Pada tahun 1970, setelah tamat dari sekolah teologi, saya dan suami saya memulai sebuah pelayanan diantara komunitas Muslim di Inggris. Selama lima tahun kami bepergian ke banyak tempat di Inggris, mempresentasikan pada gereja-gereja dari berbagai denominasi kebutuhan-kebutuhan dan tantangan untuk menjangkau orang-orang Muslim. Kami mengadakan seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan tentang bagaimana memahami Islam dan Muslim yang ada di tengah-tengah kami. Di beberapa daerah kami menghabiskan waktu selama beberapa bulan, dan bekerjasama dengan beberapa organisasi-organisasi lain yang terlibat dalam pelayanan yang sama. Di akhir tahun kelima, kami merasa sangat kecewa dan tawar hati karena kurangnya ketertarikan dari gereja-gereja Inggris dan sikap antagonis dan rasisme yang kami alami. Kami menemukan bahwa orang-orang merasa takut atas apa yang sebenarnya tidak mereka ketahui dengan baik. Kami hanya menemukan individu-individu dalam jumlah sangat terbatas yang merasa tertarik dengan apa yang kami presentasikan. Keluar dari perasaan kecewa dan merasa bahwa apa yang kami kerjakan adalah sia-sia, maka kami pun memutuskan untuk tinggal di sebuah pusat kota dan mulai merintis apa yang menjadi beban kami.
Selama lima tahun itu, saya telah mengunjungi banyak rumah-rumah Muslim dan
bertumbuh dalam memahami budaya Islamik dan peran serta posisi wanita dalam
keluarga dan rumah. Saya menghabiskan banyak waktu dengan wanita-wanita
Muslim dan ini merupakan saat untuk saya belajar. Dengan cepat saya menyadari
bahwa saya hanya bisa memiliki relasi-relasi dengan para wanita dan gadis,
karena relasi antar jender tidaklah diterima dalam budaya Islamik.
Pada tahun 1975, saya dan suami saya membentuk sebuah organisasi yang
dinamakan In Contact Ministry (kemudian hari berganti nama menjadi Servant
Fellowship International), dan membeli St Andrew Centre di Plaistow, East
London, sebuah komplek yang sangat besar dan luas, dengan sasaran khusus
untuk melayani orang-orang Muslim dan komunitas etnik lainnya di wilayah itu.
Pada tahun 1975, komunitas Muslim di Newham berjumlah 15.000 orang; hari ini
58.500 orang.1 Komunitas non kulit putih di wilayah itu sekarang berjumlah 60,6
persen yang merupakan komunitas terbesar yang ada di seluruh Inggris.2 Dengan
jumlah staf lebih dari 40 orang pada suatu waktu, kami mengajarkan bahasa
Inggris sebagai bahasa asing dan juga menolong mereka yang membutuhkan
bantuan dalam bidang-bidang yang beragam seperti mengisi formulis DHSS,
membawa orang ke rumah sakit, memimpin sebuah pelayanan untuk pengungsi
dengan cara mensuplai mebel dan kebutuhan-kebutuhan fisik lainnya, dan
menjalankan pusat krisis kehamilan. Di samping itu masih banyak lagi bidang
1 2001 UK Census official figures.
2 Ibid.
lainnya yang kami kerjakan. Selama bertahun-tahun kami melakukan
perkunjungan ke banyak rumah-rumah orang Muslim. Kami menawarkan
persahabatan untuk menolong mengatasi perasaan kesepian dan terkadang
depresi mereka, dan banyak berdiskusi di rumah-rumah Muslim membahas
mengenai perbedaan antara Islam dan Kekristenan.
Meskipun beban utama kami adalah untuk komunitas Muslim, kami juga terlibat
dalam melayani orang-orang yang kebetulan kami temui atau bertemu dengan
kami, termasuk mereka dari komunitas iman lainnya, dengan keyakinan bahwa
mereka dikirim oleh Tuhan sendiri. Jadi gereja yang telah ditanam adalah sebuah
gereja yang bersifat multi-etnis, dan hari ini merupakan jemaat yang terdiri dari 28
kebangsaan.
Konteks – wilayah East End London
Konteks pembahasan kita adalah daerah Plaistow di London Timur, yang
merupakan bagian dari Newham dan berdasarkan sejarah merupakan daerah
kelas pekerja kulit putih. Pada tahun 1950-an, dengan munculnya imigrasi banyak
orang Asia dan India Barat yang masuk ke daerah itu, dan mayoritas orang-orang
Asia berasal dari komunitas Muslim di Pakistan. Seakan-akan komunitas non kulit
putih berpindah masuk dan komunitas putih berpindah keluar. Sebagai akibatnya
berbagai komunitas mulai membentuk kantung-kantung dalam wilayah tersebut,
yang dapat kita lihat hingga hari ini. Tidaklah lazim untuk melihat bahwa di satu sisi
jalan, hampir semua rumah adalah Hindu, sedangkan di sisi lainnya adalah
Muslim. Mayoritas orang Muslim yang berpindah ke daerah itu berasal dari kelaskelas
masyarakat termiskin dan dari daerah-daerah pinggiran. Mereka yang
berpendidikan mendapati hampir-hampir mustahil untuk mendapatkan pekerjaan di
daerah pelatihan mereka dan harus menerima pekerjaan apa saja yang bisa
mereka dapatkan. Seringkali ini berarti bekerja di pabrik-pabrik seperti pabrik Ford
di Dagenham. Komunitas Muslim belum terstruktur seperti pada masa kini, dan di
wilayah itu hanya ada sedikit mesjid-mesjid rumah (surau).
Dalam tahun-tahun berikutnya banyak orang dalam komunitas Muslim memulai
bisnis kecil-kecilan dan kemudian menjadi kaya. Semua anggota keluarga
dilibatkan dalam bisnis itu, termasuk kaum wanita, dan bekerja berjam-jam
lamanya agar dapat sukses. Dengan hal ini muncullah keinginan untuk mendidik
anak-anak mereka dengan tujuan agar mereka menjadi dokter, penasehat hukum
dan pengacara. Mereka menginginkan yang terbaik untuk anak-anak mereka dan
rela berkorban untuk mendidik mereka. Namun demikian dalam banyak kasus ini
hanya berlaku untuk anggota-anggota keluarga yang pria. Maka timbullah kelas
menengah yang baru. Cukup menarik apabila memperhatikan bahwa dewasa ini
sekolah-sekolah swasta di wilayah itu, termasuk sekolah-sekolah Kristen mempunyai banyak siswa Muslim. Sekarang komunitas Muslim terbentuk dengan baik di Newham dengan dibangunnya mesjid-mesjid baru dan banyak toko termasuk toko-toko buku mereka sendiri.
Selama lebih dari 23 tahun kami tinggal di wilayah itu, kami melihat Newham
berubah dari wilayah yang sangat minus menjadi sebuah wilayah yang pada akhir
80-an menjadi wilayah yang sangat diidamkan oleh orang muda kulit putih
profesional kelas menengah. Banyak yang pindah ke daerah itu. Namun demikian,
pada pertengahan 90-an kami melihat eksodus orang-orang putih itu. Dengan
cepat Newham menambah populasi non kulit putihnya dengan sejumlah besar
pengungsi. Wilayah itu menjadi satu dari dua kota penerima pengungsi di Inggris
Raya, dan setiap tahun menerima antara 10 hingga 20 ribu pengungsi yang tinggal
di hotel-hotel dan di semua tempat yang dapat menampung mereka dengan
akomodasi tempat tidur dan sarapan. Wilayah itu kembali menjadi daerah yang
miskin, hingga dicap sebagai wilayah termiskin di Inggris. Keragaman etnis di
wilayah itu bertumbuh, dengan proporsi penduduk non kulit putih mencapai 52%.
Orang Muslim yang berhasil mengumpulkan cukup uang pindah ke “daerahdaerah
kelas masyarakat yang lebih baik” seperti Ilford dan kemudian East hingga
Essex.
Dengan adanya perubahan-perubahan dalam komunitas dan generasi berikutnya
yang dilahirkan di Inggris, orang muda Muslim mulai menunjukkan individualisme
dari teman-teman sebaya mereka yang orang Inggris dan masyarakat pada
umumnya. Para orang-tua sulit untuk memahami apa yang sedang terjadi. Orangorang
muda bertumbuh dalam dua budaya, dan ini membawa ketegangan dan
konflik antar generasi. Di sekitar masa inilah lebih banyak kaum wanita Muslim
yang bekerja di luar rumah untuk alasan-alasan ekonomis: membantu
perekonomian keluarga (karena harga-harga perumahan melonjak dengan cepat),
dan sedapat mungkin menghasilkan uang sebanyak mungkin di negeri yang
dianggap berkelimpahan. Pola-pola budaya mulai berubah.
Motivasi
Oleh karena panggilan Tuhan, saya dan suami pindah ke East End London untuk
bekerja di antara orang asing dan pendatang. Saya tinggal disana selama hampir
seluruh masa dewasa saya, dan ini menjadi konteks saya baik secara pastoral
maupun teologis. Saya dilahirkan dan dibesarkan di Selandia Baru, jadi di East
End sangat merasakan apa artinya menjadi orang asing dan pendatang di negeri
orang. Saya sangat berbeda dari banyak penduduk kelahiran negara lain karena
saya berkulit putih, dan itu memisahkan saya, tetapi suami saya adalah orang Asia
jadi berada dalam kategori yang sama dengan orang Muslim dan orang-orang Asia
lainnya di wilayah itu. Saya mendapati bahwa nama keluarga dan nama suami
saya semakin mengindentifikasi saya dengan komunitas non kulit putih daripada
dengan komunitas putih. Tentu saja saya mengalami, ketika saya keluar rumah dengan suami saya, perilaku rasisme yang ditunjukkan oleh komunitas lokal kulit putih kepada saya, dan kemungkinan besar lebih parah dari orang kebanyakan.
Ketika kami menikah pada tahun 1969 pernikahan ras campuran sangat jarang
terjadi, sehingga saya lebih sering direndahkan dan mendapat penghinaan.
East End secara historis dipandang sangat rasis, dan komunitas putih melihat
masuknya imigran ke dalam wilayah itu dan mereka merasa eksistensi mereka
terancam oleh orang-orang asing yang membawa budaya yang aneh dan berbeda
ke dalam apa yang mereka yakini sebagai tanah “mereka”. Ini mengakibatkan
diskriminasi terhadap orang-orang dari budaya lain.
Dalam banyak kasus, rasisme menjadi semakin terang-terangan dan terbuka.
Perasaan-perasaan tidak disembunyikan, tetapi diekspresikan secara verbal dan
melalui kekerasan. Kesulitan yang dialami oleh gereja adalah orang-orang Asia di
wilayah itu percaya bahwa semua orang Inggris berkulit putih beragama Kristen,
sehingga apa yang mereka alami dianggap sebagai perlakuan yang mereka terima
dari Gereja Kristen. Pada kenyataannya, ada pula rasisme di dalam komunitas
Kristen kulit putih dan orang-orang non kulit putih seringkali tidak diterima di
gereja-gereja mereka. Dalam konteks inilah orang-orang non kulit putih
dinasehatkan oleh gereja-gereja lainnya di wilayah itu untuk pergi berbakti di
Gereja St. Andrew karena itulah satu-satunya gereja “kulit hitam”, walaupun pada
waktu itu jemaatnya yang non kulit putih hanya berjumlah 30%.
Tidak ada kemewahan atau hidup dengan status tinggi di East End. Wilayah ini
adalah tempat yang tidak ingin didatangi orang. Orang-orang Kristen akan pergi
bekerja di negara-negara Muslim yang termiskin namun kebanyakan tidak mau
datang ke East End London. Kami sangat beruntung karena mempunyai sebuah
tim yang terdiri dari 6 atau lebih orang muda yang baru lulus perguruan tinggi yang
bersedia untuk menolong kami. Ini sering membawa masalah dengan para orangtua
yang kadangkala menelepon kami dan memohon agar kami tidak membawa
putra atau putri mereka untuk bekerja dengan kami.
Dalam Perjanjian Lama, orang asing adalah pengingat permanen untuk orang
Yahudi akan masa lalu mereka dan bagaimana Tuhan telah menyelamatkan
mereka dari situasi buruk yang mereka alami di negeri asing. Tuhan yang sama ini
telah memanggil saya untuk mengasihi orang-orang yang tidak dikasihi, tetapi
dihina dan direndahkan. Saya harus mengidentifikasikan diri dengan mereka
secara setara dengan cara apapun semampu saya. Saya berasal dari budaya
yang ramah dan terbuka di Selandia Baru sehingga saya tidak mengalami
kesulitan dalam beridentifikasi karena saya selalu percaya bahwa saya harus
berbaur dengan orang lain. Saya tidak bisa mengharapkan mereka yang
menghampiri saya terlebih dahulu. Saya duduk dengan para wanita Muslim di
tempat dimana mereka duduk dan saya mendengarkan mereka. Saya berdoa agar
setiap hari saya mendapat hikmat Tuhan. Jika mereka memerlukan pertolongan praktis saya akan berusaha untuk mendampingi, sehingga saya dapat
menunjukkan kasih Kristus kepada mereka. Setiap orang berharga dan bernilai di
mata Tuhan. Tidak ada sekumpulan orang miskin, namun individu-individu yang
harus dilayani dengan segala kerendahan hati. Kenneth Leech yang
menghabiskan hampir seumur hidupnya tidak jauh dari kami di East End London,
menemukan kebenaran-kebenaran yang serupa. Ia menulis “Orang-orang miskin
adalah sesama kita. Mereka ada di sekitar kita bukan untuk menjadi obyek
perhatian kita, bukan untuk ‘menerima kebaikan kita’. Perhatian Kristologis
mempunyai karakter awam, kerendahan hati, tindakan dan bukan hanya perkataan
– pembasuhan kaki adalah sebuah pelayanan dalam diam – dan kerelaan untuk
dikontaminasi dengan lumpur, penyakit dan darah”.3
Dengan melayani kebutuhan-kebutuhan praktis orang lain kita menunjukkan kasih
Kristus, dan ini adalah tanda Injil, sebuah cara menyaksikan Injil Tuhan Yesus
Kristus secara non-verbal. Sulit bagi saya untuk melihat adanya pemisahan antara
Injil dan masalah-masalah sosial, karena dalam pikiran saya keduanya sangat
berkaitan erat. Walaupun tahun 60-an dan 70-an sebuah pemisahan berkembang
dalam gereja diantara orang-orang yang melihat misi gereja hanya sebatas
penginjilan saja atau tindakan sosial saja, sedang kita melihat Injil sangat berhati
sosial.
Mengatur skenario
Dua kali setahun kami mengunjungi setiap rumah dalam radius satu mil dari Pusat
St. Andrew. Dengan melakukan hal ini kami dapat tetap berhubungan dengan
semua komunitas di wilayah tersebut. Sebagai akibatnya, saya telah mengunjungi
banyak rumah Muslim selama bertahun-tahun, dan disanalah saya menjalin
persahabatan dengan para wanita Muslim. Saya telah mempelajari Alkitab dengan
mereka, menolong mereka mengisi formulir, jalan-jalan keluar dengan mereka,
mengantar mereka ke rumah sakit dan mendampingi mereka di masa-masa krisis.
Saya telah mengembangkan relasi-relasi dengan sejumlah wanita-wanita ini
selama bertahun-tahun, dan mempunyai hubungan akrab dengan beberapa orang.
Saya berusaha untuk sedia mendengarkan dan dalam beberapa kasus telah
menjadi orang yang mereka percayai. Saya tidak berusaha untuk menyelesaikan
masalah mereka, karena orang asing tidak akan pernah melakukan hal itu; ini
harus dilakukan dalam konteks keluarga. Namun demikian saya boleh
mengobservasi dan mendiskusikan apa yang terjadi di dalam rumah orang Muslim.
Satu subyek yang telah menarik minat saya adalah posisi dan perlakuan terhadap
para wanita Muslim di rumah dan dalam masyarakat luas. Saya melihat mereka
mendapatkan pembatasan-pembatasan, dibandingkan dengan teman-teman Barat
mereka. Ada yang tidak diijinkan keluar rumah jika tidak ditemani oleh anggota
3 Kenneth Leech, The Eye of the Storm (London: Darton, Longman and Todd, 1992), p. 147.
8
keluarga yang pria. Mayoritas wanita Muslim yang saya jumpai harus memuaskan
diri mereka dengan mengurus rumah-tangga dan keluarga, dan itulah peran
mereka satu-satunya. Saya hanya mengunjungi mereka jika para suami mereka
tidak ada di rumah. Jika para suami mereka yakin bahwa saya terlalu sering
mengunjungi mereka maka saya akan diminta agar tidak datang lagi (hal ini terjadi
beberapa kali). Mereka kuatir saya akan mempengaruhi para istri mereka dengan
nilai-nilai Barat, atau menyesatkan mereka. Banyak wanita Muslim yang saya
temukan merasa kesepian dan memerlukan seseorang untuk diajak bicara.
Televisi dan video akan dihidupkan dan itu akan menjadi salah satu aktifitas utama
mereka dalam sehari.
Tinggal di negara asing seringkali berarti bahwa keluarga besar tidak utuh, karena
mayoritas keluarga itu masih tinggal di negara asal. Ini dapat berarti kesulitan
besar untuk si istri, karena tidak ada yang dapat menolongnya mengurus anakanaknya
dan ia akan merindukan pendampingan para kerabat wanitanya.
Oleh karena minat terhadap kaum wanita Muslim inilah saya masuk ke
Westminster College di Oxford untuk mengambil program Master. Subyek yang
saya ambil adalah perubahan kontekstual dan wanita Muslim di Inggris dan
Malaysia – dapatkah perubahan kontekstual membuat perbedaan terhadap posisi
wanita? Subyek ini memasuki ranah perubahan sosial dan religius di dalam
komunitas Muslim. Demi tujuan buku ini saya telah menyingkirkan bagian
mengenai Malaysia, yang semula ada sebagai kontras dan perbandingan dengan
situasi di Inggris namun bukan merupakan bagian utama desertasi saya. Disertasi
tersebut diserahkan pada bulan September 1998. Sejak saat itu saya telah
memperbaharui dan memperluas beberapa bagian, menyingkirkan dialog dari 30
wawancara dan dimana tepat, saya menambahkannya pada teks buku ini. Untuk
memperkaya, saya juga telah menambahkan pengalaman saya selama bertahuntahun
melayani kaum wanita Muslim.
Struktur wawancara
Dari proyek ini saya menyadari bahwa saya sedang memasuki riset sensitif untuk
memperoleh fakta-fakta yang sesungguhnya berkenaan dengan situasi yang bisa
jadi sangat sulit. Seperti kebanyakan wanita lainnya, seorang wanita Muslim tidak
mau mengumbar kenyataan hidupnya, atau pernikahannya, kepada orang asing,
orang-orang muda Muslim, seperti juga kebanyakan remaja lainnya tidak mau
membeberkan rahasia-rahasia mereka yang terdalam kecuali kepada teman
sebaya. Fakta-fakta yang sesungguhnya dapat ditutupi. Sebagai contoh seorang
istri dapat menyembunyikan kesulitan-kesulitannya dari suaminya dan dari dunia,
takut jika ia bercerita kepada orang lain maka keluarganya akan mengetahuinya.
Orang muda Muslim menutupi fakta-fakta dari keluarganya dan dari komunitas
Muslim.
9
Saya direkomendasikan oleh perguruan tinggi untuk membaca buku Raymond Lee
“Doing Research on Sensitive Topics”. Ia menulis dalam bukunya bahwa “riset
dapat menimbulkan ancaman, berhubungan dengan wilayah-wilayah pribadi,
penuh stres atau sakral...informasi akan dinyatakan apakah itu menstigmatisasi
atau mengkriminalkan...para periset sering menerobos ke dalam wilayah yang
kontroversial atau terlibat dalam konflik sosial”. Para periset dapat terlihat sebagai
orang yang menginginkan informasi yang mendiskreditkan, karena ia berusha
mendapatkan informasi mengenai apa yang disembunyikan, dan mengenai apa
yang tetap ingin disembunyikan orang. Jika hal itu dibukakan, maka itu akan
menstigmatisasi sebuah komunitas dan menjadi sesuatu yang menyebabkan
mereka “kehilangan muka”, menderita kehilangan kehormatan dan martabat. 4
Namun demikian dalam jaman post-modern saat ini, usaha menutup-nutupi tidak
lagi dapat diterima, dan tidak ada lagi apa yang disebut sebagai “sakral”. Ini adalah
jaman dimana masyarakat menuntut adanya transparansi. Namun begitu, hal ini
tidaklah demikian dengan budaya-budaya non Barat yang ada di Inggris, karena
mereka ingin menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa mereka
mempunyai jawaban atas semua penyakit dan permasalahan di dalam komunitas
mereka dan mereka dapat mengatasi semua kesulitan yang ada. Mereka tidak
ingin agar “kain kotor” mereka di angin-anginkan di depan publik. Kelompokkelompok
masyarakat ini ingin terlihat mampu memelihara dan menjunjung nilainilai
tradisional, dan bukan sebagai bagian dari masyarakat Barat post-modern
dengan semua kelemahan dan kegagalannya. Sangat mudah untuk memahami
dan bersimpati pada posisi idealistis ini, tetapi masyarakat telah melangkah maju,
sambil menyapu semua budaya dan latar belakang. Suatu contoh mengenai minat
jaman ini terhadap detil-detil hidup orang lain adalah kesuksesan di Inggris yang
dialami oleh novel-novel seperti Brick Lane karangan Monica Ali. Seperti novelnovel
lainnya, novel ini masuk ke dalam kehidupan, latar belakang dan kepribadian
para karakternya, tidak selalu berkenaan dengan hal positif, dan dalam kasus ini
para karakternya adalah orang-orang Muslim Bengali yang tinggal di East End
London. Beberapa mungkin menganggapnya sebagai sebuah tanda integrasi
kebudayaan Inggris sehingga novel ini sangatlah populer. Namun demikian, ada
keberatan-keberatan yang sangat kuat terhadap buku ini dari dalam komunitas
tersebut.
Dari sudut pandang seorang Kristen, kita dipanggil untuk mengasihi sesama kita
dan menjangkau mereka, siapapun mereka. Sebagai bagian dari hal ini, adalah
baik untuk memahami sesuatu mengenai keyakinan orang lain dan keadaan
mereka, dan konteks hidup mereka, untuk menolong kita memahami dan berelasi
dengan mereka. Pertanyaan yang saya ajukan mengenai kesulitan-kesulitan yang
dihadapi kaum wanita tidaklah berasal dari roh mengkritik tetapi untuk mencari
pengertian yang lebih besar untuk diri saya dan orang lain. Sebagai orang Kristen,
4 Raymond Lee, Doing Research on Sensitive Topics (London: Sage Publications, 1993), p. 4.
10
pengertian yang lebih besar dapat menolong kita untuk lebih mengasihi dan lebih
mendoakan orang-orang yang berada dalam situasi yang sulit.
Satu hal yang paling sulit yang harus saya hadapi pada permulaan riset adalah
bagaimana mendapatkan informasi yang sangat saya butuhkan dan dengan
integritas. Saya mengambil keputusan untuk melakukan riset dalam bentuk
wawancara secara tidak langsung, atau menggunakan teknik wawancara
“mendalam”, dimana si pewawancara mengambil peran yang lebih rendah. Lee
menganjurkan agar ini menjadi metode yang dipilih untuk topik-topik yang sensitif.5
Wawancara-wawancara itu menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang panjang
dan terbuka ketika bertanya mengenai tingkah-laku.6 Ini memberikan orang yang
diwawancarai waktu yang panjang untuk berpikir dan membangkitkan kembali
kenangan lama. Pertanyaan-pertanyaan mengenai topik yang sensitif dicapai
secara bertahap melalui satu seri pertanyaan yang tidak terlalu pribadi.7
Metodologi
Wawancara dilakukan antara November 1997 dan Juli 1998. Semua wawancara
diatur untuk saya oleh seorang anggota lokal dari komunitas Pakistan, karena itu
saya sungguh beruntung karena tidak harus mempersiapkannya dari awal. Para
individu dan keluarga dipilih secara acak oleh orang lain yang punya kontak
dengan banyak orang dalam komunitas Pakistan. Saya didampingi saat berada di
setiap komunitas. Orang ini memperkenalkan saya dan kemudian apakah dengan
diam-diam pergi, atau menarik diri ke ruangan yang lain atau berbicara dengan
anggota-anggota lain dari keluarga itu. Kadang-kadang, sebelum saya datang, ijin
harus diperoleh untuk wawancara dan alasan melakukan wawancara ini harus
dijelaskan. Semuanya dilakukan secara terbuka, dengan kejujuran dan integritas.
Semua wawancara berakhir kira-kira setelah satu setengah jam dan, kecuali
dengan orang-orang muda, semuanya dilakukan di rumah-rumah orang yang
diwawancarai. Setelah wawancara kami minum teh bersama dan percakapan
diteruskan. Bagian dari kunjungan ini sangat produktif dan setiap orang benarbenar
ingin membantu sebanyak yang bisa mereka lakukan. Saya harus
memperhatikan pakaian yang saya kenakan, sikap saya dan bagaimana
penampilan diri saya akan membuat perbedaan.
Dengan orang muda yang saya wawancarai, saya temukan bahwa adalah hal
yang penting saat melakukannya agar tidak ada orang dewasa yang hadir di situ.
Saya bawa mereka ke rumah saya dimana mereka bisa merasa santai dan bisa
berbicara secara terbuka.
5 Ibid., p. 101.
6 Ibid., p. 76.
7 Ibid., p. 79.
11
Dengan beberapa orang yang diwawancarai, suami turut hadir di seluruh atau
setengah dari sesi wawancara. Ini adalah sesuatu yang sebelumnya tidak saya
antisipasi bakalan terjadi. Karena itu saya harus berhati-hati dan bijaksana dalam
melakukan pendekatan. Dengan sebuah keluarga Ahmadiyah, sang suami hadir di
keseluruhan sesi wawancara, kecuali saat momen-momen yang terasa ganjil
maka ia meninggalkan ruangan. Kepada orang lainnya lagi yang diwawancarai,
sang suami hadir di sepertiga terakhir dari sesi wawancara, tetapi tidak turut serta
saat minum teh dan sesi informal. Saya menemukan bahwa kehadiran suami di
kedua wawancara ini tidaklah positif. Namun demikian pada wawancara yang
ketujuh, suami hadir dari waktu ke waktu dan kami semua bisa berbicara secara
terbuka dan jujur. Di sini baik suami maupun isteri mendiskusikan dengan saya
perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam pernikahan mereka. Wawancara ini
berakhir jauh lebih lama dari semua wawancara lainnya, karena mereka
merasakan pentingnya untuk berbicara.
Adalah penting bahwa pendekatan yang saya lakukan bebas dari tuduhan dimana
saya mencoba untuk membangun sebuah relasi dengan orang-orang yang saya
wawancarai. Bagian pertama dari wawancara adalah percakapan yang sifatnya
umum mengenai satu sama lain dan hanya mengungkapkan siapa kami, dengan
sikap yang sangat informal. Selama wawancara saya dengan sangat cepat
menyadari bahwa beberapa percakapan yang kami miliki menjadi bersifat sangat
pribadi, karena itu saya memutuskan untuk berhenti mencatat. Saya mengijinkan
orang ini untuk menyampaikan apa yang ingin mereka katakan secara cepat. Saya
punya bagian isu-isu yang ingin saya bahas dan saya berhasil mendapatkan
semua informasi yang saya butuhkan melalui pendekatan seperti ini. Kebanyakan
dari bahan yang didapat dari wawancara ini langsung ditulis setibanya di rumah.
Pilihan Mereka Untuk Diwawancarai
Dalam memilih mereka untuk diwawancarai, saya mengusahakan semaksimal
mungkin untuk mewawancarai kelompok-kelompok, usia, dan kelas sosial yang
berbeda-beda. Juga mencakup baik Muslim Sunni maupun Muslim Ahmadiyah,
para pelajar sekolah maupun universitas, serta wanita dari usia yang beragam.
Saya ingin mendapatkan sebuah pandangan yang luas mengenai apa yang
sedang terjadi. Saya juga mewawancarai beberapa orang muda Kristen yang
mempunyai teman-teman Muslim dan bisa berbicara dengan mereka mengenai
perilaku mereka. Meskipun saya menyadari batasan-batasan berbicara kepada
orang-orang Kristen mengenai orang-orang Muslim, mereka telah melihat dan
mengetahuinya terlebih dahulu mengenai hal-hal yang orang-orang muda Muslim
kemungkinan tidak dalam posisi untuk mengakuinya. Salah seorang yang saya
wawancarai adalah seorang wanita di sebuah perguruan tinggi yang tidak
menganggap dirinya sebagai staf dan tidak memiliki ikatan dengan mereka. Ia
adalah seorang Muslim dan punya telinga untuk mendengarkan gadis-gadis
12
Muslim yang berdiskusi dengannya. Saya juga telah mewawancarai para ibu yang
punya anak-anak remaja dan mereka yang punya anak-anak yang lebih muda,
dan seorang wanita yang telah meninggalkan Islam dan menjalankan sebuah
tempat perlindungan untuk sekitar tiga puluh orang wanita Muslim. Saya juga
mewawancarai orang-orang muda yang juga telah menerima pendidikan di Barat
dan mereka yang berasal dari negara-negara lain, orang-orang yang tidak
berpendidikan, kelas menengah dan kelas pekerja.
Isu-isu yang hendak Dibahas
Dalam percakapan umum di permulaan wawancara, saya mencoba menemukan
hal-hal yang khusus dari setiap orang: usia mereka, apakah mereka menikah atau
tidak, dimana suami mereka bekerja, berapa orang anak mereka dan apakah
anak-anak mereka itu laki-laki atau perempuan dan berapa usia mereka. Apakah
pernikahan mereka adalah pernikahan yang dijodohkan dan apakah mereka akan
menjodohkan anak-anak mereka. Saya juga menanyakan berapa lama mereka
sudah tinggal di Inggris dan apakah mereka menerima pendidikan di sini, dan
apakah mereka juga bekerja di sini. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini, yang
biasanya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya tidak sopan jika
ditanyakan di Inggris, merupakan pertanyaan yang dapat diterima dengan sangat
baik dalam konteks seorang Muslim. Namun demikian pertanyaan-pertanyaan itu
bersifat dua arah; apa yang telah saya tanyakan maka saya sendiri pun harus
menjawabnya.
Ada isu-isu tertentu yang harus dibahas dalam setiap wawancara, yaitu isu-isu
yang saya yakini merupakan isu-isu yang relevan untuk menentukan telah menjadi
seberapa kontekstualnyakah komunitas Muslim itu saat ia tinggal di Inggris. Salah
satu diantaranya adalah isu mengenai berpacaran dan menikah. Normalnya dalam
konteks Muslim tidak dikenal praktek berpacaran atau percampuran antar jender
setelah pubertas, dan pernikahan pun dijodohkan. Di Inggris saya tertarik untuk
mengetahui dimana partner pernikahan akan ditemukan, di Inggris atau di negara
asal mereka. Apakah para wanita akan dikirim pulang ke negara asalnya untuk
dinikahkan, dan seberapa seringnyakah mereka pulang ke negara asalnya.
Isu lainnya adalah mengenai pendidikan dan pekerjaan. Saya ingin menemukan
ada berapa banyak wanita yang saat ini menempuh pendidikan lanjut, apakah
mereka akan pergi ke sebuah universitas yang jauh dari rumah, apakah mereka
akan bekerja jauh dari rumah. Apakah mereka akan bekerja setelah mereka
menikah? Bagaimana para wanita melihat pernikahan saat ini ketika mereka
tinggal di Barat dan apa yang merupakan harapan-harapan mereka mengenai hal
itu? Bagaimana dengan anak-anak dan jaringan keluarga yang lebih besar?
Pertanyaan lainnya adalah isu di seputar keretakan rumah tangga, kebiasaan
13
terjadinya perceraian dalam komunitas Muslim, dan bidang sensitif yang ekstrim
mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
Juga ada isu-isu mengenai seks sebelum nikah, narkoba, merokok, alkohol dan
pakaian. Dengan wanita-wanita yang lebih tua, saya menanyakan mengenai
apakah tinggal di Inggris telah merubah hidup mereka sepenuhnya.
Hasil Survey
Saat saya melaksanakan wawancara, saya menemukan bahwa orang-orang ini
sangat relaks dan dengan rela mau berbicara. Waktu berdiskusi memberi manfaat
yang sangat besar dan membuat mereka merasa beban mereka menjadi lebih
ringan. Dengan wanita-wanita yang lebih tua mereka sangat bersedia untuk
berbicara mengenai teman-teman mereka dan apa yang sedang terjadi, dan
kemudian mereka memperluasnya sehingga bisa mencakup apa yang menjadi
situasi mereka. Percakapan berlanjut setelah wawancara selesai dan pada saat ini
mereka bahkan lebih bersedia lagi untuk berbicara secara terbuka. Saya dapat
membangun sebuah hubungan yang baik dengan setiap orang yang saya
wawancarai, dan mereka semua ingin supaya saya menghubungi mereka kembali.
Saya telah mengunjungi banyak rumah-rumah Muslim selama bertahun-tahun dan
untuk saya, saya tidak menemukan adanya ancaman yang membuat saya merasa
takut, dan saya pun merasa sepenuhnya seperti tengah berada di rumah dalam
setiap situasi perkunjungan.
Buku ini mulai dengan menggambarkan ajaran dan tradisi Islamik mengenai
wanita. Buku ini kemudian menjelaskan bagaimana aspe-aspek pengajaran dan
tradisi yang berkaitan dengan wanita itu diaplikasikan dalam kehidupan para
wanita Muslim yang tinggal di Inggris hari ini. Secara khusus hal itu berkaitan
dengan tingkat kehidupan mereka dalam mengakomodasi baik iman tradisional
mereka dan juga kebudayaan Barat yang mereka hidupi sekarang.
Meskipun saya berasal dari sudut pandang seorang Kristen, dan berharap akan
banyak pembaca buku ini adalah orang-orang Kristen, saya tidak mencoba untuk
memperbandingkan sejarah, pengajaran dan tradisi-tradisi Muslim dengan gereja
Kristen. Saya terfokus pada mencoba untuk membawa bersama-sama banyak
pandangan yang berbeda-beda dari para penulis Muslim, dari para teolog klasik
hingga para jurnalis dari majalah-majalah terkini.
Selama lima tahun itu, saya telah mengunjungi banyak rumah-rumah Muslim dan
bertumbuh dalam memahami budaya Islamik dan peran serta posisi wanita dalam
keluarga dan rumah. Saya menghabiskan banyak waktu dengan wanita-wanita
Muslim dan ini merupakan saat untuk saya belajar. Dengan cepat saya menyadari
bahwa saya hanya bisa memiliki relasi-relasi dengan para wanita dan gadis,
karena relasi antar jender tidaklah diterima dalam budaya Islamik.
Pada tahun 1975, saya dan suami saya membentuk sebuah organisasi yang
dinamakan In Contact Ministry (kemudian hari berganti nama menjadi Servant
Fellowship International), dan membeli St Andrew Centre di Plaistow, East
London, sebuah komplek yang sangat besar dan luas, dengan sasaran khusus
untuk melayani orang-orang Muslim dan komunitas etnik lainnya di wilayah itu.
Pada tahun 1975, komunitas Muslim di Newham berjumlah 15.000 orang; hari ini
58.500 orang.1 Komunitas non kulit putih di wilayah itu sekarang berjumlah 60,6
persen yang merupakan komunitas terbesar yang ada di seluruh Inggris.2 Dengan
jumlah staf lebih dari 40 orang pada suatu waktu, kami mengajarkan bahasa
Inggris sebagai bahasa asing dan juga menolong mereka yang membutuhkan
bantuan dalam bidang-bidang yang beragam seperti mengisi formulis DHSS,
membawa orang ke rumah sakit, memimpin sebuah pelayanan untuk pengungsi
dengan cara mensuplai mebel dan kebutuhan-kebutuhan fisik lainnya, dan
menjalankan pusat krisis kehamilan. Di samping itu masih banyak lagi bidang
1 2001 UK Census official figures.
2 Ibid.
lainnya yang kami kerjakan. Selama bertahun-tahun kami melakukan
perkunjungan ke banyak rumah-rumah orang Muslim. Kami menawarkan
persahabatan untuk menolong mengatasi perasaan kesepian dan terkadang
depresi mereka, dan banyak berdiskusi di rumah-rumah Muslim membahas
mengenai perbedaan antara Islam dan Kekristenan.
Meskipun beban utama kami adalah untuk komunitas Muslim, kami juga terlibat
dalam melayani orang-orang yang kebetulan kami temui atau bertemu dengan
kami, termasuk mereka dari komunitas iman lainnya, dengan keyakinan bahwa
mereka dikirim oleh Tuhan sendiri. Jadi gereja yang telah ditanam adalah sebuah
gereja yang bersifat multi-etnis, dan hari ini merupakan jemaat yang terdiri dari 28
kebangsaan.
Konteks – wilayah East End London
Konteks pembahasan kita adalah daerah Plaistow di London Timur, yang
merupakan bagian dari Newham dan berdasarkan sejarah merupakan daerah
kelas pekerja kulit putih. Pada tahun 1950-an, dengan munculnya imigrasi banyak
orang Asia dan India Barat yang masuk ke daerah itu, dan mayoritas orang-orang
Asia berasal dari komunitas Muslim di Pakistan. Seakan-akan komunitas non kulit
putih berpindah masuk dan komunitas putih berpindah keluar. Sebagai akibatnya
berbagai komunitas mulai membentuk kantung-kantung dalam wilayah tersebut,
yang dapat kita lihat hingga hari ini. Tidaklah lazim untuk melihat bahwa di satu sisi
jalan, hampir semua rumah adalah Hindu, sedangkan di sisi lainnya adalah
Muslim. Mayoritas orang Muslim yang berpindah ke daerah itu berasal dari kelaskelas
masyarakat termiskin dan dari daerah-daerah pinggiran. Mereka yang
berpendidikan mendapati hampir-hampir mustahil untuk mendapatkan pekerjaan di
daerah pelatihan mereka dan harus menerima pekerjaan apa saja yang bisa
mereka dapatkan. Seringkali ini berarti bekerja di pabrik-pabrik seperti pabrik Ford
di Dagenham. Komunitas Muslim belum terstruktur seperti pada masa kini, dan di
wilayah itu hanya ada sedikit mesjid-mesjid rumah (surau).
Dalam tahun-tahun berikutnya banyak orang dalam komunitas Muslim memulai
bisnis kecil-kecilan dan kemudian menjadi kaya. Semua anggota keluarga
dilibatkan dalam bisnis itu, termasuk kaum wanita, dan bekerja berjam-jam
lamanya agar dapat sukses. Dengan hal ini muncullah keinginan untuk mendidik
anak-anak mereka dengan tujuan agar mereka menjadi dokter, penasehat hukum
dan pengacara. Mereka menginginkan yang terbaik untuk anak-anak mereka dan
rela berkorban untuk mendidik mereka. Namun demikian dalam banyak kasus ini
hanya berlaku untuk anggota-anggota keluarga yang pria. Maka timbullah kelas
menengah yang baru. Cukup menarik apabila memperhatikan bahwa dewasa ini
sekolah-sekolah swasta di wilayah itu, termasuk sekolah-sekolah Kristen mempunyai banyak siswa Muslim. Sekarang komunitas Muslim terbentuk dengan baik di Newham dengan dibangunnya mesjid-mesjid baru dan banyak toko termasuk toko-toko buku mereka sendiri.
Selama lebih dari 23 tahun kami tinggal di wilayah itu, kami melihat Newham
berubah dari wilayah yang sangat minus menjadi sebuah wilayah yang pada akhir
80-an menjadi wilayah yang sangat diidamkan oleh orang muda kulit putih
profesional kelas menengah. Banyak yang pindah ke daerah itu. Namun demikian,
pada pertengahan 90-an kami melihat eksodus orang-orang putih itu. Dengan
cepat Newham menambah populasi non kulit putihnya dengan sejumlah besar
pengungsi. Wilayah itu menjadi satu dari dua kota penerima pengungsi di Inggris
Raya, dan setiap tahun menerima antara 10 hingga 20 ribu pengungsi yang tinggal
di hotel-hotel dan di semua tempat yang dapat menampung mereka dengan
akomodasi tempat tidur dan sarapan. Wilayah itu kembali menjadi daerah yang
miskin, hingga dicap sebagai wilayah termiskin di Inggris. Keragaman etnis di
wilayah itu bertumbuh, dengan proporsi penduduk non kulit putih mencapai 52%.
Orang Muslim yang berhasil mengumpulkan cukup uang pindah ke “daerahdaerah
kelas masyarakat yang lebih baik” seperti Ilford dan kemudian East hingga
Essex.
Dengan adanya perubahan-perubahan dalam komunitas dan generasi berikutnya
yang dilahirkan di Inggris, orang muda Muslim mulai menunjukkan individualisme
dari teman-teman sebaya mereka yang orang Inggris dan masyarakat pada
umumnya. Para orang-tua sulit untuk memahami apa yang sedang terjadi. Orangorang
muda bertumbuh dalam dua budaya, dan ini membawa ketegangan dan
konflik antar generasi. Di sekitar masa inilah lebih banyak kaum wanita Muslim
yang bekerja di luar rumah untuk alasan-alasan ekonomis: membantu
perekonomian keluarga (karena harga-harga perumahan melonjak dengan cepat),
dan sedapat mungkin menghasilkan uang sebanyak mungkin di negeri yang
dianggap berkelimpahan. Pola-pola budaya mulai berubah.
Motivasi
Oleh karena panggilan Tuhan, saya dan suami pindah ke East End London untuk
bekerja di antara orang asing dan pendatang. Saya tinggal disana selama hampir
seluruh masa dewasa saya, dan ini menjadi konteks saya baik secara pastoral
maupun teologis. Saya dilahirkan dan dibesarkan di Selandia Baru, jadi di East
End sangat merasakan apa artinya menjadi orang asing dan pendatang di negeri
orang. Saya sangat berbeda dari banyak penduduk kelahiran negara lain karena
saya berkulit putih, dan itu memisahkan saya, tetapi suami saya adalah orang Asia
jadi berada dalam kategori yang sama dengan orang Muslim dan orang-orang Asia
lainnya di wilayah itu. Saya mendapati bahwa nama keluarga dan nama suami
saya semakin mengindentifikasi saya dengan komunitas non kulit putih daripada
dengan komunitas putih. Tentu saja saya mengalami, ketika saya keluar rumah dengan suami saya, perilaku rasisme yang ditunjukkan oleh komunitas lokal kulit putih kepada saya, dan kemungkinan besar lebih parah dari orang kebanyakan.
Ketika kami menikah pada tahun 1969 pernikahan ras campuran sangat jarang
terjadi, sehingga saya lebih sering direndahkan dan mendapat penghinaan.
East End secara historis dipandang sangat rasis, dan komunitas putih melihat
masuknya imigran ke dalam wilayah itu dan mereka merasa eksistensi mereka
terancam oleh orang-orang asing yang membawa budaya yang aneh dan berbeda
ke dalam apa yang mereka yakini sebagai tanah “mereka”. Ini mengakibatkan
diskriminasi terhadap orang-orang dari budaya lain.
Dalam banyak kasus, rasisme menjadi semakin terang-terangan dan terbuka.
Perasaan-perasaan tidak disembunyikan, tetapi diekspresikan secara verbal dan
melalui kekerasan. Kesulitan yang dialami oleh gereja adalah orang-orang Asia di
wilayah itu percaya bahwa semua orang Inggris berkulit putih beragama Kristen,
sehingga apa yang mereka alami dianggap sebagai perlakuan yang mereka terima
dari Gereja Kristen. Pada kenyataannya, ada pula rasisme di dalam komunitas
Kristen kulit putih dan orang-orang non kulit putih seringkali tidak diterima di
gereja-gereja mereka. Dalam konteks inilah orang-orang non kulit putih
dinasehatkan oleh gereja-gereja lainnya di wilayah itu untuk pergi berbakti di
Gereja St. Andrew karena itulah satu-satunya gereja “kulit hitam”, walaupun pada
waktu itu jemaatnya yang non kulit putih hanya berjumlah 30%.
Tidak ada kemewahan atau hidup dengan status tinggi di East End. Wilayah ini
adalah tempat yang tidak ingin didatangi orang. Orang-orang Kristen akan pergi
bekerja di negara-negara Muslim yang termiskin namun kebanyakan tidak mau
datang ke East End London. Kami sangat beruntung karena mempunyai sebuah
tim yang terdiri dari 6 atau lebih orang muda yang baru lulus perguruan tinggi yang
bersedia untuk menolong kami. Ini sering membawa masalah dengan para orangtua
yang kadangkala menelepon kami dan memohon agar kami tidak membawa
putra atau putri mereka untuk bekerja dengan kami.
Dalam Perjanjian Lama, orang asing adalah pengingat permanen untuk orang
Yahudi akan masa lalu mereka dan bagaimana Tuhan telah menyelamatkan
mereka dari situasi buruk yang mereka alami di negeri asing. Tuhan yang sama ini
telah memanggil saya untuk mengasihi orang-orang yang tidak dikasihi, tetapi
dihina dan direndahkan. Saya harus mengidentifikasikan diri dengan mereka
secara setara dengan cara apapun semampu saya. Saya berasal dari budaya
yang ramah dan terbuka di Selandia Baru sehingga saya tidak mengalami
kesulitan dalam beridentifikasi karena saya selalu percaya bahwa saya harus
berbaur dengan orang lain. Saya tidak bisa mengharapkan mereka yang
menghampiri saya terlebih dahulu. Saya duduk dengan para wanita Muslim di
tempat dimana mereka duduk dan saya mendengarkan mereka. Saya berdoa agar
setiap hari saya mendapat hikmat Tuhan. Jika mereka memerlukan pertolongan praktis saya akan berusaha untuk mendampingi, sehingga saya dapat
menunjukkan kasih Kristus kepada mereka. Setiap orang berharga dan bernilai di
mata Tuhan. Tidak ada sekumpulan orang miskin, namun individu-individu yang
harus dilayani dengan segala kerendahan hati. Kenneth Leech yang
menghabiskan hampir seumur hidupnya tidak jauh dari kami di East End London,
menemukan kebenaran-kebenaran yang serupa. Ia menulis “Orang-orang miskin
adalah sesama kita. Mereka ada di sekitar kita bukan untuk menjadi obyek
perhatian kita, bukan untuk ‘menerima kebaikan kita’. Perhatian Kristologis
mempunyai karakter awam, kerendahan hati, tindakan dan bukan hanya perkataan
– pembasuhan kaki adalah sebuah pelayanan dalam diam – dan kerelaan untuk
dikontaminasi dengan lumpur, penyakit dan darah”.3
Dengan melayani kebutuhan-kebutuhan praktis orang lain kita menunjukkan kasih
Kristus, dan ini adalah tanda Injil, sebuah cara menyaksikan Injil Tuhan Yesus
Kristus secara non-verbal. Sulit bagi saya untuk melihat adanya pemisahan antara
Injil dan masalah-masalah sosial, karena dalam pikiran saya keduanya sangat
berkaitan erat. Walaupun tahun 60-an dan 70-an sebuah pemisahan berkembang
dalam gereja diantara orang-orang yang melihat misi gereja hanya sebatas
penginjilan saja atau tindakan sosial saja, sedang kita melihat Injil sangat berhati
sosial.
Mengatur skenario
Dua kali setahun kami mengunjungi setiap rumah dalam radius satu mil dari Pusat
St. Andrew. Dengan melakukan hal ini kami dapat tetap berhubungan dengan
semua komunitas di wilayah tersebut. Sebagai akibatnya, saya telah mengunjungi
banyak rumah Muslim selama bertahun-tahun, dan disanalah saya menjalin
persahabatan dengan para wanita Muslim. Saya telah mempelajari Alkitab dengan
mereka, menolong mereka mengisi formulir, jalan-jalan keluar dengan mereka,
mengantar mereka ke rumah sakit dan mendampingi mereka di masa-masa krisis.
Saya telah mengembangkan relasi-relasi dengan sejumlah wanita-wanita ini
selama bertahun-tahun, dan mempunyai hubungan akrab dengan beberapa orang.
Saya berusaha untuk sedia mendengarkan dan dalam beberapa kasus telah
menjadi orang yang mereka percayai. Saya tidak berusaha untuk menyelesaikan
masalah mereka, karena orang asing tidak akan pernah melakukan hal itu; ini
harus dilakukan dalam konteks keluarga. Namun demikian saya boleh
mengobservasi dan mendiskusikan apa yang terjadi di dalam rumah orang Muslim.
Satu subyek yang telah menarik minat saya adalah posisi dan perlakuan terhadap
para wanita Muslim di rumah dan dalam masyarakat luas. Saya melihat mereka
mendapatkan pembatasan-pembatasan, dibandingkan dengan teman-teman Barat
mereka. Ada yang tidak diijinkan keluar rumah jika tidak ditemani oleh anggota
3 Kenneth Leech, The Eye of the Storm (London: Darton, Longman and Todd, 1992), p. 147.
8
keluarga yang pria. Mayoritas wanita Muslim yang saya jumpai harus memuaskan
diri mereka dengan mengurus rumah-tangga dan keluarga, dan itulah peran
mereka satu-satunya. Saya hanya mengunjungi mereka jika para suami mereka
tidak ada di rumah. Jika para suami mereka yakin bahwa saya terlalu sering
mengunjungi mereka maka saya akan diminta agar tidak datang lagi (hal ini terjadi
beberapa kali). Mereka kuatir saya akan mempengaruhi para istri mereka dengan
nilai-nilai Barat, atau menyesatkan mereka. Banyak wanita Muslim yang saya
temukan merasa kesepian dan memerlukan seseorang untuk diajak bicara.
Televisi dan video akan dihidupkan dan itu akan menjadi salah satu aktifitas utama
mereka dalam sehari.
Tinggal di negara asing seringkali berarti bahwa keluarga besar tidak utuh, karena
mayoritas keluarga itu masih tinggal di negara asal. Ini dapat berarti kesulitan
besar untuk si istri, karena tidak ada yang dapat menolongnya mengurus anakanaknya
dan ia akan merindukan pendampingan para kerabat wanitanya.
Oleh karena minat terhadap kaum wanita Muslim inilah saya masuk ke
Westminster College di Oxford untuk mengambil program Master. Subyek yang
saya ambil adalah perubahan kontekstual dan wanita Muslim di Inggris dan
Malaysia – dapatkah perubahan kontekstual membuat perbedaan terhadap posisi
wanita? Subyek ini memasuki ranah perubahan sosial dan religius di dalam
komunitas Muslim. Demi tujuan buku ini saya telah menyingkirkan bagian
mengenai Malaysia, yang semula ada sebagai kontras dan perbandingan dengan
situasi di Inggris namun bukan merupakan bagian utama desertasi saya. Disertasi
tersebut diserahkan pada bulan September 1998. Sejak saat itu saya telah
memperbaharui dan memperluas beberapa bagian, menyingkirkan dialog dari 30
wawancara dan dimana tepat, saya menambahkannya pada teks buku ini. Untuk
memperkaya, saya juga telah menambahkan pengalaman saya selama bertahuntahun
melayani kaum wanita Muslim.
Struktur wawancara
Dari proyek ini saya menyadari bahwa saya sedang memasuki riset sensitif untuk
memperoleh fakta-fakta yang sesungguhnya berkenaan dengan situasi yang bisa
jadi sangat sulit. Seperti kebanyakan wanita lainnya, seorang wanita Muslim tidak
mau mengumbar kenyataan hidupnya, atau pernikahannya, kepada orang asing,
orang-orang muda Muslim, seperti juga kebanyakan remaja lainnya tidak mau
membeberkan rahasia-rahasia mereka yang terdalam kecuali kepada teman
sebaya. Fakta-fakta yang sesungguhnya dapat ditutupi. Sebagai contoh seorang
istri dapat menyembunyikan kesulitan-kesulitannya dari suaminya dan dari dunia,
takut jika ia bercerita kepada orang lain maka keluarganya akan mengetahuinya.
Orang muda Muslim menutupi fakta-fakta dari keluarganya dan dari komunitas
Muslim.
9
Saya direkomendasikan oleh perguruan tinggi untuk membaca buku Raymond Lee
“Doing Research on Sensitive Topics”. Ia menulis dalam bukunya bahwa “riset
dapat menimbulkan ancaman, berhubungan dengan wilayah-wilayah pribadi,
penuh stres atau sakral...informasi akan dinyatakan apakah itu menstigmatisasi
atau mengkriminalkan...para periset sering menerobos ke dalam wilayah yang
kontroversial atau terlibat dalam konflik sosial”. Para periset dapat terlihat sebagai
orang yang menginginkan informasi yang mendiskreditkan, karena ia berusha
mendapatkan informasi mengenai apa yang disembunyikan, dan mengenai apa
yang tetap ingin disembunyikan orang. Jika hal itu dibukakan, maka itu akan
menstigmatisasi sebuah komunitas dan menjadi sesuatu yang menyebabkan
mereka “kehilangan muka”, menderita kehilangan kehormatan dan martabat. 4
Namun demikian dalam jaman post-modern saat ini, usaha menutup-nutupi tidak
lagi dapat diterima, dan tidak ada lagi apa yang disebut sebagai “sakral”. Ini adalah
jaman dimana masyarakat menuntut adanya transparansi. Namun begitu, hal ini
tidaklah demikian dengan budaya-budaya non Barat yang ada di Inggris, karena
mereka ingin menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa mereka
mempunyai jawaban atas semua penyakit dan permasalahan di dalam komunitas
mereka dan mereka dapat mengatasi semua kesulitan yang ada. Mereka tidak
ingin agar “kain kotor” mereka di angin-anginkan di depan publik. Kelompokkelompok
masyarakat ini ingin terlihat mampu memelihara dan menjunjung nilainilai
tradisional, dan bukan sebagai bagian dari masyarakat Barat post-modern
dengan semua kelemahan dan kegagalannya. Sangat mudah untuk memahami
dan bersimpati pada posisi idealistis ini, tetapi masyarakat telah melangkah maju,
sambil menyapu semua budaya dan latar belakang. Suatu contoh mengenai minat
jaman ini terhadap detil-detil hidup orang lain adalah kesuksesan di Inggris yang
dialami oleh novel-novel seperti Brick Lane karangan Monica Ali. Seperti novelnovel
lainnya, novel ini masuk ke dalam kehidupan, latar belakang dan kepribadian
para karakternya, tidak selalu berkenaan dengan hal positif, dan dalam kasus ini
para karakternya adalah orang-orang Muslim Bengali yang tinggal di East End
London. Beberapa mungkin menganggapnya sebagai sebuah tanda integrasi
kebudayaan Inggris sehingga novel ini sangatlah populer. Namun demikian, ada
keberatan-keberatan yang sangat kuat terhadap buku ini dari dalam komunitas
tersebut.
Dari sudut pandang seorang Kristen, kita dipanggil untuk mengasihi sesama kita
dan menjangkau mereka, siapapun mereka. Sebagai bagian dari hal ini, adalah
baik untuk memahami sesuatu mengenai keyakinan orang lain dan keadaan
mereka, dan konteks hidup mereka, untuk menolong kita memahami dan berelasi
dengan mereka. Pertanyaan yang saya ajukan mengenai kesulitan-kesulitan yang
dihadapi kaum wanita tidaklah berasal dari roh mengkritik tetapi untuk mencari
pengertian yang lebih besar untuk diri saya dan orang lain. Sebagai orang Kristen,
4 Raymond Lee, Doing Research on Sensitive Topics (London: Sage Publications, 1993), p. 4.
10
pengertian yang lebih besar dapat menolong kita untuk lebih mengasihi dan lebih
mendoakan orang-orang yang berada dalam situasi yang sulit.
Satu hal yang paling sulit yang harus saya hadapi pada permulaan riset adalah
bagaimana mendapatkan informasi yang sangat saya butuhkan dan dengan
integritas. Saya mengambil keputusan untuk melakukan riset dalam bentuk
wawancara secara tidak langsung, atau menggunakan teknik wawancara
“mendalam”, dimana si pewawancara mengambil peran yang lebih rendah. Lee
menganjurkan agar ini menjadi metode yang dipilih untuk topik-topik yang sensitif.5
Wawancara-wawancara itu menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang panjang
dan terbuka ketika bertanya mengenai tingkah-laku.6 Ini memberikan orang yang
diwawancarai waktu yang panjang untuk berpikir dan membangkitkan kembali
kenangan lama. Pertanyaan-pertanyaan mengenai topik yang sensitif dicapai
secara bertahap melalui satu seri pertanyaan yang tidak terlalu pribadi.7
Metodologi
Wawancara dilakukan antara November 1997 dan Juli 1998. Semua wawancara
diatur untuk saya oleh seorang anggota lokal dari komunitas Pakistan, karena itu
saya sungguh beruntung karena tidak harus mempersiapkannya dari awal. Para
individu dan keluarga dipilih secara acak oleh orang lain yang punya kontak
dengan banyak orang dalam komunitas Pakistan. Saya didampingi saat berada di
setiap komunitas. Orang ini memperkenalkan saya dan kemudian apakah dengan
diam-diam pergi, atau menarik diri ke ruangan yang lain atau berbicara dengan
anggota-anggota lain dari keluarga itu. Kadang-kadang, sebelum saya datang, ijin
harus diperoleh untuk wawancara dan alasan melakukan wawancara ini harus
dijelaskan. Semuanya dilakukan secara terbuka, dengan kejujuran dan integritas.
Semua wawancara berakhir kira-kira setelah satu setengah jam dan, kecuali
dengan orang-orang muda, semuanya dilakukan di rumah-rumah orang yang
diwawancarai. Setelah wawancara kami minum teh bersama dan percakapan
diteruskan. Bagian dari kunjungan ini sangat produktif dan setiap orang benarbenar
ingin membantu sebanyak yang bisa mereka lakukan. Saya harus
memperhatikan pakaian yang saya kenakan, sikap saya dan bagaimana
penampilan diri saya akan membuat perbedaan.
Dengan orang muda yang saya wawancarai, saya temukan bahwa adalah hal
yang penting saat melakukannya agar tidak ada orang dewasa yang hadir di situ.
Saya bawa mereka ke rumah saya dimana mereka bisa merasa santai dan bisa
berbicara secara terbuka.
5 Ibid., p. 101.
6 Ibid., p. 76.
7 Ibid., p. 79.
11
Dengan beberapa orang yang diwawancarai, suami turut hadir di seluruh atau
setengah dari sesi wawancara. Ini adalah sesuatu yang sebelumnya tidak saya
antisipasi bakalan terjadi. Karena itu saya harus berhati-hati dan bijaksana dalam
melakukan pendekatan. Dengan sebuah keluarga Ahmadiyah, sang suami hadir di
keseluruhan sesi wawancara, kecuali saat momen-momen yang terasa ganjil
maka ia meninggalkan ruangan. Kepada orang lainnya lagi yang diwawancarai,
sang suami hadir di sepertiga terakhir dari sesi wawancara, tetapi tidak turut serta
saat minum teh dan sesi informal. Saya menemukan bahwa kehadiran suami di
kedua wawancara ini tidaklah positif. Namun demikian pada wawancara yang
ketujuh, suami hadir dari waktu ke waktu dan kami semua bisa berbicara secara
terbuka dan jujur. Di sini baik suami maupun isteri mendiskusikan dengan saya
perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam pernikahan mereka. Wawancara ini
berakhir jauh lebih lama dari semua wawancara lainnya, karena mereka
merasakan pentingnya untuk berbicara.
Adalah penting bahwa pendekatan yang saya lakukan bebas dari tuduhan dimana
saya mencoba untuk membangun sebuah relasi dengan orang-orang yang saya
wawancarai. Bagian pertama dari wawancara adalah percakapan yang sifatnya
umum mengenai satu sama lain dan hanya mengungkapkan siapa kami, dengan
sikap yang sangat informal. Selama wawancara saya dengan sangat cepat
menyadari bahwa beberapa percakapan yang kami miliki menjadi bersifat sangat
pribadi, karena itu saya memutuskan untuk berhenti mencatat. Saya mengijinkan
orang ini untuk menyampaikan apa yang ingin mereka katakan secara cepat. Saya
punya bagian isu-isu yang ingin saya bahas dan saya berhasil mendapatkan
semua informasi yang saya butuhkan melalui pendekatan seperti ini. Kebanyakan
dari bahan yang didapat dari wawancara ini langsung ditulis setibanya di rumah.
Pilihan Mereka Untuk Diwawancarai
Dalam memilih mereka untuk diwawancarai, saya mengusahakan semaksimal
mungkin untuk mewawancarai kelompok-kelompok, usia, dan kelas sosial yang
berbeda-beda. Juga mencakup baik Muslim Sunni maupun Muslim Ahmadiyah,
para pelajar sekolah maupun universitas, serta wanita dari usia yang beragam.
Saya ingin mendapatkan sebuah pandangan yang luas mengenai apa yang
sedang terjadi. Saya juga mewawancarai beberapa orang muda Kristen yang
mempunyai teman-teman Muslim dan bisa berbicara dengan mereka mengenai
perilaku mereka. Meskipun saya menyadari batasan-batasan berbicara kepada
orang-orang Kristen mengenai orang-orang Muslim, mereka telah melihat dan
mengetahuinya terlebih dahulu mengenai hal-hal yang orang-orang muda Muslim
kemungkinan tidak dalam posisi untuk mengakuinya. Salah seorang yang saya
wawancarai adalah seorang wanita di sebuah perguruan tinggi yang tidak
menganggap dirinya sebagai staf dan tidak memiliki ikatan dengan mereka. Ia
adalah seorang Muslim dan punya telinga untuk mendengarkan gadis-gadis
12
Muslim yang berdiskusi dengannya. Saya juga telah mewawancarai para ibu yang
punya anak-anak remaja dan mereka yang punya anak-anak yang lebih muda,
dan seorang wanita yang telah meninggalkan Islam dan menjalankan sebuah
tempat perlindungan untuk sekitar tiga puluh orang wanita Muslim. Saya juga
mewawancarai orang-orang muda yang juga telah menerima pendidikan di Barat
dan mereka yang berasal dari negara-negara lain, orang-orang yang tidak
berpendidikan, kelas menengah dan kelas pekerja.
Isu-isu yang hendak Dibahas
Dalam percakapan umum di permulaan wawancara, saya mencoba menemukan
hal-hal yang khusus dari setiap orang: usia mereka, apakah mereka menikah atau
tidak, dimana suami mereka bekerja, berapa orang anak mereka dan apakah
anak-anak mereka itu laki-laki atau perempuan dan berapa usia mereka. Apakah
pernikahan mereka adalah pernikahan yang dijodohkan dan apakah mereka akan
menjodohkan anak-anak mereka. Saya juga menanyakan berapa lama mereka
sudah tinggal di Inggris dan apakah mereka menerima pendidikan di sini, dan
apakah mereka juga bekerja di sini. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini, yang
biasanya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya tidak sopan jika
ditanyakan di Inggris, merupakan pertanyaan yang dapat diterima dengan sangat
baik dalam konteks seorang Muslim. Namun demikian pertanyaan-pertanyaan itu
bersifat dua arah; apa yang telah saya tanyakan maka saya sendiri pun harus
menjawabnya.
Ada isu-isu tertentu yang harus dibahas dalam setiap wawancara, yaitu isu-isu
yang saya yakini merupakan isu-isu yang relevan untuk menentukan telah menjadi
seberapa kontekstualnyakah komunitas Muslim itu saat ia tinggal di Inggris. Salah
satu diantaranya adalah isu mengenai berpacaran dan menikah. Normalnya dalam
konteks Muslim tidak dikenal praktek berpacaran atau percampuran antar jender
setelah pubertas, dan pernikahan pun dijodohkan. Di Inggris saya tertarik untuk
mengetahui dimana partner pernikahan akan ditemukan, di Inggris atau di negara
asal mereka. Apakah para wanita akan dikirim pulang ke negara asalnya untuk
dinikahkan, dan seberapa seringnyakah mereka pulang ke negara asalnya.
Isu lainnya adalah mengenai pendidikan dan pekerjaan. Saya ingin menemukan
ada berapa banyak wanita yang saat ini menempuh pendidikan lanjut, apakah
mereka akan pergi ke sebuah universitas yang jauh dari rumah, apakah mereka
akan bekerja jauh dari rumah. Apakah mereka akan bekerja setelah mereka
menikah? Bagaimana para wanita melihat pernikahan saat ini ketika mereka
tinggal di Barat dan apa yang merupakan harapan-harapan mereka mengenai hal
itu? Bagaimana dengan anak-anak dan jaringan keluarga yang lebih besar?
Pertanyaan lainnya adalah isu di seputar keretakan rumah tangga, kebiasaan
13
terjadinya perceraian dalam komunitas Muslim, dan bidang sensitif yang ekstrim
mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
Juga ada isu-isu mengenai seks sebelum nikah, narkoba, merokok, alkohol dan
pakaian. Dengan wanita-wanita yang lebih tua, saya menanyakan mengenai
apakah tinggal di Inggris telah merubah hidup mereka sepenuhnya.
Hasil Survey
Saat saya melaksanakan wawancara, saya menemukan bahwa orang-orang ini
sangat relaks dan dengan rela mau berbicara. Waktu berdiskusi memberi manfaat
yang sangat besar dan membuat mereka merasa beban mereka menjadi lebih
ringan. Dengan wanita-wanita yang lebih tua mereka sangat bersedia untuk
berbicara mengenai teman-teman mereka dan apa yang sedang terjadi, dan
kemudian mereka memperluasnya sehingga bisa mencakup apa yang menjadi
situasi mereka. Percakapan berlanjut setelah wawancara selesai dan pada saat ini
mereka bahkan lebih bersedia lagi untuk berbicara secara terbuka. Saya dapat
membangun sebuah hubungan yang baik dengan setiap orang yang saya
wawancarai, dan mereka semua ingin supaya saya menghubungi mereka kembali.
Saya telah mengunjungi banyak rumah-rumah Muslim selama bertahun-tahun dan
untuk saya, saya tidak menemukan adanya ancaman yang membuat saya merasa
takut, dan saya pun merasa sepenuhnya seperti tengah berada di rumah dalam
setiap situasi perkunjungan.
Buku ini mulai dengan menggambarkan ajaran dan tradisi Islamik mengenai
wanita. Buku ini kemudian menjelaskan bagaimana aspe-aspek pengajaran dan
tradisi yang berkaitan dengan wanita itu diaplikasikan dalam kehidupan para
wanita Muslim yang tinggal di Inggris hari ini. Secara khusus hal itu berkaitan
dengan tingkat kehidupan mereka dalam mengakomodasi baik iman tradisional
mereka dan juga kebudayaan Barat yang mereka hidupi sekarang.
Meskipun saya berasal dari sudut pandang seorang Kristen, dan berharap akan
banyak pembaca buku ini adalah orang-orang Kristen, saya tidak mencoba untuk
memperbandingkan sejarah, pengajaran dan tradisi-tradisi Muslim dengan gereja
Kristen. Saya terfokus pada mencoba untuk membawa bersama-sama banyak
pandangan yang berbeda-beda dari para penulis Muslim, dari para teolog klasik
hingga para jurnalis dari majalah-majalah terkini.
No comments:
Post a Comment