Tuesday, November 30, 2010

Bab 1 WANITA DAN MASYARAKAT

Posisi Wanita pada masa Arabia Pra-Islam
Pada abad ke-6 setelah Kristus, orang Arab adalah masyarakat yang terbagi menjadi suku-suku yang bervariasi dan dalam peperangan yang berlangsung terus-menerus antara satu sama lain. Tidak ada pemerintahan pusat dalam bentuk apa pun di Arabia, namun hukum-hukum tidak tertulis berlaku di antara suku-suku tersebut. Namun demikian, orang Yahudi dan Kristen telah memiliki kitab suci mereka sendiri sementara orang Arab adalah sebuah masyarakat yang tidak memiliki satu pun kitab suci, dan karena itu mereka sangat siap untuk kehadiran seorang pemimpin karismatis. Tak ada petunjuk yang paling kecil sekali pun tentang perasaan orang-orang Arab yang mendesak untuk mengekspresikan iman mereka melalui seorang medium Arab. 8 Muhammad ada untuk mempersatukan mereka dan menyediakan mereka sebuah tujuan dan sebuah identitas dan sebuah kitab suci. Hasilnya adalah kekuasaan dan kemenangan bagi masyarakat yang selama berabad-abad termarjinalkan dan yang telah terpecah secara dalam dan dihancurkan melalui perang-perang antar suku. Muhammad ada untuk mentransformasikan masyarakat Arab berkenaan dengan hubungan-hubungan pernikahan dan keluarga yang kemudian sangat jauh konsekuensinya bagi para wanita. Konsekuensi-konsekuensi ini tetap tidak berubah selama berabad-abad.

Pernikahan dalam masyarakat Arabia Pra-Islam
Praktek pernikahan pada masa sebelum Islam dikenal sebagai Jahilial. Ini adalah masa ketika para wanita bisa menikmati kebebasan seksual yang lebih besar dibandingkan yang diijinkan dikemudian hari di bawah Islam. Periode Jahiliyyah ini dikaitkan sebagai “Zaman Kebodohohan” atau “Zaman Kegelapan” oleh masyarakat Muslim.

Mereka meyakini bahwa ini adalah masa ketika orang tidak memiliki kemampuan untuk membedakan antara apa yang diijinkan dengan apa yang dilarang. Islam mengklaim telah membawa kriteria ini pada mereka yaitu bagaimana membedakan antara yang halal dengan yang haram, dan juga untuk mempunyai paternitas yang jelas. Muhammad melihat misinya sebagai usaha untuk membawa masyarakat dari kegelapan menuju terang.

Ada banyak jenis pernikahan pada waktu itu. Termasuk di dalamnya pernikahan poliandri (dimana wanita bisa memiliki suami-suami yang banyak, ekuivalen dengan poligami yang dilakukan oleh para wanita), yang juga merupakan pernikahan matrilineal (dimana garis keluarga diturunkan melalui ibu). Dalam jenis

8 J.Spencer Trimingham, Christianity among the Arabs in Pre-Islamic Times (Beirut: Librairie du Liban,
1990), p.308

pernikahan seperti ini, wanita tetap tinggal di tengah-tengah kelompok sukunya sendiri tetapi ia bisa memiliki pria-pria menurut yang ia sukai. Suami-suaminya berasal dari suku-suku yang berbeda (bukan dari suku si wanita). Ketika seorang anak dilahirkan, maka ayah kandung si anak dan juga sukunya tidak bisa menentukan termasuk kelompok suku yang mana anak ini, karena itu pertalian keluarga turun dari garis wanita. Bentuk poliandri lainnya yang sama dengan petalian keluarga wanita adalah ketika persatuan bersifat temporer dan si isteri menyingkirkan suami-suaminya berdasarkan keinginannya sendiri. 9 Para wanita yang tinggal di dalam sebuah tenda akan menyingkirkan suami mereka dengan cara merubah posisi tenda. Jika tenda itu sebelumnya menghadap ke Timur, maka mereka akan merubahnya jadi menghadap ke Barat, dan ketika si suami melihat hal ini maka ia pun tahu bahwa ia sudah tidak dikehendaki dan karena itu tidak boleh lagi masuk ke dalamnya. Jika tenda itu adalah milik si wanita, maka pria diterima berdasarkan keinginan si wanita itu. 10

Menarik untuk dicatat bahwa cucu Muhammad yang bernama Sakina, menikah
berulang-kali dan banyak kali meninggalkan suami-suaminya yang ia tidak sukai.
Independensi wanita dari suami-suami mereka dan desakan mereka atas
keinginan seksual mereka tampaknya menjadi sesuatu yang mungkin hanya
karena mereka didukung oleh masyarakat mereka sendiri. Kebebasan ini tetap
berlaku bahkan ketika sedang berkembang kecenderungan sistem patrilineal
dalam masyarakat Arab pada masa Muhammad. 11
Gertrude Stern pada tahun 1939 memberikan penilaian mengenai pernikahan
pada komunitas awal ini. Karyanya adalah sebuah deskripsi dari proses-proses
pernikahan, pertunangan, persetujuan, perwalian, mas kawin, perzinahan dan
pembubaran ikatan pernikahan. Ia menemukan bahwa tidak ada “institusi
pernikahan yang pasti”. Ia menggambarkan sebuah keberagaman penyatuan
seksual yang keistimewaan utamanya tampak dari longgarnya ikatan pernikahan,
dan kurangnya sistem legal untuk mengaturnya.12

Islam Merubah Pola-Pola Pernikahan
Otonomi dan partisipasi wanita dibatasi dengan kehadiran Islam, yang juga
mengakselerasi transisi dari sistem matrilineal menjadi patrilineal. Islam
memberlakukan hal ini dengan memaksakan hanya satu jenis pernikahan yang
umum pada waktu itu, sebuah institusi pernikahan yang pada dasarnya
menekankan pada dominasi patrilineal. Islam juga mengecam semua jenis

9 W Robertson-Smith, Kinship and Marriage in Early Arabia, (London: Adam and Charles Black, 1903), p.
145-46
10 Ibid., p.80
11 Fatima Mernissi, Beyond the Veil (Bloomington, IN: Indiana University Press, 1987), p.70.
12 Gertrude Stern, Marriage in Early Islam (London: The Royal Asiatic Society, 1939), p.70.

penyatuan matrilineal sebagai zina (perzinahan).13 Dalam masyarakat dengan pertalian keluarga yang bersifat patrial seperti ini, para wanita tidak memiliki kehendak, tak ada kebebasan, tak ada independensi dan tak ada kesempatan dari diri mereka sendiri. Mereka diperlakukan sebagai barang bergerak atau harta milik dari kelompok sanak famili patrial mereka, yaitu untuk memenuhi fungsi biologis dasar mereka yaitu menghasilkan keturunan. 14 Sekarang transformasi sosial sudah terjadi.

Jenis pernikahan lainnya yang diijinkan dalam Islam adalah muta, sebuah pernikahan berdasarkan kesenangan atau sebuah pernikahan temporer. Ketika seorang pria akan tiba di sebuah kota yang baru karena tengah menjalankan bisnis atau melakukan jihad, atau saat ia berada jauh dari keluarganya untuk jangka waktu yang lama, maka ia bisa menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah uang sebagi bayaran kepada wanita itu. Jumlah uang yang
diberikan ditentukan berdasarkan lamanya ia tinggal di kota yang baru itu. Si wanita akan menjaga harta milik si pria dan merawatnya. Tujuan dari pernikahan jenis ini adalah untuk hidup bersama dan kesenangan seksual. 15

Islam melenyapkan semua praktek-praktek yang dimaksudkan untuk memberikan kepuasan seksual kepada para wanita. Pernikahan Muslim memberi meterai persetujuan absolut pada otoritas pria.16

Garis Matrilineal Muhammad
Kakek Muhammad adalah seorang pemimpin Mekah dan pemimpin dari suku
Quraish hingga ia meninggal.17 Ia memiliki sepuluh anak laki-laki dan anak
kesayangannya adalah Abdullah. Ketika saatnya tiba untuk menemukan seorang
wanita untuk dinikahkan dengan Abdullah, ia mencari sebuah ikatan persekutuan
dengan klan lainnya dan kemudian menemukan Amina binti Wahb (ibu
Muhammad) untuk menjadi jodoh bagi anak laki-lakinya itu. Segera setelah itu,
Abdullah melaksanakan sebuah pernikahan matrilineal dengan Amina dan
kemudian ia pun menjadi ayah bagi Muhammad. Sebagaimana halnya adat dalam
pernikahan matrilineal, Amina tetap tinggal dengan kelompok masyarakatnya
sendiri. Ketika mereka telah menikah, Abdullah hanya tinggal bersama Amina
selama tiga hari, dan kemudian ia akan mengunjungi isterinya itu dari waktu ke
waktu. Inilah adat istiadat yang berlaku ketika seorang pria memutuskan untuk
menikah dengan seorang wanita yang tetap tinggal dengan sukunya sendiri. 18

13 Robertson-Smith, Kinship and Marriage in Early Arabia, p.93.
14 Mazhar ul Haq Khan, Purdah and Polygamy (Peswar: Taraqiyet, 1972), p. 13
15 Anwar Hekmat, Women and the Koran (New York: Prometheus, 1997), p.102
16 Mernissi, Beyond the Veil, p.67
17 Zakaria Bashier, The Makkan Crucible (Leicester: The Islamic Foundation, 1991), p.48, mengutip Ibnu
Hisham, pp.155-7.
18 Mernissi, Beyond the Veil, p.69, mengutip Ibn Saad, Kitab al-Tabaqat al-Kubra, Vol.8, p.95.

Abdullah meninggal ketika ia tengah melakukan perjalanan bisnis ke Medina, dan
saat itu isterinya tengah mengandung 7 bulan. Sebagai hasilnya, Muhammad
adalah anak pertama dan satu-satunya dari pernikahan itu. Abdullah
meninggalkan sangat sedikit harta benda kepada isterinya yaitu, seorang budak,
lima unta dan beberapa ekor domba. 19 Beberapa tahun kemudian Amina bersama
Muhammad dan budaknya berkunjung ke makam suaminya di Medina. Dalam
perjalanan kembali ke rumah ia jatuh sakit dan kemudian meninggal. Pada waktu
itu, Muhammad hanya berusia 6 tahun. Kakek dari garis ayahnya kemudian
menjadi walinya dan ketika kakeknya ini meninggal, maka pamannya Abu Talib
mengambil alih mengasuhnya. Ikatan keluarga telah beralih dari garis ibu kepada
garis ayah. 20

Poligami dan Arabia sebelum jaman Islam
Menurut para sejarawan Muslim pernikahan poligamis telah ada sebelum
Muhammad, dan pada masa itu tidak ada pembatasan jumlah istri yang dapat
dimiliki oleh seorang pria. Para pemimpin dan ketua suku mempunyai banyak istri
dalam rangka membangun hubungan dengan keluarga-keluarga lain dan membuat
persekutuan-persekutuan politik. Sebagai contoh, sudah lazim jika seorang pria
mempunyai 10 sampai 500 istri.21 Akibatnya ada yang berargumen bahwa
Muhammad memperbaiki posisi budaya pada jaman itu dengan membatasi jumlah
istri yang dapat dimiliki seorang pria hanya 4 orang saja.

Argumen ini ditentang oleh Gertrude Stern dan yang lainnya. Ia menulis bahwa
tidak ada bukti yang memadai mengenai praktek poligami sebelum jaman Islam di
Medina atau Mekkah seperti yang dipahami di jaman Islam. Ia menulis
“berdasarkan sebuah studi daftar keturunan yang telah saya kumpulkan, tidak ada
indikasi adanya sistem poligami yang tertata baik”.22 Pendapat ini didukung oleh
Pickthall, yang terjemahan Qur’annya diterima dengan baik oleh umat Muslim. Ia
menyatakan bahwa Muhammad prihatin terhadap nasib wanita yang diceraikan,
ditinggal mati oleh suami, atau anak yatim yang belum menikah, sehingga ia
menciptakan sebuah sistem poligami agar wanita yang terlantar ditempatkan
dalam sebuah unit keluarga dimana kaum pria akan melindungi mereka, bukan
hanya sebagai kerabat namun sebagai suami. Ia menyarankan agar poligami
disahkan oleh Qur’an setelah kekalahan di perang Uhud, dimana banyak pria
Muslim terbunuh, membenarkan teori ini.23

19 Maxime Rodinson, Mohammed (Harmondsworth: Penguin, 1971), p.42.
20 Bashier, The Makkan Crucible, pp.52-4
21 Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam (Selangor Darul Ehsan: IBS Buku Sdn Bhd, 1992),
pp.21-22
22 Stern, Marriage in Early Islam, p.62
23 Mohammad Marmaduke Picktall (trans.), The Meaning of the Glorious Qur’an (Birmingham: UK Islamic Mission Dawah Centre, 1997), p.89.

Namun demikian ada pula yang mengatakan pendapat yang bertentangan dengan
klaim para sejarawan Muslim, yaitu bahwa poligami tidak ada selama periode pra-
Islam di Mekkah dan sudah tentu juga tidak di Medina. Muhammadlah yang
menguniversalkan dan mengesahkan praktek mengambil banyak istri, terutama
untuk membenarkan praktek yang dilakukannya sendiri ketika ia meninggalkan
kampung halamannya dan setelah ia mendapatkan kekuasaan di Medina. Menurut
Hekmat, Muhammad boleh jadi telah menekan hasrat seksualnya, tidak berani
menunjukkannya secara terbuka, saat istrinya yang sangat berkuasa (Khadija)
masih hidup. Namun berdasarkan deskripsi yang diberikannya mengenai firdaus di
dalam Qur’an kita dapat berasumsi bahwa gagasan menikmati didampingi oleh
wanita-wanita muda yang cantik merupakan hasrat batiniahnya dan senantiasa
menjadi bagian dalam dirinya sumur hidupnya.24

Praktek-praktek umum di Arab sebelum jaman Islam
Ketika seorang anak perempuan dilahirkan di Arab pada jaman pra-Islam, ini
membawa penghinaan dan malu yang sangat besar. Pada masa itu di Arab ada
praktek pembunuhan bayi-bayi. Beberapa orang mengatakan motifnya adalah
kesombongan, karena orang-tua takut jika putri mereka menjadi tawanan perang
mereka akan mempermalukan suku mereka. Yang lainnya mengatakan bahwa
motifnya adalah kemiskinan. Namun demikian bukti yang ada menunjukkan bahwa
kedua motif tersebut berasal dari keragaman praktek tersebut.25 Di Arab,
pembunuhan bayi dilakukan dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak ada
darah yang tertumpah: bayi itu dikubur hidup-hidup atau kubur telah disiapkan di
samping tempat tidur dimana bayi perempuan itu dilahirkan.26 Praktek ini berkaitan
dengan ketakutan akan kelemahan perempuan, dan bahkan di masa yang jauh
lebih beradab pada jaman kekhalifahan, kita dapat menemukan kematian anak
perempuan pada masa kanak-kanak akan mendapatkan ucapan selamat, oleh
karena ayahnya diselamatkan dari kemungkinan adanya hal yang dapat
membahayakan/mengancam kehormatannya. Sebuah teori yang lebih tua
mengatakan bahwa seorang pria dipermalukan dengan memberikan darah
dagingnya ke dalam kekuasaan pria lain. Jika pembunuhan bayi tidak
dipraktekkan, rasa takut akan kehilangan kehormatan akan membawa anak itu ke
pernikahan dini.27

Qur’an menentang praktek pembunuhan bayi perempuan, dan ayat-ayat yang
muncul kemudian melarangnya. Muhammad lebih jauh lagi mengatakan bahwa
sikap orang-tua yang mendiskriminasi dengan tidak adil anak-anak perempuan
ketimbang anak laki-laki tidak dapat diterima.
24 Hekmat, Women and the Koran, pp. 41-42
25 Robertson-Smith, Kinship and Marriage, p.291
26 Ibid., p.293.
27 DS Margoliouth, Mohammed (London & New York: G.P. Putnam’s Sons, 1906), p.29

Qur’an juga dipuji karena menyingkirkan ketidakpastian soal hak waris wanita
dengan menetapkan jumlah bagian dari warisan yang harus diterima wanita,
walaupun hanya separoh dari bagian yang diterima pria. Ini mempunyai efek yang
tidak menyenangkan pada populasi pria di Medina, yang untuk pertama kalinya
mendapati mereka berkonflik secara langsung dengan Tuhannya orang Muslim.
Sebelumnya, hak waris para pria di Arab terjamin, dan wanita adalah bagian dari
properti yang diwariskan. Apabila seorang pria meninggal dunia maka putra
sulungnya akan mewarisi jandanya. Jika wanita itu bukan ibu kandungnya maka ia
dapat menikahi wanita itu, atau menyerahkan haknya itu kepada adiknya atau
sepupunya, jika ia menghendakinya. Kemudian mereka dapat menikahi wanita itu
menggantikannya. Menurut anggapan para pria itu, aturan-aturan baru mengenai
hak waris ini bercampur-aduk dengan hal-hal yang semestinya tidak diintervensi
oleh Islam, yaitu hubungan mereka dengan wanita.28
Dua keputusan ini adalah dasar argumen bahwa Islam memperbaiki posisi wanita.

Muhammad dan Khadija istrinya
Muhammad nampaknya lebih lama menjadi bujangan daripada pria-pria lainnya, kemungkinan besar karena ia miskin. Menarik sekali bila kita memperhatikan istri pertamanya, Khadija Bint Khuwaylid, yang juga berasal dari suku Quraysh, suku yang mengklaim diri sebagai keturunan Ismael. Ia berusia 40 tahun dan Muhammad 25 tahun ketika mereka menikah. Adalah adat istiadat Jahiliyyah pada masa itu yang membentuk sikap dan posisinya dalam hidup dan bukannya Islam – sebagai contoh, kemandiriannya secara ekonomi, kebebasannya, pernikahannya dengan seorang pria yang jauh lebih muda darinya, dan pernikahannya yang monogamis. Ia adalah wanita khas anggota aristokrasi Quraysh, penuh dengan inisiatif dalam kehidupan publik dan juga kehidupan pribadi.29

Khadija termasuk orang yang sangat kaya di Mekkah. Ia telah menikah dua kali
dengan bankir-bankir Makhumite, dan dari mereka masing-masing ia mempunyai
seorang anak. Dengan bantuan ayahnya, Khowailid, bisnis perdagangan yang
dipimpinnya menjadi bisnis yang sangat penting di wilayah yang juga disebut
sebagai “Venesia di padang gurun” ini.30 Ia sangat kaya dan sangat berkuasa,
serta telah membangun dan menjalankan bisnis yang terus berkembang dalam
mengimpor rempah-rempah dan sutra yang dikirim dengan karavan ke Syria dan
Palestina. Ia mempekerjakan Muhammad, dan kemudian melamarnya. Ia
“melamar Nabi”, karena ia mengatakan bahwa ia telah menemukan dalam diri pria
itu kualitas-kualitas yang sangat diidamkannya dari seorang pria.31 Kemungkinan
besar oleh karena kekayaannya dan statusnyalah sehingga Muhammad tetap

28 Fatima Mernissi, Women and Islam (Oxford:Blackwell, 1991), p. 120, mengutip Tabari, Tafsir, Vol.8, p. 107.
29 Ibid., p. 116.
30 Emile Dermengham, The Life of Mahomet (London: George Routledge & Sons, 1930), p.44.
31 Mernissi, Women and Islam, p.116

menjalani pernikahan yang monogamis selama Khadija hidup, atau bisa jadi
karena ini adalah sebuah persyaratan dalam perjanjian nikah. Khadija
mendukungnya dengan membiayainya selama khadija hidup dan memberinya
budak yang kemudian menjadi anak angkatnya. Khadija yakin bahwa Muhammad
bukanlah seorang suami yang biasa-biasa saja dan Khadija sangat percaya
padanya.

Muhammad mungkin juga menyadari bahwa menikah dengan seorang janda kaya
yang diberkati dengan kekayaan 2 suami yang terdahulu dapat memberikannya
banyak sarana untuk mencapai tujuan-tujuan sosialnya. Ia juga sangat menyadari
bahwa tidak ada pencapaian politik maupun sosial tanpa adanya dukungan sosial
yang memadai.32 Kekayaan Khadijahlah yang mengijinkan Muhammad untuk
bebas bertapa dan kemudian berkeliling untuk berceramah. Namun demikian
Khadija tetap memegang pengelolaan kekayaannya, memenuhi semua yang
dibutuhkan Muhammad. Khadija wafat pada usia 65 tahun, dan hanya dalam
tempo beberapa hari kemudian Muhammad menikah lagi. Istri barunya juga
adalah seorang janda. Namanya Sauda. Dalam pernikahan-pernikahan
Muhammad yang berikutnya setelah Khadija, otonomi bagi wanita dan monogami
tidak lagi menjadi karakteristiknya.

Muhammad dan Aisha istrinya
Istri Muhammad yang ketiga dan yang juga yang paling dikasihinya yaitu Aisha
dinikahinya ketika masih berusia 6 tahun dan adalah putri dari sahabat dekatnya
yaitu Abu Bakr, yang adalah pemeluk Islam mula-mula. Pernikahan itu digenapi
ketika Aisha berusia 9 tahun dan masih suka bermain dengan bonekanya. Pada
masa ini dan di tempat-tempat dimana pembunuhan bayi perempuan tidak
dipraktekkan, rasa takut kehilangan kehormatan akan membawa seorang anak
untuk masuk rumah nikah. Saat itu usia 7 atau 8 tahun adalah usia normal bagi
seorang anak perempuan untuk menjadi seorang istri.33
Aisha, bersama dengan istri-istri lainnya mulai menjalankan tradisi mengenakan
kerudung dan pemisahan dari kaum pria yang menubuatkan perubahanperubahan
yang diberikan Islam terhadap kaum wanita Arab. Boleh jadi oleh
karena Muhammad mencurigai ketidaksetiaan Aisha maka ada perubahanperubahan
bagi wanita di dalam Islam. Setelah kematian Muhammad Aisha segera mendapatkan kepemimpinan politik dengan otoritas dari komunitas Muslim. Ia hidup pada masa transisi dan hidupnya merefleksikan praktek Jahilial dan juga islami. Wanita yang dahulunya mempunyai otoritas atas urusan-urusan komunitas mulai mengalami penurunan seiring datangnya Islam.

32 Hekmat, Women and the Koran, p. 38.
33 Margoliouth, Mohammed, p.30.

Posisi wanita sebelum Islam
Kita melihat bahwa status wanita sebelum jaman Islam tidaklah seburuk yang dikemukakan oleh para sejarawan Muslim yang muncul kemudian. Wanita-wanita kaya dengan status yang lebih tinggi sangat dihormati dan beberapa adat istiadat dan aturan tertentu tidak berlaku terhadap mereka.34 Ada wanita-wanita yang mengabaikan keputusan ayah mereka dan memilih teman hidup mereka sendiri. Wanita-wanita ini, seperti Khadija, hidup mandiri dan bebas mengambil keputusan mereka sendiri dan bahkan dapat bercerai. Namun demikian kemadirian mereka dan kadangkala kekuasaan politik mereka berasal dari status keuangan mereka. Seiring dengan beberapa wanita yang memiliki posisi yang berkuasa dan dihormati, ada pula penundukkan kaum wanita dan pembunuhan bayi-bayi perempuan.

Selama berlangsungnya periode Islam, ada perubahan situasi. Mohammad Arafa dalam bukunya “The Rights of Women in Islam” mengemukakan bahwa dalam keseluruhan sejarah Islam tidak disebutkan adanya partisipasi wanita berdampingan dengan kaum pria dalam urusan-urusan kenegaraan, apakah dalam pengambilan keputusan politik atau dalam perencanaan strategis.35 Aisha adalah sebuah pengecualian besar.

Aisha yang sangat berkuasa
Aisha adalah istri kesayangan Muhammad yang baru berusia 18 tahun ketika Muhammad meninggal pada hari Senin 8 Juni 632 M dan jasadnya ditinggalkan di sudut kamar Aisha. Semua orang sangat sibuk dengan urusan pemilihan pengganti Muhammad sehingga tidak seorangpun yang berpikir untuk memandikannya atau menguburkannya, dan ia baru dikubur pada Rabu malam. Perebutan kekuasaan politik di dalam Islam telah dimulai.36

Pada usia 42 tahun Aisha memimpin pasukan untuk berperang melawan pemerintahan Khalif Ali. Ali telah dipilih sebagai Khalif di Medina pada 656 M, yang menyebabkan banyak orang Muslim mengangkat senjata karena mereka menentang legitimasinya. Aisha telah mendakwa Ali karena tidak mengadili para pembunuh Khalif yang ketiga. Ia memimpin pasukan dan memerangi Ali di Basra. Aisha telah melawan aturan yang ditetapkan Muhammad di dalam Hadith yang mengatakan seorang wanita tidak boleh ikut berperang. Namun ia dapat masuk ke medan perang, mengobati yang luka dan memberi minum, juga memasak dan memberi makan orang-orang yang mengambil bagian dalam jihad. Ali memerintahkan pasukannya untuk menembak unta yang ditunggangi Aisha dan tidak melukai Aisha. Ketika unta itu mati, suara Aisha tidak lagi terdengar di tengah keributan medan perang dan ia tidak lagi dapat memberi perintah pada pasukannya dari posisi kekuasaan (di atas unta). Ali mengakibatkan Aisha mengalami kekalahan besar.

34 Engineer, The Rights of Women, pp. 32-33.
35 Mernissi, Women and Islam, p.4, mengutip Mohammed Arafa The Rights of Women in Islam.
36 Ibid., p.37.

Para sejarawan menyebut konfrontasi ini sebagai “Perang Unta”, sehubungan dengan unta yang dikendarai Aisha dan dengan demikian menghindarkan para gadis Muslim untuk mempunyai kenangan akan nama seorang wanita dengan nama sebuah perang.37

Sesudah perang inilah, menurut Sahih al-Bukhari (seorang yang mengumpulkan Hadith, atau perkataan Muhammad), dilaporkan bahwa Abu Bakr pernah mendengar Nabi berkata “Orang yang mempercayakan urusanurusannya kepada seorang wanita tidak akan pernah mendapatkan kemakmuran”. Hadith ini diakui sebagai Hadith yang otentik dengan dimasukkannya ke dalam Sahih. (Sahih sebelum nama sang kolektor berarti “benar”, yaitu suatu kumpulan yang otentik dan dapat dipercayai)38

Dilaporkan bahwa 15.000 orang terbunuh dalam beberapa jam saja dalam Perang Unta. Ali, yang dilemahkan oleh perang ini, kemudian harus menghadapi musuh politik lainnya Mu’awiya Gubernur Syria. Mereka bertemu di Perang Siffin yang panjang dan berdarah yang mengakibatkan 70.000 orang meninggal dunia. Pada akhirnya arbitrasi terjadi dan Mu’awiya diangkat menjadi Khalif. Ini mengakibatkan perpecahan antara kelompok Sunni dan Syiah.

Al Afghani, reformator Islam modern yang pertama pada abad 19, yakin bahwa Aisha tidak hanya bertanggung-jawab atas pertumpahan darah di Perang Unta yang mengakibatkan perpecahan dalam dunia Muslim menjadi 2 kelompok (Sunni dan Syiah), tetapi ia juga bertanggung-jawab atas semua kerugian yang menyusul kemudian. Ia mengklaim bahwa jika Aisha tidak ikut campur dalam urusan-urusan publik negara Muslim, “sejarah Muslim akan mengambil jalan damai, kemajuan dan kemakmuran”. Menurut pendapatnya, Allah ingin menggunakan pengalaman Aisha untuk memberi pelajaran pada orang Muslim. “Allah menciptakan wanita untuk menghasilkan keturunan, membesarkan generasi yang akan datang, dan bertanggung-jawab dalam rumah-tangga. Ia ingin mengajar orang Muslim sebuah pelajaran praktis yang tidak dapat mereka lupakan”.39

37 Ibid., p. 5.
38 Ibid., p. 49-50.
39 Ibid., p. 6-7

1 comment: