi Muhammad “mengijinkan suminya untuk memukulinya”.21 Ia tidak senang terhadap kaum wanita yang mengeluh, bukan dengan suami mereka yang telah melakukan tindak kekerasan.
Muhammad bahkan menghajar istri kesayangannya, Aisha. Suatu malam ketika ia keluar, Aisha diam-diam membuntutinya. Ketika nabi mengetahui apa yang telah dilakukannya, Aisha menceritakan, “Ia menghajar saya di dada sehingga saya kesakitan, dan kemudian berkata ‘Apa menurutmu Allah dan Rasul-Nya akan bertindak tidak adil padamu?”22

Kemudahan Untuk Menceraikan (bagi pria) Dan Poligami

Pada bulan Maret 2007 terjadi sebuah musibah kebakaran rumah yang tragis, yang memakan korban seorang wanita dengan ke-9 anaknya di sebuah jajaran perumahan di Bronx. Peristiwa ini menguak praktek poligami Islam di Amerika Serikat. Moussa Magassa si pemilik rumah dan ayah dari 5 anak yang meninggal, memiliki 2 orang istri (mereka berdua selamat dari kobaran api). New York Times melaporkan bahwa “arus imigrasi ke New York dan kota-kota lain di Amerika berasal dari tempat-tempat dimana poligami adalah praktek yang sah dan tersebar luas, terutama dari negara-negara Afrika Barat seperti Mali, dimana survey demografinya menunjukkan bahwa 43% wanita disana menjalani pernikahan yang poligamis”.23

Poligami – yang tidak memanusiakan wanita dan merendahkan wanita hingga hanya berstatus sebagai komoditas, dan sejak lama telah dipandang sebagai praktek yang melanggar hukum di Amerika Serikat – menjadi bagian dari gaya hidup baru para imigran yang hidup di Barat. Mufti Barkatullah, seorang imam senior di London, menyatakan bahwa pada tahun 2004 ada sekitar 4000 keluarga poligamis di Inggris Raya. Dr. Ghayasuddin Siddiqui dari Parlemen Muslim di Inggris, memberikan perkiraan yang lebih rendah yang masih tetap mengindikasikan bahwa praktek ini telah tersebar dengan luas: “saya bertemu dengan seorang pria yang mempunyai 5 istri dan saya memperkirakan ada sekitar 2000 pria yang mempunyai pernikahan yang poligamis di Inggris. Diantaranya, ada 1000 pria yang mempunyai banyak istri disini dan 1000 yang lainnya mempunyai seorang istri disini dan beberapa istri di negara-negara yang berbeda”. Pada akhir tahun 2004 pemerintah Inggris memikirkan apakah praktek yang tidak terelakkan ini akan diterima atau tidak, bahkan berpikir untuk mensahkannya dan kemudian memungut pajak dari mereka yang berpoligami.24

Jika poligami mempunyai akarnya dalam kitab suci Islam (“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat..”25) maka demikian pula dengan perceraian. Seorang pria Muslim dapat menceraikan istrinya yang mana saja hanya dengan berkata “saya menceraikanmu” atau “kamu sudah diceraikan”.26 Qur’an hanya menetapkan agar si pria menunggu dalam jangka waktu yang tepat agar ia yakin bahwa istrinya tidak sedang hamil ketika diceraikan.27 Jika pasangan yang bercerai itu mempunyai anak, maka (hak asuh) anak jatuh ke tangan suami (ayah anak itu), dan ia tidak mempunyai kewajiban untuk mendukung istrinya secara finansial atau dukungan apapun juga.28

Oleh karena kaum pria dapat dengan mudahnya menceraikan, seringkali mereka menceraikan istrinya secara tidak terduga. Kadangkala mereka kemudian berpikiran lain dan ingin rujuk atau menikah lagi. Tapi berdasarkan Qur’an dan hukum Islam, jika seorang pria telah menceraikan istrinya, “ia tidak dapat menikahinya lagi hingga istrinya itu telah menikahi orang lain dan pria itu menceraikannya”.29 Praktek ini bahkan ditetapkan oleh Muhammad sendiri sebagai pihak yang berotoritas dalam Islam. Suatu ketika seorang wanita yang telah diceraikan suaminya datang padanya, wanita itu telah menikah dengan pria lain, dan sekarang ingin menikah lagi dengan suaminya yang pertama – sebab suaminya yang kedua menderita impotensi. Muhammad tidak kurang akal, dan mengatakan padanya bahwa ia tidak dapat kembali kepada suaminya yang pertama “kecuali kamu sudah melakukan hubungan seksual yang komplet dengan suamimu sekarang dan ia menikmati sebuah hubungan seksual yang komplet denganmu”.30 Pernyataan ini dijunjung dalam hukum Islam, dan telah menimbulkan fenomena “suami-suami sementara”. Pria- pria ini “menikahi” wanita tersebut untuk dapat melakukan hubungan seksual dalam semalam sehingga wanita itu dapat kembali ke keluarganya dan kepada suaminya yang telah menceraikannya karena merasa jengkel.

Islam Syiah, aliran Islam yang dominan di Iran, mengijinkan sebuah bentuk lain dari “pernikahan sementara”. Ini tidak sama dengan pernikahan yang harus dijalani wanita yang telah diceraikan agar ia dapat kembali ke keluarganya. Namun lebih merupakan ijin bagi pria untuk mendapatkan pendampingan seksual dari wanita untuk jangka waktu yang pendek. Dalam pernikahan sementara atau mut’a, pasangan itu menandatangani sebuah persetujuan yang aneh dalam segala hal dan bahwa pernikahan itu mempunyai batasan waktu. Ada sebuah tradisi dari Muhammad yang mengatakan bahwa sebuah pernikahan sementara “harus berumur 3 malam, dan jika mereka ingin meneruskannya, mereka dapat melakukannya, dan jika mereka ingin berpisah, maka mereka pun dapat melakukannya”.31 Namun, banyak pernikahan semacam itu tidak sampai berumur 3 malam.

Para istri sementara, yang kemudian menjadi pelacur sebagai dampak dari aturan religius, cenderung berkumpul di kota-kota suci Syiah, dimana mereka dapat menawarkan diri untuk mendampingi para santri yang kesepian. Salah seorang santri menceritakan pengalamannya untuk menjalani sebuah pernikahan sementara pada awal abad ke-20:
“…Untungnya, wanita itu ada di rumah dan saya menikahinya untuk sementara waktu. Setelah saya menuntaskan hasrat saya dan mendapatkan kenikmatan dari apa yang saya dapatkan secara sah, saya memberikan wanita itu qeran (sebuah koin)… Jelaslah jika seorang taladeh (pelajar) tidak mempunyai masalah dengan bagian bawah tubuhnya maka ia lebih bahagia daripada seorang raja”.32

Perbudakan Seksual dan Rumah-tangga Terhadap Kaum Wanita

Seorang Saudi bernama Homaidan Al-Turki dihukum penjara selama 27 tahun pada September 2006 karena memelihara seorang wanita sebagai budak dan melecehkannya secara seksual di rumahnya di Colorado. Al-Turki mengklaim bahwa ia adalah korban dari prasangka anti-Muslim.
Ia berkata kepada hakim: “Yang Mulia, saya ada disini bukan untuk meminta maaf, karena saya tidak dapat meminta maaf atas hal-hal yang tidak saya lakukan dan kejahatan yang tidak saya lakukan. Negara ini telah mengkriminalkan tindakan-tindakan dasar Muslim. Menyerang tingkah- laku tradisional Muslim merupakan dakwaan yang harus diperhatikan”.33

Pada bulan berikutnya, sepasang orang Mesir yang tinggal di Selatan California menerima denda dan tuntutan pemenjaraan, lalu diikuti dengan deportasi, karena dituduh bersalah telah menyekap seorang anak perempuan berusia 10 tahun sebagai budak seks.34 Pada Januari 2007, seorang Atase Kedutaan Kuwait di Washington dan istrinya didakwa menyekap 3 pekerja rumah-tangga Kristiani dari India dalam kondisi perbudakan di rumah mereka di Virginia. Salah seorang dari ke-3 wanita itu mengungkapkan: “Saya yakin saya tidak mempunyai pilihan lain selain terus bekerja untuk mereka walaupun mereka memukuli saya dan memperlakukan saya lebih buruk daripada budak”.35

Perbudakan seksual sangat mungkin terjadi karena perbudakan itu sendiri masih eksis di dunia Muslim. Arab Saudi hanya menghapuskan perbudakan pada 1962; Yemen dan Oman tidak mengikutinya hingga 1970. Perbudakan dewasa ini dipraktekkan secara terbuka di dua negara Muslim, Sudan dan Mauritania. Berdasarkan praktek dalam sejarah, para pedagang budak Muslim di Sudan umumnya memperbudak orang non-Muslim, dan terutama orang Kristen. Berdasarkan Coalition Against Slavery in Mauritania and Sudan (CASMAS), yaitu sebuah pergerakan hak-hak azasi manusia dan abolisionis yang didirikan pada 1995, “Pemerintahan Khartoum yang ada sekarang ingin membawa kaum non-Muslim Hitam Selatan bersesuaian dengan hukum syariah, dipaparkan dan ditafsirkan oleh para ulama konservatif Muslim. Kaum animis Hitam dan orang Kristen Selatan mengingat saat penggerebekan budak oleh orang Arab datang dari Utara dan Timur bagi mereka yang menolak pemerintahan religius Muslim dan adanya ekspansi ekonomi, budaya dan keagamaan di balik (perdagangan budak) itu”.36 Penggagas anti perbudakan Mauritania Boubacar Messaoud menjelaskan bahwa “Itu seperti memiliki kambing atau domba. Jika seorang wanita adalah budak, maka keturunannya pun adalah budak”.37

Sementara itu, Pakistan yang merupakan “negara asal dan juga negara transit bagi perdagangan wanita untuk pekerja rumah-tangga, memberlakukan pernikahan dan pelacuran. Perbudakan jenis ini diorganisir oleh jaringan kerja kriminal yang menjangkau Asia Selatan. Beberapa wanita, baik lokal atau yang diperdagangkan, akan dibunuh jika mereka menolak untuk mencari uang melalui pelacuran”.38

Menurut pengacara Karima Bennoune, sejak 1992 dan seterusnya, kaum pria fundamentalis Aljazair telah melakukan serangkaian “kejahatan terorisme” terhadap kaum wanita Aljazair. Bennoune mengemukakan adanya “penculikan dan pemerkosaan berulangkali terhadap gadis- gadis muda sebagai budak-budak seks untuk kaum fundamentalis bersenjata. Para gadis itu juga harus memasak dan membersihkan (rumah) untuk para pejuang Tuhan…Seorang gadis yang berusia 17 tahun diperkosa berulangkali sampai ia hamil. Ia diculik dari jalanan dan ditawan bersama gadis-gadis muda lainnya, salah satunya ditembak di kepala dan dibunuh ketika berusaha untuk melarikan diri”.39 Kelompok-kelompok jihad Irak pada 2007, menurut Michael E. O’Hanlon dan Kenneth M. Pollack dari Brookings Institution, “berusaha untuk memberlakukan hukum syariah, bersikap brutal terhadap kaum awam Irak agar mereka mematuhinya, membunuh para pemimpin lokal yang penting dan memaksa para wanita muda untuk menikahi kaum loyalis mereka”.40

Tingkah-laku seperti itu sesuai dengan Muhammad dan orang Muslim mula-mula, yang setelah berperang secara rutin mengambil para janda dari pejuang-pejuan yang telah mereka bunuh untuk dijadikan tawanan.41

Qur’an mengarahkan kaum pria Muslim untuk “menikahi wanita menurut pilihanmu, dua atau tiga atau empat; tetapi jika kamu takut tidak dapat berlaku adil (terhadap mereka), maka satu saja, atau (seorang tawanan) yang dimiliki tangan kananmu…42 (penekanan ditambahkan).

Pernikahan Anak-anak

UNICEF melaporkan bahwa lebih dari separoh anak perempuan di Afghanistan dan Bangladesh sudah menikah sebelum mereka berusia 18 tahun.43 Pada awal 2002, para peneliti di kamp-kamp pengungsi di Afghanistan dan Pakistan menemukan bahwa separoh dari gadis-gadis disana telah menikah pada usia 13 tahun. Dalam sebuah kamp pengungsi di Afghanistan, kebanyakan dua dari tiga anak perempuan kelas dua SD yang sudah menikah atau ditunangkan, dan sebenarnya semua anak perempuan setelah kelas 2 SD sudah menikah. Seorang anak perempuan berusia 10 tahun ditunangkan dengan seorang laki-laki berusia 60 tahun.44 Limapuluh persen dari gadis-gadis Afghanistan di bawah 16 tahun, dan kebanyakan pada usia 9 tahun, menikah karena telah dijodohkan.45 Pada awal 2005 seorang pria Saudi yang berusia 60-an menarik perhatian dunia internasional karena menikah sebanyak 58 kali; pengantin wanitanya yang terbaru berusia 14 tahun yang dinikahinya pada musim semi 2004.46

Pernikahan anak-anak terdapat dalam hukum dan kebiasaan. Pada 2001 majalah Time melaporkan:
“Di Iran usia yang sah bagi seorang anak perempuan untuk menikah adalah 9 tahun, dan 14 tahun untuk anak laki-laki. Hukum ini kadangkala dieksploitasi oleh para pedofil yang menikahi gadis-gadis muda yang miskin dari berbagai propinsi, memakai mereka, lalu meninggalkan mereka. Pada tahun 2000 Parlemen Iran memutuskan untuk menaikkan batas usia minimum bagi para gadis menjadi 14 tahun, tapi tahun ini, sebuah dewan legislatif yang didominasi oleh para ulama tradisional memveto gerakan itu. Usaha kaum konservatif untuk meniadakan usia minimum sah di Yemen yaitu 15 tahun untuk anak perempuan telah gagal, namun para ahli mengatakan bahwa itupun sudah jarang dilakukan.47 Ayatollah Khomeini di Iran menikahi seorang anak perempuan berusia 10 tahun ketika ia berusia 28 tahun.48 Khomeini menyebut pernikahan dengan seorang anak perempuan yang belum memasuki masa puber sebagai “sebuah berkat ilahi”, menasehatkan orang-orang beriman untuk: “Melakukan semampumu untuk memastikan bahwa anak-anak perempuanmu tidak melihat darah pertama mereka (mendapat haid pertama – Red) di rumahmu”.49

Pada awal 2007, kemarau parah di Afghanistan mengakibatkan beberapa orang Afghan menjual anak-anak perempuan mereka untuk dinikahi – termasuk anak-anak perempuan yang baru berusia 8 tahun – agar dapat membeli makanan. Seorang ibu Afghan menjelaskan: “Saya terpaksa menjual anak-anak perempuan saya karena kekeringan ini. Kami tidak mempunyai cukup makanan dan uang dari pernikahan ini membuat kami dapat membeli makanan. Tiga bulan yang lalu anak perempuan saya yang berusia 15 tahun menikah”.50 Gadis-gadis lain telah dijual untuk melunasi hutang-hutang opium. Seorang gadis Afghan bernama Saliha menceritakan:
“Saya berusia 13 tahun ketika ayah saya menikahkan saya dengan seorang pria berusia 20 tahun, karena ayahnya telah memberikan pinjaman kepada orang-tua saya dan orang-tua saya tidak sanggup mengembalikannya atau membayarnya dengan sejumlah opium”.51

Dengan adanya pernikahan anak-anak, kekerasan dalam rumah-tangga semakin meningkat. Seorang ahli mengatakan kepada kami, “Di Mesir 29% orang dewasa yang telah menikah telah dipukuli oleh suami mereka; diantaranya, 41% dipukuli selama masa kehamilan. Sebuah studi di Jordan mengindikasikan bahwa 26% dari kasus kekerasan rumah-tangga yang dilaporkan dilakukan terhadap para wanita yang berusia di bawah 18 tahun”.52

Sangat sulit bagi para reformis untuk menentang pernikahan anak-anak karena hal itu sesuai dengan teladan Nabi Muhammad sendiri: “Nabi menulis (kontrak pernikahan) dengan Aisha ketika ia masih berusia 6 tahun dan melakukan hubungan suami-istri dengannya ketika ia berusia 9 tahun dan Aisha tinggal bersamanya selama 9 tahun (yaitu sampai kematiannya)”.53 Qur’an memasukkan pernikahan anak-anak dalam arahannya mengenai perceraian. Ketika berbicara mengenai periode menunggu yang harus dijalani untuk menentukan apakah wanita itu sedang hamil atau tidak, Qur’an berkata: “Jika kamu ragu berkenaan dengan para istrimu yang terhenti haidnya, ketahuilah bahwa waktu menunggu mereka adalah 3 bulan. Hal yang sama juga berlaku terhadap mereka yang belum mendapat menstruasi” (penekanan ditambahkan).54 Dengan perkataan lain, disini Allah menggambarkan sebuah skenario dalam mana seorang perempuan yang belum memasuki masa puber bukan saja sudah menikah, namun juga diceraikan oleh suaminya.

Cadar dan Jilbab

Pada Februari 2007, Zilla Huma Usman, Menteri Kesejahteraan Sosial Pakistan di propinsi Punjab, ditembak mati oleh seorang Muslim karena tidak memakai kerudung. Si pembunuh, Mohammad Sarwar, mengatakan: “Saya tidak menyesal. Saya hanya mematuhi perintah Allah. Saya akan membunuh semua wanita yang tidak mengikuti jalan yang benar, jika saya telah dibebaskan”.55

Di Aljazair, “sebagaimana di Iran, wanita-wanita Aljazair yang mandiri, terpelajar, dan tidak berjilbab dipandang sebagai target militer dan semakin banyak yang ditembak jika mereka terlihat”. Pengacara Karima Bennoune mengatakan: “Kaum pria Aljazair memanggul senjata, kaum wanita Aljazair mengenakan kerudung. Seperti yang dikatakan oleh seorang wanita: ‘Rasa takut lebih besar daripada keinginan kami untuk bebas’”.56 Di kota suci Muslim, Mekkah, pada Maret 2002, limabelas gadis remaja meninggal dalam kobaran api di sekolah mereka ketika polisi religius Saudi, Muttawa, tidak mengijinkan mereka keluar dari bangunan itu. Mengapa? Karena dalam lingkungan sekolah khusus untuk putri itu, mereka telah menanggalkan pakaian serba tertutup yang harus dikenakan kaum wanita Saudi bila bertemu dengan pria. Mereka belum mengenakan pakaian itu lagi saat mereka berusaha menyelamatkan diri dari kobaran api. Muttawa lebih suka mereka mati daripada melanggar hukum Islam, dan mereka bertikai dengan polisi dan pemadam kebakaran yang berusaha membuka pintu-pintu sekolah untuk menyelamatkan gadis-gadis itu.57 Oleh karena pemikiran seperti ini, di seluruh dunia Muslim kaum wanita mengalami pelarangan dan pembatasan atas pergerakan mereka, pilihan-pilihan mereka untuk menikah, kesempatan-kesempatan mereka di dunia kerja, dan lebih banyak lagi. Qur’an bahkan memerintahkan agar warisan seorang anak laki-laki haruslah dua kali lipat lebih besar daripada anak perempuan: “(maka) Allah mengarahkan kamu sehubungan dengan (warisan) anak-anakmu: untuk laki-laki, sebanyak bagian dua perempuan”. (4:11)

Perkosaan

Pada Maret 2007, seorang wanita Saudi berusia 19 tahun dihukum 90 kali cambukan. Apakah kejahatannya? Seorang pria mengancam akan memberitahu ayahnya kalau mereka mempunyai hubungan, kecuali ia bersedia untuk menemui pria itu sendirian. Ketika ia menurutinya, gadis itu diculik dan diperkosa berulangkali, dan kemudian saudaranya memukulinya karena perkosaan itu mempermalukan keluarga. Alih-alih memberikan keadilan padanya, pengadilan Saudi memberinya hukuman cambuk sebanyak 90 kali karena ia telah menemui seorang pria yang bukan kerabatnya seorang diri.58

Ini bukanlah kasus yang tersembunyi. “Pada 2004, seorang gadis berusia 16 tahun, Atefeh Rajabi, digantung di alun-alun Iran. Apakah kejahatannya? Rajabi dituduh melakukan perzinahan – yang kemungkinan besar, ia sebenarnya diperkosa. Pemerkosanya tidak dihukum. Rajabi mengatakan pada mullah/hakim, Haji Rezaii, bahwa ia harus menghukum para pria yang menjadi pelaku perkosaan dan bukannya menghukum si korban”. Hakim itu kemudian menghukum dan secara pribadi menggantung Rajabi, sebagai tambahan atas kejahatannya, hakim mengatakan bahwa ia mempunyai ‘lidah yang tajam’”.59

Pada 2004 majalah Time melaporkan bahwa di Irak, “seorang gadis berusia 16 tahun bernama Rana diperkosa oleh tetangganya pada akhir April di kota Nasiriyah. Ketika keluarganya mendapati bahwa ia tidak perawan lagi, saudaranya memutuskan untuk membunuhnya. Seorang sepupu yang mengetahui rencana itu membawa Rana ke sebuah markas militer Italia yang tidak jauh dari kota; kemudian ia dipindahkan ke Baghdad dan akhirnya ke sebuah lokasi rahasia lebih jauh lagi ke utara. Setelah melarikan diri dari keluarganya, ia tidak pernah lagi pulang ke rumah”.

Baru-baru ini beberapa kasus penting di Nigeria juga berkisar di seputar tuduhan perkosaan yang diubah oleh pihak otoritas Islam menjadi dakwaan perzinahan.60 Sebagai contoh, seorang gadis Nigeria berusia 17 tahun bernama Bariya Ibrahim Magazu, dihukum 100 kali cambukan dengan tuduhan perzinahan setelah kehamilannya diketahui. Ia menuduh beberapa pria yang kemungkinan adalah ayah dari bayi yang dikandungnya itu; ketika mereka semua menyangkali bahwa mereka mempunyai hubungan dengannya, ia menerima tambahan 18 kali cambukan karena telah mengucapkan kesaksian palsu.61 Hukum Islam meremehkan keabsahan kesaksian seorang wanita, terutama berkenaan dengan kasus imoralitas seksual. Dan para pemikir sah teori Islam bahkan telah membatasinya lebih jauh lagi, dalam panduan legal Muslim dikatakan, untuk “kasus-kasus yang melibatkan properti, atau transaksi properti, seperti penjualan”.62 Dalam wilayah yudisial lainnya hanya pria yang boleh bersaksi. Oleh karena itu sangatlah mustahil untuk membuktikan adanya perkosaan di negara-negara yang menjalankan ketentuan syariah ini. Jika tidak ditemukan saksi-saksi pria yang dibutuhkan untuk menyatakannya tidak bersalah (4 pria yang bersaksi bahwa mereka melihat kejadian perkara itu, berdasarkan Qur’an), tuntutan perkosaan atas si korban akan menjadi dakwaan perzinahan. Itu menegaskan kenyataan pedih bahwa sebanyak 75% wanita yang berada dalam penjara di Pakistan menjadi narapidana karena telah diperkosa. Kejahatan mereka adalah karena mereka telah diperkosa.63

Penting sekali untuk menyadari bahwa sikap dan tindakan seperti itu yang merupakan karakter dari sikap apartheid jender Islam yang telah berpenetrasi di Barat. Ada sejumlah laporan mengenai kaum pria Muslim yang memperkosa para wanita di Skandinavia dan Australia. Perbuatan mereka yang biadab itu telah dibenarkan oleh para imam. Pada bulan September 2006, rohaniwan Muslim Australia yang paling senior Sheik Taj al-Din al-Hilali, dalam sebuah referensi yang jelas terhadap gang pemerkosa Sidney yang sangat terkenal, mengatakan dalam kotbahnya: “Wanita itu sendiri yang melepaskan pakaian mereka, memendekkan pakaian mereka, bersikap genit, mengenakan make-up dan bedak dan membawa diri mereka ke jalanan. Allah melindungi kita untuk tidak membuang-buang waktu. “Jika saya melihat kejahatan pemerkosaan seperti itu – atau penculikan atau kekerasan demi kehormatan – Saya akan mendisiplinkan pria dan memerintahkan supaya wanita ditangkap dan dipenjarakan seumur hidup. Jika ia tidak membiarkan dagingnya untuk tidak tertutupi, bahkan kucing sendiri pun tidak akan mencurinya.”

Apa yang harus kita mengerti dari statemen itu: Setiap aksi yang bersifat independen oleh seorang Arab atau seorang gadis Muslim atau wanita, dipahami pada hakekatnya sebagai aksi yang bersifat “seksual”, “immoral” dan “memalukan”. Jika ia ingin sekolah di Akademi, menolak untuk menikah dengan sepupunya yang paling tua, memilih sebuah hubungan berdasarkan cinta, mencoba membangun hubungan dengan kekasih pilihannya, meninggalkan agamanya, berpaling ke agama yang lain – maka ia menempatkan dirinya dalam bahaya bahwa ia bisa saja dibunuh oleh massa yang terdiri dari kaum pria yang membenci wanita.

Pembunuhan Demi Kehormatan

Tidak ada sanksi dalam Quran atau hukum Islam untuk pembunuhan demi kehormatan. Namun demikian, praktek ini pada kenyataannya didorong oleh budaya malu/kehormatan yang diciptakan oleh Islam. Sebuah pelanggaran hukum terhadap kitab undang-undang hukum moral dalam banyak negara Muslim dipandang bukan sebagai sebuah dosa oleh individu yang melakukannya, tetapi sebagai sebuah noda terhadap keluarga individual ini, yang mana anggota-anggotanya seringkali merasa adalah sebuah kewajiban untuk membunuhnya sebagai cara untuk memulihkan kehormatan mereka.

Pada tahun 2003, bahkan Parlemen Yordania yang relatif cukup moderat membatalkan sebuah ketentuan yang didisain untuk memperkeras hukuman bagi pembunuhan yang dilakukan demi kehormatan. Menurut Al Jazeera, “Para Islamis dan kaum konservatif berkata bahwa hukum- hukum itu telah melanggar tradisi-tradisi keagamaan dan akan menghancurkan keluarga-keluarga dan nilai-nilai.”64

Berdasarkan laporan Chichago Tribune,”Pada tanggal 31 Mei, 1994, Kifaya Husayn, seorang gadis Yordania berusia 16 tahun, telah dicambuk di atas kursi oleh saudara laki-lakinya yang berusia 32 tahun. Ia memberinya air untuk diminum dan menyuruhnya mengucapkan sebuah doa Islamik.
Kemudian ia menggorok lehernya. Segera setelah itu, ia berlari ke jalan raya, melambai- lambaikan pisau yang penuh dengan darah dan berseru,”Saya telah membunuh saudara perempuan saya untuk membersihkan kehormatan saya.” Apa kejahatan Kifaya? Ia telah diperkosa oleh saudara laki-lakinya yang lain yang berusia 21 tahun. Hakim dan jurinya? Pamannya sendiri, yang meyakinkan saudara laki-laki Kifaya yang paling tua bahwa Kifaya telah sangat mempermalukan keluarga sehingga ia tidak layak lagi untuk dibiarkan hidup.” Pengadilan yang mengadili saudara laki-laki Kifaya Husayn memperlihatkan seberapa besar mereka menilai nyawa saudara perempuan pria ini: Ia dipenjara selama lima belas tahun yang kemudian hukumannya dikurangi menjadi tujuh tahun.

Menurut majalah Time, pada bulan September 2003 di Irak “Ali Jasib Mushiji, 17 tahun, menembak ibu dan saudara laki-lakinya (dari lain bapak), sebab ia menduga mereka memiliki hubungan asmara dan membunuh saudara perempuannya yang berusia 4 tahun, sebab ia menduga anak ini adalah hasil hubungan gelap mereka. Saat duduk di sel penjara di kawasan kumuh Sadr City di Baghdad, ia berkata bahwa ia menghapuskan keluarganya untuk membersihkan perasaan malu.

Laporan yang sama juga mencatat bahwa “November lalu, Qadisiyah Misad, usia 16 tahun, lari dari rumah keluarganya di Baghdad dengan tidak mengenakan rok. Dalam beberapa hari, salah satu dari saudara laki-laki gadis ini serta seorang keponakannya mengetahui tempat persembunyiannya di sebuah jalanan kota dan memaksanya pulang ke rumah. Menurut Essam Wafik al-Jadr, hakim yang mengadili perkara ini, salah seorang dari saudara laki-laki Misad memaksa saudara perempuannya yang masih remaja ini untuk berdiri di sudut ruang tamu; kemudian ia mengambil pistol dan menembakkan beberapa peluru ke arahnya. “Orangtua mereka meminta saudara laki-lakinya untuk membunuhnya,” kata al-Jadr, yang mempelajari pembunuhan itu ketika tubuh Misad dibalikkan di rumah mati di kota Baghdad. Ia memutuskan mendakwa saudara laki-laki Misad untuk sebuah pembunuhan demi kehormatan. Hukumannya sangat tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan: Saudara laki-laki Misad hanya dihukum penjara selama satu tahun, dan al-Jadr bahkan masih belum yakin bahwa ia masih ada di kurungan, karena ia masih bisa mendapatkan pembebasan bersyarat selama beberapa bulan sejak hukumannya dijatuhkan.

Dan juga: “Bulan lalu seorang ahli koroner Baghdad melaporkan kematian Mouna Adnan Habib, usia 32 tahun, ibu dari dua orang anak, yang jenazahnya telah dikirim ke rumah mati yang ada di kota dengan lima peluru di dadanya. Tangan kiri Habib telah dipotong – sebuah praktek yang biasa dilakukan dalam kasus pembunuhan demi kehormatan, dimana para pria mengamputasi tangan kiri wanita atau jari telunjuk untuk memperlihatkan bukti kepada para pemimpin suku dan keluarga lainnya bahwa perbuatan itu telah dilakukan. Dalam kasus Habib, anggota keluarganya menduga bahwa ia selingkuh. “Mereka beberapa kali melihatnya berbicara dengan seorang pria,” kata al-Jadr, yang salah seorang stafnya menginvestigasi kasus ini. Polisi lokal memberitahukan al-Jadr bahwa mereka meyakini Habib telah dibunuh oleh sepupunya dan bukan oleh suaminya; tetapi mereka tidak bisa menemukan pria itu, yang mereka katakan belum terlihat sejak ia pulang ke rumah keluarganya.” 65 “Pembunuhan demi kehormatan” ini adalah hal yang sangat biasa terjadi di seluruh dunia Muslim.

Pada tahun 2001, di Gujar Khan, Pakistan, suami Zahida Perveen menyerangnya, mencungkil kedua matanya, hidungnya, dan telinganya. Kesalahannya adalah bahwa ia diduga melakukan perzinahan. Suaminya kemudian ditangkap, tetapi saudara-saudara laki-laki pria ini menyalaminya dan mengatakan bahwa wanita itu “layak mendapatkan perlakuan seperti itu”, dan bahwa “seorang pria harus melakukan apa yang harus ia lakukan.” ….Pada tahun 2005, di Gaza, lima anggota Hamas sambil mengenakan topeng…menembak sampai mati Yusra Azzumi, seorang wanita Palestina berusia dua puluh tahun, melecehkan mayat gadis ini, dan memukuli dengan kejam kedua saudara laki-lakinya, Rami, dan tunangannya, Ziad Zaranda, yang akan menikah dalam beberapa hari kedepan. Kelompok yang menunjuk diri mereka sebagai Penegak Moralitas menduga Yusra (ia sendiri adalah seorang anggota Hamas) telah melakukan “perbuatan tidak bermoral.” 66 Seorang wanita Arab Palestina, Rofayda Qaoud, menjadi hamil pada tahun 2003 setelah saudara-saudara laki-lakinya memperkosanya. Ibunya kemudian menuntut agar ia membunuh dirinya sendiri, dan kemudian ibunya sendiri membunuhnya ketika gadis itu menolak. Menurut laporan sebuah surat kabar: “mempersenjatai diri dengan sebuah kantung plastik, silet dan tongkat kayu, Qaoud memasuki ruang tidur anak perempuannya itu di akhir Januari 2007.

“Malam ini engkau mati, Rofayda,” katanya kepada gadis itu, sebelum memasukkan kantung plastik itu ke kepala Rofayda. Kemudian, Qaoud menyilet pergelangan tangan Rofayda, mengabaikan permohonannya yang berkata “Jangan, Ibu jangan!” Setelah anak gadisnya itu lemas, Qaoud menghantam kepalanya dengan tongkat. Membunuh anak keenamnya itu memerlukan waktu 20 menit, kata Qaoud dengan berlinang air mata, kepada seorang pengunjung, sambil terus-menerus menghisap rokoknya. “Ia terlebih dahulu membunuh saya sebelum saya membunuhnya.” “Ini adalah satu-satunya cara yang bisa saya lakukan untuk melindungi kehormatan keluarga.” 67

Sama seperti praktek-praktek kejam lain yang dilakukan kepada kaum wanita, pembunuhan demi mempertahankan kehormatan juga bermigrasi ke Barat. Sebagai contoh, pada tanggal 8 Januari, 1999, di Cleveland, Ohio, seorang wanita Palestina, Methel Dayem, dibunuh oleh kedua sepupu laki-lakinya, yang mana jaksa penuntut mengistilahkannya sebagai “pembunuhan demi kehormatan.” Kejahatannya? Ia menolak untuk menikah dengan sepupu paling tua, berketetapan untuk meneruskan studinya di perguruan tinggi, mengendarai mobilnya sendiri, dan dianggap sebagai seorang yang “sangat independen”. Fakta bahwa dakwaan itu menggunakan istilah “pembunuhan demi kehormatan” menyebabkan komunitas Muslim menyerang dakwaan itu sebagai “hasutan”, “anti-Arab” dan “anti-Islam” – yang pada akhirnya membawa pada pemeriksaan terhadap pengadilan, bukan pemeriksaan oleh para juri. Terlepas dari bukti-bukti yang sangat banyak, hakim tidak menemukan bahwa pihak penuntut membuktikan kasus ini tanpa sebuah “keraguan yang dapat diperdebatkan.”

Pada bulan September 2006, di Ottawa, seorang wanita muda, Khatera Sadiqi, ditembak mati di sebuah pusat perbelanjaan. Tunangannya, Feroz Mangal, ditembak dengan senjata yang sama dan berada dalam keadaan koma. Polisi mengumumkan bahwa saudara laki-laki wanita ini, Hasibullah Sidiqi, menjadi tersangka utama. Ayah Mangal menjelaskan: “Ia tidak senang dengan pertunangan mereka.”68 Di Birmingham, Inggris, pada bulan Maret 2006, dua orang pria muda membakar sebuah rumah. Mereka melakukannya karena salah seorang saudara perempuan mereka, seorang gadis berusia 15 tahun bernama Meherun Khanum, berpacaran dengan seorang pria muda bernama Abdul Hamid, dan saudara laki-laki gadis ini tidak menyetujuinya. Mereka yang ada dalam rumah keluar melalui jendela, kecuali adik perempuan Abdul Hamid yang berusia enam tahun Alisha, yang tubuhnya terkena luka bakar yang parah dan mati beberapa saat setelah kejadian itu. Pria Muslim yang masih muda yang terlibat atas serangan ini kemudian melarikan diri ke Bangladesh.69

Pada tanggal 7 Februari 2005, Hatin Surucu berjalan ke halte bis di jalan utama Oberlandgarten di Berlin. Beberapa menit kemudian, berondongan pistol menghantamnya; ia mati kehabisan darah. Seorang pengemudi bis menemukan tubuhnya dan memanggil polisi. Ketiga saudara laki-laki Hatin, usia delapan belas hingga dua puluh lima tahun, ditangkap dan dikenai dakwaan atas pembunuhan itu. Mereka melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa mereka tidak bersalah. Sementara tulisan ini dibuat, mereka masih menjalani pengadilan.

Adalah penting untuk mencatat bahwa di satu SMU di Berlin, di sebuah kelas diskusi mengenai pembunuhan itu, para pelajar remaja pria keturunan Turki mengatakan bahwa Hatin “satu-satunya yang harus dipersalahkan” dan bahwa ia “layak mendapatkan apa yang harus ia dapatkan – pelacur yang hidup seperti seorang Jerman.” 70

Kesimpulan

Mutilasi kelamin wanita, penyiksaan terhadap anak perempuan dan isteri, pernikahan dibawah umur dan melalui perjodohan, poligami, purdah, kemudahan untuk bercerai bagi para pria, perbudakan seksual dan domestik terhadap kaum wanita, peraturan mengenai kerudung, perkosaan rutin dan perkosaan yang dilakukan oleh gang serta pembunuhan demi kehormatan – tak ada satu pun dari yang disebut di atas sebagai hal yang unik untuk Islam.

Namun tak ada ideology atau agama lain, dengan sanksi-sanksi yang membenarkan hal-hal seperti itu seperti yang dilakukan oleh Islam. Para wanita dalam masyarakat Islamik setiap hari menderita hinaan-hinaan seperti ini, kekerasan terhadap hak-hak kemanusiaan mereka, serta tindakan-tindakan kekerasan. Sejumlah pelecehan terhadap hak-hak azasi kemanusiaan seperti ini yang terjadi di Barat, telah dibawa ke pengadilan, kendati para pengacara “multi-kulturalisme” memperdebatkan apakah hal itu layak dilakukan. Dalam dunia Arab dan jihadik Islamik pelecehan-pelecehan seperti itu dipandang sebagai “normal” dan dipandang sebagai ekspresi identitas “kultural.” Lebih dari itu, mereka dihubungkan dengan mentalitas para teroris. Sebagaimana yang ditulis oleh Christina Hoff Sommers,”Setelah semuanya itu, penindasan terhadap kaum wanita bukanlah sebuah gambaran insidentil dari masyarakat yang mendorong perkembangan terorisme. Ini adalah sebuah sistem kontrol sosial yang oleh para jihadis, mereka bahkan sampai berperang untuk memaksa agar hal-hal itu dijalankan di seluruh dunia.

Jika para feminis Barat dan pendukung kaum wanita secara progresif memperjuangkan dengan sungguh-sungguh apa yang mereka katakan sebagai kebebasan kaum wanita dan independensi, maka mereka harus menentang sistem apartheid Islamik berdasarkan jenis kelamin. Tetapi agar hal ini terjadi, para feminis Barat harus pertama-tama memahami bahwa kebanyakan yang telah diajarkan kepada mereka – dan yang saat ini sedang diajarkan –mengenai negara-negara dunia ketiga, mengenai Islam, dan mengenai rasisme adalah hal yang palsu atau sangat bias.

Sebagai contoh, apartheid Islamik berdasarkan jenis kelamin tidak muncul oleh karena imperialisme Barat, kolonialisme atau rasisme. Ini aslinya bersumber dari Islam baik secara teologis maupun historis. Hal yang sama mengenai apartheid religius Islamik juga benar, yang disebut praktek dimana negara-negara Muslim tidak bertoleransi dengan praktek-praktek agama lain selain Islam, yang mana Islam secara aktif menganiaya, berusaha merubah agama mereka, memberikan kewajiban untuk membayar pajak, membuang, atau membunuh orang-orang Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Zoroastrian, dan lain sebagainya.

Para feminis Barat juga seharusnya menantang mitos ‘Islamofobia’ yang tersebar di Amerika Serikat dan di Barat. Ini adalah sesuatu yang dikarang-karang; tetapi kebencian Islamik terhadap orang Yahudi, Kristen dan para wanita benar-benar eksis namun disangkali, diminimalisir dan dirasionalisasikan. Para feminis harus mengakhiri obsesi mereka yang tidak alamiah dengan apa yang disebut “pendudukan” Palestina dan fokus pada pendudukan terhadap tubuh para wanita di seluruh dunia Muslim. Jika mereka peduli dengan nasib kaum wanita, maka mereka harus menghadapi isu-isu yang menunjukkan apartheid Islamik berdasarkan jenis kelamin dan mempengaruhi sekurangnya setengah milyar kaum wanita di dunia Islam.

Para feminis Barat harus mengakui bahwa kebencian terhadap kaum wanita dalam Islam dan jihad bukan “disebabkan” oleh kebijakan luar negeri Amerika tetapi melalui para tiran yang bertumbuh dalam rumah-rumah Muslim di seluruh dunia Islam, dan melalui adat-istiadat yang mana kebencian terhadap wanita dan apartheid Islamik berdasarkan jenis kelamin dibenarkan sebagai hal yang tidak bertentangan dengan aturan agama, aturan wilayah maupun aturan kesukuan.

Para feminis menyadari bahwa mereka akan menjadi semakin tidak relevan jika mereka tidak menghancurkan obsesi narsisistik dengan problem-problem remeh-temeh yang mereka temukan dalam masyarakat Amerika dan memandang kepada dunia Muslim dimana kaum wanita ditindas dengan kejam dalam kehidupan mereka setiap hari. Cristina Hoff Sommers sekali lagi mengatakan: “Para wanita yang menyusun berdirinya feminisme Amerika hari ini ditentukan untuk memainkan sedikit peran dalam pertempuran bagi hak-hak kaum wanita Muslim. Disibukkan dengan penindasan yang mereka imajinasikan, mereka bisa sedikit menolong orang lain—khususnya keluarga –yang menjadi pusat dari para feminis Islamik…. Kepicikan moral mereka menyebabkan banyak dari mereka berpendapat bahwa menolong para wanita Muslim sebagai tindakan ‘kolonialis’ atau sebagai bagian dari sebuah ‘misi menghegemoni masyarakat.’” Hal ini mendiskualifikasikan mereka sebagai para peserta dalam peperangan moral ini.

Para feminis dan pendukung kemajuan bagi kaum wanita harus membuang konsep seperti misalnya “relativisme multi-kultural” yang telah mengambil alih studi dan disiplin yang berkaitan dengan wanita. Aktivis pendukung kaum wanita dan para pemikir harus memegang sebuah standard tunggal mengenai hak asasi manusia bagi semua orang – bukan hanya bagi masyarakat di Barat atau negara-negara lainnya, terlebih lagi bagi dunia Islam yang menerapkan standar barbar.

Para feminis Barat harus memahami bahwa sama seperti para wanita dimana pun, wanita-wanita Arab dan Muslim telah menginternalisasikan pandangan budaya mereka. Dan karena itu, mereka membenarkan praktek-praktek dimana mereka menjadi korban, yaitu pemukulan bagi para istri, purdah, poligami, keharusan mengenakan kerudung, dan di atas semuanya itu, mutilasi terhadap kelamin kaum wanita. Di Amerika, pada tahun 1960an, kebanyakan wanita menyangkali bahwa mereka telah mengalami perlakuan diskriminasi secara ekonomi atau, jika pendapat mereka salah, mereka berketetapan hal itu bukanlah sebuah masalah. Mereka menyalahkan diri mereka sepenuhnya jika mereka dilecehkan secara seksual, diperkosa atau dipukuli. Hanya setelah bertahun-tahun mendapatkan pendidikan dan berjuang untuk bisa mengeluarkan mereka dari pandangan yang keliru seperti itu, maka sikap kaum wanita (juga pria) di Amerika mulai berubah. Jika para feminis Barat tidak berketetapan hati untuk melakukan perjuangan yang sama bagi para wanita di dunia Islam, maka mereka bersalah sebab telah bersikap munafik.

Akhirnya, para feminis Barat harus mendukung orang-orang Muslim yang tidak sepakat, baik pria maupun wanita, yang telah membiarkan nyawa mereka berada dalam bahaya dalam sebuah peperangan untuk hak-hak kaum wanita di bawah Islam. Hari ini, feminisme sayap kiri telah melakukan hal yang cukup berlawanan saat memasuki sebuah persekutuan dengan para Islamis – menghadapi kaum wanita dan menghadapi prinsip-prinsip feminisme mereka. Para feminis harus mengadopsi standar universal mengenai hak asasi manusia dan membuang sikap loyalitas mereka terhadap sebuah relativisme multi-kultural yang membenarkan, bahkan menganggapnya sebagai hal yang romantis, barbarisme pribumi, terorisme totalitarian dan penganiayaan terhadap kaum wanita, minoritas keagamaan, homoseksual dan intelektual-intelektual. Menolak melakukan penghakiman antara peradaban dan kemunduran, antara rasionalisme yang telah dicerahkan dan fundamentalisme teokratis akan membahayakan kita dan akan menenggelamkan lebih dalam lagi korban-korban tirani Islam dalam keputusasaan mereka.

CATATAN KAKI
1 Phyllis Chesler, The Death of Feminism: What’s Next in the Struggle for Women’s Freedom,2005, pp.11-12.
2 Ayaan Hirsi Ali, Infidel, Pp. 31-3.
3 See Amnesty International, “Media briefing: Violence against women in Pakistan,” April 17,2002, http://web.amnesty.org/ai.nsf/Index/ASA330102002?OpenDocument&of=THEMES\WOMEN.
4 Lisa Beyer, “The Women of Islam,” Time, November 25, 2001; Andrew Bushell, “Child
Marriage in Afghanistan and Pakistan,” America, March 11, 2002, p. 12.
5 See Sisters in Islam, “Rape, Zina, and Incest,” April 6, 2000, http://www.muslimtents.com/sistersin-islam/resources/sdefini.htm.
6 Ahmed ibn Naqib al-Misri, Reliance of the Traveller [‘Umdat al-Salik]: A Classic Manual
of Islamic Sacred Law, translated by Nuh Ha Mim Keller. Amana Publications, 1999, n3.2;m11.10 (1).
7 Amnesty International, “Saudi Arabia: End Secrecy End Suffering: Women,” http://www. amnesty.org/ailib/intcam/saudi/briefing/4.html. Al-Huweidar, Wajiha. “Arab Feminists on Women’s Rights: Cats and Dogs in the Developed World have More Rights than Women in the Arab and Muslim World,”
“Covert Animosity and Open Discrimination Against Women Prevail in Arab Countries,” MEMRI, special dispatch no. 890, April 12, 2005, http://www. memri.org/bin/opener_latest.cgi?ID=SD89005, accessed 4/13/2005. Freidoune Sahebjam, The Stoning of Soraya M, (New York: Arcade Publishing, 1994).
8 Quoted in quoted in Muhammad Ali Al-Hashimi, The Ideal Muslimah: The True Islamic Personality of the Muslim Woman as Defined in the Qur’an and Sunnah, International Islamic Publishing House, 1998, http://www.usc.edu/dept/MSA/humanrelations/ womeninislam/idealmuslimah/.
9 Koran 2:228.
10 Quoted in al-Hashimi, The Ideal Muslimah.
11 Hirsi Ali, pp. 31-3.
12 ‘Umdat al-Salik, e4.3.
13 Quoted in Geneive Abdo, No God But God: Egypt and the Triumph of Islam, Oxford p. 59.
14 Frank Gardner, “Grand Sheikh condemns suicide bombings,” BBC News, December 4, 2001, www.bbc.co.uk.
15 See Amnesty International, “Media briefing: Violence against women in Pakistan,” April 17, 2002, http://web.amnesty.org/ai.nsf/Index/ASA330102002?OpenDocument&of=THEMES\WOMEN.
16 “Chad Struggles to Pass New Family Law,” VOA News, April 15, 2005.
17 “Muslim author of book advocating wife-beating jailed,” Agence France Presse, January 15, 2004.
18 Steven Stalinsky and Y. Yehoshua, “Muslim Clerics on the Religious Rulings Regarding Wife-Beating,” Middle East Media Research Institute Special Report No. 27,March 22, 2004.
19 Ibid
20 Koran 4:34.
21 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, English Translation with Explanatory Notes, Ahmad Hasan, trans., Kitab Bhavan, 1990. Book 11, no. 2141.
22 Sahih Muslim, book 4, no. 2127.
23 Nina Bernstein, “In Secret, Polygamy Follows Africans to N.Y.,” New York Times, March 23, 2007.
24 Nicholas Hellen, “Muslim second wives may get a tax break,” The Times of London, December 26, 2004.
25 Koran 4:3.
26 ‘Umdat al-Salik, n3.2.
27 ‘Umdat al-Salik, n9.0.
28 ‘Umdat al-Salik, m11.10 (1).
29 Koran 2:230; ‘Umdat al-Salik, n7.7.
30 Sahih Bukhari, vol. 3, book 52, no. 2639.
31 Sahih Bukhari, vol. 7, book 67, no. 5119.
32 Aqa Najafi Quchani, quoted in Baqer Moin, Khomeini: Life of the Ayatollah, St. Martin’s Press, 1999, p. 30.
33 Barbara Ferguson, “Saudi Gets 27 Years to Life for Enslaving Maid,” Arab News, September 1, 2006.
34 “Egyptians who enslaved girl, 10, get U.S. prison,” Reuters, October 24, 2006.
35 “Kuwaiti Diplomat Accused of Domestic Slavery,” ABC News, January 17, 2007.
36 Coalition Against Slavery in Mauritania and Sudan, “Sudan Q & A,” compiled by the American Friends
37 Pascal Fletcher, “Slavery still exists in Mauritania,” Reuters, March 21, 2007.
38 Amnesty International, “Pakistan: Violence against women on the increase and still no protection,” April 17, 2002, http://web.amnesty.org/ai.nsf/Index/ASA330082002?OpenDocument&of=THEMES\WOMEN.
39 Phyllis Chesler, “What is Justice for a Rape Victim?,” On The Issues, Winter 1995.
40 Michael E. O’Hanlon and Kenneth M. Pollack, “A War We Just Might Win,” New York Times, July 30, 2007.
41 See, among many examples, Bukhari vol. 3, bk. 34, no. 432.
42 Koran 4:3.
43 “Child marriage ‘violates rights,’” BBC News, March 7, 2001.
44 Andrew Bushell, “Child Marriage in Afghanistan and Pakistan,” America, March 11, 2002, p. 12.
45 “Afghanistan: Child marriage rate still high – minister,” IRIN, July 13, 2004.
46 “Saudi man with 58 wives stirs polygamy debate,” Associated Press, January 1, 2005.
47 Lisa Beyer, “The Women of Islam,” Time, November 25, 2001.
48 Amir Taheri, The Spirit of Allah: Khomeini and the Islamic Revolution, Adler and Adler, 1986, 90-91.
49 Taheri, p. 35.
50 Peter Beaumont, “Starving Afghans sell girls of eight as brides,” The Observer, January 7, 2007.
51 “Afghanistan: Girls and women traded for opium debts,” Reuters, January 25, 2007.
52 Andrew Bushell, “Child Marriage in Afghanistan and Pakistan,” America, March 11, 2002, p. 12.
53 Sahih Bukhari, vol. 7, book 62, no. 88.
54 Koran 65:4.
55 Devika Bhat and Zahid Hussain, “Female Pakistani minister shot dead for ‘breaking Islamic dress code,’” Times Online, February 20, 2007.
56 Phyllis Chesler, “What is Justice for a Rape Victim?,” On The Issues, Winter 1995.
57 See Christopher Dickey and Rod Nordland, “The Fire That Won’t Die Out,” Newsweek July 22, 2002, pp. 34-37.
58 “Gang-rape victim faces lashes,” Agence France-Presse, March 6, 2007.
59 Chesler, The Death of Feminism: What’s Next in the Struggle for Women’s Freedom, p.12.
60 See Stephen Faris, “In Nigeria, A Mother Faces Execution,” www.africana.com, January 7,2002.
61 Ibid
62 ‘Umdat al-Salik, o24.8.
63 See Sisters in Islam, “Rape, Zina, and Incest,” April 6, 2000, http://www.muslimtents.com/sistersinislam/resources/sdefini.htm
64 “Jordan quashes ‘honour crimes’ law,” Al-Jazeera, September 7, 2003.
65 Vivienne Walt, “Marked Women,” Time, July 19, 2004.
66 Chesler, The Death of Feminism, pp.11-12.
67 Soraya Sarhaddi Nelson, “Mother kills raped daughter to restore ‘honor,’” Knight Ridder Newspapers, November 17, 2003. Chesler, The Death of Feminism, pp.173-174.
68 Jon Willing, “Brother suspect in killing,” Ottawa Sun, September 22, 2006.
69 “Jailed For Honour Killing,” SkyNews, November 2, 2006. Chesler, The Death of Feminism, pp.161-162.
70 Jody K. Biehl, “The Whore Lived Like a German,” Spiegel Online, March 2, 2005.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bostom, Andrew. The Legacy of Jihad (Prometheus 2005).
Bostom, Andrew. The Legacy of Islamic Anti-Semitism: From Sacred Texts to Solemn History (Prometheus 2007).
Bat Ye’or. Islam and Dhimmitude: Where Civilizations Collide (Farleigh Dickinson University Press 2001.)
Bat Ye’or. The Euro-Arab Axis ( Farleigh Dickinson University Press 2005).
Bawer, Bruce. While Europe Slept (Doubleday 2006)
Chesler, Phyllis. “Gender Apartheid”, Playboy, November 1, 2005.
Chesler, Phyllis. The Death of Feminism. What’s Next in the Struggle for Women’s Freedom (Palgrave Macmillan 2006).
Chesler, Phyllis. “How My Eyes Were Opened to the Barbarity of Islam”, Times of London, March 7, 2007.
Darwish, Nonie. Now They Call Me Infidel: Why I Renounced Jihad for America, Israel, and the War on Terror (Sentinel 2006)
Emerson, Steven. American Jihad: The Terrorists Living Among Us (Free Press 2003).
Emerson, Steven. Jihad Incorporated: A Guide to Militant Islam in the U.S. (Prometheus 2006).
Fallaci, Oriana. The Rage and the Pride (Rizzoli 2002).
Fallaci, Oriana. The Force of Reason (Rizzoli 2002).
Fregosi, Paul. Jihad in the West: Muslim Conquests from the 7th to the 21st Centuries (Prometheus 1998).
Gabriel, Brigitte. Because They Hate: A Survivor of Islamic Terror Warns America (St. Martin’s 2006.)
Hirsi Ali, Ayaan. Infidel (Free Press 2007).
Ibn Warraq. Leaving Islam: Apostates Speak Out: Apostates Speak Out by (Prometheus 2003)
Karsh, Efraim. Islamic Imperialism: A History (Yale University Press 2006).
Phillips, Melanie Londonistan (Encounter Books 2006).
Spencer, Robert. Islam Unveiled (Encounter Books 2003).
Spencer, Robert. Onward Muslim Soldiers (Regnery 2003).
Spencer, Robert. The Myth of Islamic Tolerance (Prometheus 2005).
Spencer, Robert. The Politically Incorrect Guide to Islam (and the Crusades) (Regnery 2005).
Spencer, Robert. Religion of Peace? (Regnery 2007).
Spencer, Robert. The Truth About Muhammad (Regnery 2006).


THE TERRORISM AWARENESS PROJECT

1 comment:

  1. ah,nggk tuh...kalian aja kaum kapitalis yg ingin menjelekan islam,,,,pahamilah islam akan terus berjaya,

    ReplyDelete